Mohon tunggu...
Ety Supriyatin
Ety Supriyatin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembaca

Menulis apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. ■JUST BE MYSELF■

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jurnalisme Dulu dan Sekarang

3 November 2022   10:28 Diperbarui: 3 November 2022   10:48 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zaman dulu, untuk menguasai ilmu jurnalistik harus mengikuti  pelatihan-pelatihan khusus. Tulisan dalam lembaran-lembaran kertas HVS dipelajari, dibaca untuk dipahami. Kemudian dipraktikkan dengan mengirimkan  artikel ke media massa. 

Pada saat itu media cetak yaitu koran harian Suara Merdeka dan Kompas yang paling populer dan familier. Tidak semua tulisan yang dikirim lalu dimuat dalam koran tersebut. Tentu lebih selektif untuk memilih artikel yang layak dimuat. Tulisan yang sudah dikirimpun dikembalikan jika tidak dimuat. Honor yang diberikan pada penulis atau pengarang cukup besar pada saat itu. Sehingga banyak sekali penulis, kontributor, terutama wartawan yang berpenghasilan besar dan hidup berkecukupan dari hasil menulis.


Menurut cerita salah seorang teman wartawan, pasca era  reformasi justru penghasilannya semakin meningkat. Itu karena banyak kasus-kasus yang mulai digugat, namun sengaja ditutup-tutupi dengan membungkam wartawan tersebut. Setelah terjadi transaksi yang sudah ditentukan, berita yang seharusnya transparan diketahui masyarakat justru tidak diungkap. Pembunuhan terhadap wartawan karena mengekspos kasuspun pernah terjadi.

Baca juga: Anakku Pahlawanku


Pada zaman sekarang, ilmu jurnalistik mudah dipelajari lewat platform-platform yang bertebaran di dunia maya. Pelatihan-pelatihan online mudah diikuti. Semua orang bisa menyalurkan daya imajinasi lewat blog-blog. Banyak blogger yang orientasinya bukan hanya uang semata. Tak jarang memang para penulis mengharapkan imbalan. Ironisnya, sebuah karya baguspun dihargai sangat murah, tidak sebanding nilai rupiah pada zaman dulu. Berita, opini maupun feature dihargai terlalu murah untuk sebuah pekerjaan yang menguras energi. Tulisan berbobot dengan referensi data akuratpun hanya diberi imbalan dibawah seratus ribu rupiah. 

Yang lebih menyakitkan, penyelenggara event-event mengklaim karya tulisan yang sudah dikirim meskipun tidak dipublikasikan, menjadi miliknya. Entah dimanfaatkan menjadi kumpulan karya sebagai hak cipta, penulispun tidak tahu. Memang tidak semua seperti itu.
Semoga di masa yang akan datang dan dimulai dari sekarang, hargailah hasil karya orang lain. Kalaupun tidak lolos untuk dipublikasikan, sebaiknya dikembalikan pada pengirim sehingga bisa dikirimkan kembali pada ruang lain.

#docJay

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Baca juga: Impresiku Tentangmu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun