Mohon tunggu...
imelda bachtiar
imelda bachtiar Mohon Tunggu... -

Penulis, penyunting buku, pemerhati sejarah, pemikiran, isu perempuan dan gender di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jawaban Saya atas “Kritik Kepada Penerbit Kompas dan Imelda Bachtiar” yang Dimuat Kompasiana.com, 23 April 2014

28 Mei 2014   10:13 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:02 2504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Sudah dipublikasikan di wall-fb saya, 14 Mei 2014)

Terima kasih atas tanggapan dan kritik yang ditulis oleh Berric Dondarrion atas karya suntingan saya, Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra: Dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya, seperti dimuat dalam Kompasiana.com, 23 April 2014.

Saya ingin mengawali dulu jawaban saya ini dengan tanggapan atas dua pernyataan Berric Dondarrion yang mengutip tulisan pengantar penyunting dalam buku itu, “Sembilan Buku Tulis dari Nirbaya”.

Dondarrion menulis, “Imelda Bachtiar menyatakan bahwa tidak ada seorangpun tahu atau tahu, tetapi tidak pernah berani bersuara, bahwa film itu kebohongan belaka (halaman xix). Lho, atas dasar apa mengatakan bahwa film itu bohong? Jadi tidak ada satu halpun dalam film itu yang benar?”

Paragraf tulisan saya yang seutuhnya yang memuat pendapat tentang film itu  adalah, “Namanya bahkan kemudian selalu ‘muncul’ setiap tahun di era 1980-an pada salah satu scene film Pengkhianatan G-30-S/PKI yang di masa Orde Baru adalah film wajib tonton di sekolah dasar dan menengah di seluruh Indonesia. Saya pun pertama kali mengetahui namanya ketika di awal tahun 1985-an sekolah dasar saya menjalani program wajib-tonton film Pengkhianatan G-30-S/PKI di sebuah bioskop umum di Rawamangun, Jakarta Timur. Bioskop itu berkapasitas 300-an orang. Dalam suasana gelap-pekat, tanpa penjelasan lebih dulu dari guru-guru, kami semua dibuat tercekat atas suguhan di layar. Beberapa adik kelas saya menangis. Itu berlangsung setiap tanggal 30 September selama bertahun-tahun di zaman Orde Baru. Tanpa seorang pun tahu atau tahu, tetapi tidak berani bersuara, bahwa film itu kebohongan belaka.”

Peristiwa 30 September 1965 memang saya kenal pertama kali lewat film itu, dan secara perlahan makin menguat karena setiap tanggal itu film diputar ulang dan acara menonton bersama sekolah bukan sekali itu saja dilakukan. Kesannya: traumatis, bahkan tidak jarang demam dan sulit tidur habis menontonnya. Itulah sebabnya nama beberapa tokoh yang ditulis dalam setiap scene, melekat pada setiap anak pra-remaja di zaman itu. Film itu adalah propaganda anti-PKI. Itu saya yakini betul, karena di zaman Orde Baru sangat sering cuplikan film itu menyertai berita tentang peristiwa bersejarah itu, tanpa ada keterangan tambahan bahwa ini cuplikan film. Mana yang benar, dan mana yang cuma film, campur aduk. Sehingga komentar saya dalam diskusi dengan orang tua ketika itu adalah, “Apakah betul itu kejadian sebenarnya?” Dan ayah saya yang mungkin juga tak berminat membahasnya, hanya menjawab pendek, “Kurang lebih, tapi ada yang tidak benar.” Di masa itu pengetahuan saya (juga hampir semua teman) tentang sejarah kelam ini memang hanya dari buku Sejarah Nasional Indonesia, buku pegangan siswa SMP sampai SMA, karya Prof Nugroho Notosusanto dan film itu.

Di masa dewasa dan baru lulus dari Ilmu Komunikasi FISIP UI, saya seorang wartawan. Lalu saya bersinggungan lagi cukup intens dengan tema ini ketika majalah berita tempat saya bekerja, Majalah D&R, menulis liputan utama selama empat edisi berturut-turut pada bulan Oktober 1998. Saya berwawancara dengan dr. Liem Joe Thay yang kemudian lebih dikenal dengan Prof. Arif Budianto, kini telah almarhum, Guru Besar Kedokteran Forensik UI. Ia salah seorang dokter non-militer yang saat itu diminta bergabung dengan Tim Kedokteran ABRI untuk memeriksa mayat enam perwira tinggi dan satu perwira pertama korban, pada malam 4 Oktober sampai dini hari 5 Oktober 1965.

Bagian terpenting dari wawancara itu yang juga dikutip oleh Julius Pour dalam bukunya Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan dan Petualang (Penerbit Buku Kompas, 2010) adalah ketika Prof. Arif menyatakan, “Satu lagi, soal mata yang di-congkel. Memang, kondisi mayat ada yang bola matanya copot, bahkan ada yang sudah kontal-kantil. Tetapi itu karena sudah tiga hari terendam air di dalam sumur dan bukan karena di-congkel paksa. Saya sampai periksa ulang dengan saksama tepi matanya dan tulang-tulang sekitar kelopak mata. Apakah ada tulang yang tergores? Ternyata tidak ditemukan...” Saya ingat, saya lalu bertanya, mengapa di film ada adegan penyiksaan yang sadis dengan mencungkil bola mata? “Itu semua tidak ada, pemeriksaan mayat membuktikannya. Film itu kan propaganda Orde Baru.”

Satu lagi, saya juga mewawancarai Ibu Mitzi Farre-Tendean, kakak kandung Kapten Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution yang menjadi korban. Pierre anak tengah dan satu-satunya laki-laki dari tiga bersaudara. Ibu Mitzi memiliki dokumentasi cukup lengkap surat kabar di masa itu yang menjadi topik wawancara kami. Salah satunya ketika kami membahas berita di koran Angkatan Bersenjata tentang almarhum adiknya yang disiksa dan dilecehkan seksual oleh para anggota Gerwani. Ia mengunjungi sendiri para tertuduh di tahanan, dan dari bincang-bincang dengan para perempuan itu, dia sendiri ragu mereka pelakunya. “Para perempuan itu diambil dari daerah Senen dan dipaksa mengaku mereka melakukan penyiksaan kepada Pierre,” kata Ibu Mitzi dalam wawancara itu.

Bagian paling utama dari film itu, yang begitu membekas sampai meninggalkan trauma pada anak-anak yang menontonnya adalah drama penyiksaan di Lubang Buaya. Kedua alasan yang saya kemukakan di atas membuat cukup bagi saya untuk menyatakan film itu bohong, terutama pada bagian drama penyiksaan para korban. Jadi, saya membuat kesimpulan itu sangat jauh sebelum saya menulis pengantar penyunting untuk buku Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra.

Kemudian pernyataan kedua dalam kritik Berric Dondarrion , “Imelda Bachtiar menyatakan bahwa buku ini dibuat untuk menceritakan kejadian sesungguhnya Peristiwa 30 September 1965 sehingga masyarakat tahu bahwa tuduhan dia terlibat G30S/PKI hanya fitnah. Lho, pertanyaannya darimana Imelda tahu bahwa apa yang dikatakan Pranoto 100% benar sedangkan yang ditulis pihak lain tentang Pranoto 100% salah?”

Tanggapan saya, Anda kembali salah menyimpulkan. Anda menyimpulkan itu dari tujuan keluarga besar Jenderal Pranoto ketika menyerahkan naskah tulisan tangan ayahnya ini kepada Penerbit Buku Kompas. Memang itulah tujuan keluarga: menceritakan kejadian sesungguhnya seputar Peristiwa 30 September 1965 tentang bagaimana posisi dan aktivitas Jenderal Pranoto, sekalian meluruskan sejarah dan merehabilitasi namanya.

Sedangkan saya berpendapat –tertulis pada alinea terakhir- ini adalah dokumen yang orisinil, otentik dan tidak diragukan kebenarannya berasal dari pemilik kisah. Dalam penulisan sejarah, walaupun pasti memiliki subjektivitas tinggi, dokumen yang berasal dari tulisan tangan selalu menduduki tempat pertama. Saya tidak mengubah apa pun dalam gaya tutur, diksi (pilihan kata), sampai bahasa Jawa pun diterjemahkan setelah ditulis sebagaimana aslinya dari sembilan buku tulis Jenderal Pranoto. Saya hanya membantu mengalurkan dan memberi catatan kaki dan catatan penjelas yang diperlukan. Itulah sebabnya proses terlama adalah menulis ulang tulisan tangan ini dan mencek nama-nama orang, kesatuan, daerah yang tidak ditulis lengkap. Dari isinya, bila saya bandingkan dengan literatur lain, saya menempatkan dokumen ini sebagai sumber tersahih tentang Jenderal Pranoto. Ia tidak pernah terekam tuturannya, sampai buku ini terbit. Nuansa kejujuran dan ketegasan prajurit yang sangat cinta pada tanah airnya, terbaca sangat jelas. Sekali lagi, memoar adalah tuturan langsung sang pemilik kisah, yang pasti subjektif dan sifatnya membela diri.

Seperti Anda sendiri bilang, ini akan melengkapi mosaik Peristiwa 1965, tetapi untuk membuatnya utuh tentu perlu kepingan mosaik dari pelaku sejarah yang lain. Lalu saya mengutip pernyataan Anda lagi, “Kita harus percaya siapa? Orang yang akhirnya menduduki kursi Panglima Diponegoro atau perwira intelijen?”  Jawaban saya: pilihannya ada pada pembaca kisah ini. Sama dengan seperti ketika Anda membaca Memoar Jenderal Yoga, lalu biografi Ali Moertopo dan buku ini, lalu banyak fakta berbeda, mana yang Anda percayai? Jawabannya berpulang kepada Anda sendiri.

Satu hal kecil saja yang menggelitik saya, Anda menulis, “Yang mengusulkan nama Pranoto untuk menjadi caretaker Menpangad di Halim adalah DN Aidit!” Dari mana Berric Dondarrion tahu informasi ini? Semoga saja Anda memang berada satu ruangan dengan Bung Karno dan DN Aidit. Tetapi bila tidak, Anda dan kita semua tidak tahu kebenaran informasi ini. Saya juga masih menunggu bagian mana komentar Pranoto yang salah mengenai keterlibatan CIA dan Supersemar. Semoga juga Anda tahu dari tangan pertama.

Dr. Asvi, Dr. Nani dan Stanley

Singkat sebagai penutup, saya ingin berkomentar atas komentar Anda tentang tiga nama yang terpilih urun pendapat dalam buku ini. Dr. Asvi Warman Adam adalah sejarawan LIPI yang banyak berkutat dalam penelitian dan penulisan tentang tema ini di dalam dan luar negeri. Boleh saja Anda berpendapat demikian, tetapi ia memiliki gelar akademik terkait tema-tema yang ditulisnya.

Lalu tentang Dr. Nani Nurrachman, pernahkah Anda mendengar sendiri pendapatnya tentang rekonsiliasi dan bahwa ia berpendapat dalam tragedi nasional ini semua adalah korban? Ia juga seorang psikolog klinis dan pengalaman personalnya yang kemudian menyejarah inilah yang membuatnya berpendapat demikian. Anda bisa membaca lengkap bukunya, Kenangan Tak Terucap: Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas, 2013),  bila ingin mengetahui lebih jauh.

Stanley adalah wartawan senior, jauh sebelum ia menjadi Komisioner Komnas HAM. Ketika menjadi wartawan, ia juga banyak meliput, menulis dan meneliti isu ini.

Saya ingin mengutip Dr. Nani Nurrachman Sutojo dalam ulasannya, “Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra mengangkat dimensi yang kini lebih banyak cuma dibicarakan: kejujuran, tanggung jawab dan profesionalitas dalam menjalankan tugas dan ketika dihadapkan pada kenyataan kebebasan dirinya direnggut. Sekalipun tubuh terperangkap dalam kungkungan tembok dan terali besi dari satu penjara ke penjara yang lain, namun apa yang dialami dan diingat tetaplah bebas mengalir. Rangkaian kalimat tersusun ke dalam alur dan sistematika yang berkesinambungan, satu dengan lainnya mengalir dari pikirannya yang jernih.”

Setuju, sejarah adalah sebuah proses, dan semoga semakin banyak catatan-catatan pelakunya terkumpul dan bisa dipublikasikan. Semoga juga Anda, Berric Dondarrion, mendapat manfaat yang sama dari buku ini, bukan propaganda disinformasi seperti yang Anda sebutkan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun