Mohon tunggu...
alai nadjib
alai nadjib Mohon Tunggu... -

Ibu dari tiga orang anak, pembelajar, suka menulis, jalan -jalan dan penikmat film

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tak Ada Kartini di Sekolah Anak-Anakku

21 April 2011   03:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:34 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari sekolah dasar dulu aku tahu dan "kenal" Kartini,  itu bukan karena sekolahku di tengah-tegah  tanah kelahiran beliau. tapi memang ia, sebagai pahlawan nasional layak dan mustinya diperkenalkan sebagaimana pahlawan-pahlawan lain.

dulu, bukan hanya guruku yang mengenalkanku, tapi memang teks-teks  ajar mendukung.kuingat betul ia ada dalam buku bahasa  Indonesia yang saya kira dipergunakan oleh anak sekolah SD  di seluruh Indonesia semasaku, karena buku itu diterbitkan oleh Departemen P dan K. Beda kan dengan buku-buku ajar sekarang.....

Dulu aku selalu bertanya mengapa ia pendekar bangsa dan harum namanya. Guru-guruku di Madarasah Ibtidaiyah (MI setingkat  SD) itu menceritakan dengan baik dan penuh kenangan. ia dihadirkan kepada kami bukan lewat sosok sanggul dan kebayanya, sebab sekolah kami memang tidak merayakan dengan cara itu.

Aku semakin kagum ternyata dalam perjalananku, justru aku banyak bertemu dengan buku-buku tentang RA Kartina, dari perjuangannya mengajak adik-adiknya dan membuat sekolah untuk anak-anak perempuan.  Sebagai putri bupati, ia tentu berlebih fasilitas, termasuk pendidikan agama. Dalam gundah dikelilingi sahabat-sahabatnya dari Belanda yang terdidik dan kritis pada masanya, Kartini suka bertanya: mengapa aku diajarkan huruf-huruf Arab dalam Qur'an yang aku tak tahu maknanya, walau aku kira-kira memahami Tuhan mengajarkan keindahan dan kebaikan dalam agamanya, tapi bagaimana aku bisa menjalankan agamaku kalau aku pun tak  tahu makna dari pesan-pesan Tuhan yang tertata indah dalam Quran itu.

Beruntung dalam perjumpaan dangan pamannya, ia diajak ikut pangajian Kyai  Sholeh Ndarat Semarang pengajian tafsir berbasis Quran. Kartini kagum, bahwa akhirnya ia menangkap ayat-ayat yang terus dijaga berabad-abad keorisinilannya itu. Dengan rasa keingintahuan yang tinggi, Kartini melampaui keberanian anak-anak pada masanya,  ia mengajak pamannya untuk bertemu Kyai Sholeh Ndarat dan melakukan banyak pembicaraan (sayang belum ada catatan apakah Kyai ini juga dipanggil untuk mengajar di Jepara). Kuat dugaan, surat yang dikirim kepada temannya dan akhirnya diberi judul: Habis Gelap  Terbitlah Terang, merupakan terjemahan dari: minadzulumati ilannur yang ia dapat dari kajiannya bersama Kyai Sholeh

Pilihan-pilihan Hidup kartini juga sulit, ketika cita-citanya mulai berkembang dan menemukan titik terang, ia harus berjodoh dengan bupati Rembang, yang sebelumnya sudah beristri.Pilihan-pilihan menghadang, sebab kalau tidak dilakukan, sakit ayahnya semakin keras.

bahkan pun akhirnya ia tidak menerima beasiswa untuk studi ke Belanda.Agus Salim lah yang kemudian beruntung mendapatkan limpahan,kursi beasiswa RA Kartini ini.

Ia akhirnya memilih, menikah, dan seperti memulai sejarah kelam kematian ibu melahirkan yang tinggi hingga kini di Indonesia, Kartini  pun meninggal, setelah sebentar melihat anaknya dan dokternya pulang ke Pati.  Benarkah ia meninggal karena eklampsia?. Oh Ibu Kartini, ia pergi meninggalkan sekolah yang dirintisnya di Jepara maupun di Rembang .

Kini apapun kontroversi yang mengitarimu, termasuk soal sentimen Jawa dan non Jawa. Aku tetap menjunjung tinggi jasa-jasamu sebagaimana juga pahlawan perempuan kita yang lain.  Karena orang berjuang sesuai medannya sesuai kapasitasnya, aku tak memikirkan, kalaupun ada regim atau  polical interest, yang mendebatkan mengapa hanya harimu yang diperingati. Semoga engkau selalu menginspirasi kami, untuk memberi yang lebih baik pada anak-anak yang belum bersekolah. Sebab di zaman yang  terang  benderang  inipun, angka buta anak perempuan masih tinggi.

Hatiku gulana sekarang, sebab gurunya anak-anakku di TK dan MI tak ada yang menyinggung soal Kartini itu. bahkan tadi pagi ayah yang mengantar ke sekolah si sulung  bertemu guru dan  bertanya, nggak bisa jawab, mengapa tidak ada Kartini(an) di sekolah. Tak usah bersanggul atau berblangkon Bu, kami ingin spirit Kartini ada di hati anak-anak. Kekuatiran kami adalah, jangan sampai ada pelenyapan informasi dan sejarah orang baik seperti Kartini, karena orang-orang sekarang kebanyakn sulit dicontoh dan anak-anak butuh teladan yang baik, Oh  Bu guru, semoga engkau mengerti itu.

Kini, sambil harap-harap cemas menunggu anak-anakku pulang, apakah gurunya mengenalkan Kartini? ingatanku melayang ketika 10 tahun lalu, lembar demi lembar surat-suratnya yang  masih rapi tertulis tangandikiri mkan ke Ny. Van Abendonan di KITLV  Leiden. Aku bergetar memegangnya, meski tak seluruhnya kupahami, kepalaku dipenuhi tanya; bagaimana gundahnya Kartini, di tengah-tengah lingkungan yang sangat feodal dan poligami adalah hal yang biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun