Loyalitas komunitas Tatar terhadap Grand Duke Vytautas berbuah manis. Vytautas menghibahkan sejumlah tanah.Termasuk yang kini menjadi Forty Tatars Village.
Nama 40 Tatars Village ini memiliki legenda sendiri. Konon karena dulu ada seorang pria Tatar yang memiliki 4 istri, dan dari setiap istri ia memiliki 10 anak sehingga total semuanya ada 40 anak beranak dan membentuk komunitas Tatar di desa itu. Â Benar atau salahnya kisah ini wallahua'lam, namun legenda ini hidup di komunitas tersebut dan tercantum resmi dalam brosur desa mereka.
Salah satu jejak yang menunjukkan desa ini bersejarah panjang adalah sebuah masjid tua dari kayu yang berdiri sejak 1558. Masjid ini tidak luas, namun asri dan compact. Ruang shalat-nya bersegi empat dan bagian perempuan dan laki-laki dipisah.
Ada balkon di lantai dua yang muat diisi dua shaf shalat jama'ah.Uniknya masjid ini tak memiliki tempat wudhu maupun kamar mandi.Jadi, jama'ah harus sudah dalam keadaan berwudhu dan tak berhajat kecil maupun besar ketika datang ke masjid.
Lithuanian Tatar mayoritas adalah Sunni bermazhab Hanafi.Maka masjid 40 Tatars juga menuliskan nama-nya sebagai Masjid Sunni. Di sekitar masjid nampak banyak batu nisan tak bernama. Menandakan begitu banyak kuburan di sekitarnya yang juga sudah berusia sangat lama. Menurut Mufti Lithuania, Romas Jakubauskas, ada dua pekuburan Muslim lain yang terletak di Desa 40 Tatars ini dan berada di luar pekarangan masjid.
Disamping batu nisan, ada juga satu prasasti yang bertanggal di tahun 1997 di pekarangan masjid. Prasasti ini menandakan bahwa areal desa dan tanah tempat dibangunnya masjid tersebut adalah pemberian dari Grand Duke Vytautas sejak abad 15, sebagai penghargaan Grand Duke terhadap loyalitas Lithuanian Tatar terhadap Grand Duchy of Lithuania.
Pemimpin komunitas Tatar di 40 Tatars adalah Fathimah, seorang sister berusia lanjut yang amat bersemangat.Walau tak sangat lancar berbahasa Inggris, Sister Fathimah amat bersemangat menjelaskan kegiatan komunitas-nya.
Alhamdulillah di community center tersebut diperlengkapi dengan sejumlah foto-foto berpigura yang sebagian juga berusia sangat tua."Kami mengadakan banyak kegiatan disini, pendidikan informal bagi anak-anak, juga bayram (festival) seperti eid al adha dan eid la fitr. Akan banyak orang berkumpul dan makan bersama disini ketika bayram, " ujar Sister Fathimah.
Komunitas ini memang amat sedikit, tapi amat menggigit, tetap bertahan di tengah keterpencilan dan keterasingan. "Saya belum pernah haji ataupun umrah, saya amat merindukan bisa berjumpa dengan komunitas Muslim di negara-negara lain..." tutur Sister Fathimah, sebelum kami berpisah...
Pria tinggi berkulit putih berwajah ramah dan enak dipandang itu bukan bintang film. Bukan juga orang Melayu, walau hari itu ia memakai peci khas Indonesia.Â