Mohon tunggu...
Heru Susetyo Nuswanto
Heru Susetyo Nuswanto Mohon Tunggu... Dosen - Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.M.Ag. Ph.D - Associate Professor Faculty of Law Universitas Indonesia

Associate Professor at the Faculty of Law University of Indonesia and Human Rights Attorney at PAHAM Indonesia. Studying Human Rights toward a degree (LL.M) at Northwestern Law School, Chicago, and Mahidol University, Bangkok (Ph.D. in Human Rights & Peace Studies). External Ph.D. researcher in Victimology at Tilburg University, Netherlands. Once a mountaineer, forever a traveler...and eager to be a voice for the voiceless people. Twitter : @herususetyo FB : heru.susetyo@gmail.com; e-mail : heru@herususetyo.com; IG : herususetyo2611

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bosnia dan Sisa-sisa Luka Itu

28 Oktober 2017   14:51 Diperbarui: 29 Oktober 2017   21:37 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di antara sejumlah negeri mantan Yugoslavia yang satu demi satu bercerai dari Federasi Yugoslavia setelahnya bubarnya Uni Sovyet pada tahun 1989,  sepertinya Bosnia & Herzegovina adalah negeri yang paling popular.  Ada sejumlah kenangan anak bangsa Indonesia terhadap Bosnia :  1. Negeri itu menderita serius akibat perang Balkan tahun 1992 - 1996; 2.  Terjadi pembantaian besar terhadap etnis Muslim Bosnia di Srebrenica pada 1995; 3.  Presiden Soeharto dan Presiden SBY (ketika itu masih Jenderal aktif) pernah ke Bosnia,  masing-masing menjalankan official visit dan selaku Komandan Pasukan Perdamaian PBB 1995 - 1996; 4.  Di Sarajevo,  juga berdiri Masjid Indonesia. Yang diinisasi oleh Pak Harto dan diresmikan pada era Ibu Megawati.

Kami memasuki Bosnia pada akhir Mei 2017.  Tidak melalui udara via Sarajevo,  namun via darat dari Dubrovnik Croatia, kemudian memasuki border di Neum, daerah enclave Bosnia di tepi laut Adriatik yang dikepung dua daratan Croatia.  Dari Neum diperlukan waktu sekitar dua jam hingga sampai Mostar,  dan sekitar tiga jam hingga menyentuh Sarajevo, ibukota Bosnia. 

Yang menarik,  kami tidak memerlukan visa Bosnia untuk dapat mengunjungi Bosnia.  Karena setiap pemegang Schengen visa (kebetulan kami memiliki visa Italy) dapat mengunjungi Bosnia Herzegovina tanpa perlu visa khusus.  Tambahan lagi,  kami juga memiliki visa Croatia yang terpisah dengan visa Schengen.  Lengkaplah sudah, nyali untuk mengunjungi Bosnia.

Nyali?  Ya, untuk sebagian orang nyali diperlukan untuk mengunjungi Bosnia.  Pertama,   negeri ini belum sembuh dari luka-luka Perang Balkan 1992 -- 1996.   Masih terlihat jelas sisa-sisa kekejaman manusia duapuluh tahun lalu di seantero negeri.   Kedua,  walaupun sudah  menjadi negara merdeka sejak 1995 setelah pertempuran tiga tahun dengan rezim Yugoslavia (Serbia) dan etnis Serbia di dalam Bosnia, negeri ini kenyataannya terbelah menjadi tiga entitas (autonomous) yang berdiri sendiri dan terlegimitasi oleh konstitusi dan terkuatkan oleh Dayton Peace Agreement  Yaitu :  Federasi Bosnia Herzegovina yang rata-rata dihuni etnis Bosnia (Muslim),  lalu Republik Srpaska yang mayoritas dihuni etnis Serbia dan Brcko District, daerah kecil penyangga antara entitas Republik Srpska dan Federasi Bosnia  di sisi Timur Laut Bosnia yang dihuni etnis Bosnia, Serbia dan Croatia bersama-sama.

Dan disitulah letak horror-nya.  Negeri terbelah menjadi tiga entitas dan masing-masing memiliki pemerintahan dan identitas sendiri.  Bahkan bendera Republik Srpska sangat mirip dengan Negara Serbia.  Apabila dihilangkan gambarnya,  maka bendera Srpska dengan kombinasi warna merah putih, indeed, adalah bendera negara Serbia.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Kota Mostar di pagi hari penghujung Mei 2017 sungguh beraroma misterius.  Usia dingin masih menusuk.  Menara-menara masjid bertebaran di banyak tempat.  Sebuah sungai bernama Neretva membelah Mostar dengan beberapa jembatan berdiri di atasnya.  Menghubungkan antara Velez Mountain dan Hum Hill.  

Satu jembatan yang paling popular dan menjadi landmark negeri Bosnia Herzegovina adalah Stari Most (old bridge).  Usia jembatan ini sama tuanya dengan sejarah masuknya Islam ke negeri Bosnia oleh Khilafah Turki Utsmani (Ottoman Empire) sejak abad 15 Masehi.    Stari Most menjadi popular karena seringkali ia dihancurkan dan kemudian dibangun kembali.  Sejak era Turki Utsmani hingga era perang Balkan 1992-1996.

Sisa-sisa perang masih nampak jelas di Mostar.  Beberapa bangunan tetap dibiarkan seperti adanya,  sebagai penanda disana pernah terjadi kekejaman antar sesama manusia.

Dua jam dari Mostar ke arah Timur Laut,  sampailah kami ke Sarajevo.  Kota yang melegenda karena adalah kota terbesar di Bosnia Herzegovina dan menjadi ajang pertempuran ketika perang Balkan.  Kendati sebagai ibukota negara,  penduduk kota ini tidak menyentuh angka 500.000 jiwa.  Alias masih jauh  lebih banyak penduduk Kota Depok di selatan Jakarta.   

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Dari sisi kemodernan, Sarajevo dan Bosnia memang tidak modern dan tidak lebih sejahtera dari jiran-nya Croatia,  Serbia ataupun Austria dan Hungary.  Jalan-jalan nampak lengang.  Trem-nya bukan produk terakhir. Tidak banyak gedung-gedung tinggi menjulang.  Dan masih banyak bangunan dibiarkan menjadi monument kekejaman Perang Balkan 1992 -- 1996 lengkap dengan bekas ledakan artileri dan lubang tembakan peluru-nya.  

Walau demikian,  Sarajevo menjadi keren karena disana juga berdiri Masjid Indonesia yang bernama resmi Masjid Istiqlal (kemerdekaan) dan persis berada di distrik Otoka, Sarajevo.  Masjid ini asli adalah sumbangsih dari pemerintah dan rakyat Indonesia untuk negara Bosnia Herzegovina dengan arsitek-nya Fauzan Nukman.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun