Mohon tunggu...
Heru Susetyo Nuswanto
Heru Susetyo Nuswanto Mohon Tunggu... Dosen - Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.M.Ag. Ph.D - Associate Professor Faculty of Law Universitas Indonesia

Associate Professor at the Faculty of Law University of Indonesia and Human Rights Attorney at PAHAM Indonesia. Studying Human Rights toward a degree (LL.M) at Northwestern Law School, Chicago, and Mahidol University, Bangkok (Ph.D. in Human Rights & Peace Studies). External Ph.D. researcher in Victimology at Tilburg University, Netherlands. Once a mountaineer, forever a traveler...and eager to be a voice for the voiceless people. Twitter : @herususetyo FB : heru.susetyo@gmail.com; e-mail : heru@herususetyo.com; IG : herususetyo2611

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menikmati Multikulturalisme dan "Hospitality" ala Gujarati

10 Maret 2017   00:36 Diperbarui: 13 Maret 2017   16:00 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada tiga pelajaran penting kalau ingin sukses bergaul antar bangsa dan antar budaya.  Pertama,  don’t judge the book from its cover. Kedua, jangan menggeneralisir.  Ketiga,  singkirkan stereotyping dan prasangka yang tak berdasar.

Masalahnya,  ketika berinteraksi dengan orang dari kultur dan bangsa yang berbeda,  belum-bel, um kita sudah preoccupied dengan prasangka-prasangka dan generalisasi yang ‘nggak jelas.’   Misalnya, stereotype terhadap orang Indonesia adalahsebagai bangsa  ‘pemalas’ dan ‘jam karet’,  padahal orang Indonesia yang rajin dan on time juga banyak. Lalu,  orang Eropa digeneralisasi sebagai ‘individualis’, "jaim"  dan ‘pelit’,  padahal banyak juga di antara mereka yang amat friendly, penuh basa basi, tidak selfish dan senang mentraktir.  Orang India tak lepas dari stereotype ini.  Dianggap terlalu banyak bicara (bawel or talkative)  daripada bekerja lalu badannya (maaf) kerap bau karena emoh menggunakan deodorant.

Sialnya,  orang seringkali percaya dengan prasangka-prasangka tak berdasar tersebut ketimbang fakta di lapangan.  Padahal ‘seeing is believing’,   kalau kita melihat sendiri kita akan lebih meyakini.  Ketimbang hanya mendengar saja tanpa pernah mengalami. Alias,  kita lebih senang menjadi hamba gossip daripada menjadi  hamba ALlah yang mengedepankan  fakta lapangan. 

Preoccupation seperti itu juga yangmenghinggapi saya ketika menyambangi India untuk keduakalinya.  Persisnya ke Nirma University, Ahmedabad, Gujarat State di bulan Februari 2017 silam.  Belum-belum saya sudah dihinggapi prasangka,  wah bakal mencium banyak bau badan nih,  wah bakal banyak berdebat di lapangan nih,  wah bakal kelaparan nih,  dan sebagainya.

Prasangka tersebut ternyata tidak sepenuhnya salah, tapi juga tak sepenuhnya benar.  Sejak mulai menumpang B737-800 Malaysia Airlines dari Kuala Lumpur menuju Mumbai (Bombay) yang saya rasakan adalah hospitality ala  pengundang saya,  para Gujarati dari Nirma University, Ahmedabad.   Tak sekedar mereka membelikan tiket saya pulang pergi Jakarta-Ahmedabad,  namun juga memberikan servis terbaik.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Saya memang tidak ditempatkan di business class, namun mereka menempatkan saya di economy plus.  Di kursi terdepan di belakang business class yang lapang space-nya dan berhadapan dengan separator business class, bukan dengan kursi lain.  Lalu,  saya ditempatkan di window seat juga, seolah bisa membaca pikiran saya bahwa saya adalah pecinta ‘window seat’ kemanapun saya melanglangbuana dengan pesawat.

“Veg or non veg”?  pertanyaan pramugari Malaysia Airlines memecah konsentrasi saya.  Ternyata ia menawarkan hidangan on board.   Pilihannya,  anda mau makanan vegetarian atau non vegetarian (otomatis ada daging, atau ayam, atau ikan dan derivat-nya disitu).   Pertanyaan ini amat jarang saya temui dalam perjalanan bersama pesawat kemanapun di seluruh dunia.  Biasanya pertanyaan pramugari adalah :  “fish or chicken, sir?”,  “omelette or potato”?  “Beef or Lamb”?   dan lain sebagainya.

Pertanyaan ‘Veg or Non Veg” ini ternyata terus saya temui  seterusnya,  tidak saja ketika berada di dalam pesawat yang menuju atau terbang dari India.   Orang India yang beragama Hindu,  umumnya memang vegetarian. Walau tidak semua juga.  Data sekunder menunjukkan bahwa sepertiga dari total penduduk India adalah vegetarian.  Daratan India amat  luas dan banyak penduduknya.  Kepercayaan dan agamanya juga bervariasi.  Bahkan,  empat dari agama/ kepercayaan besar lahir di negeri yang sekarang bernama India,  yaitu :  Hinduism, Buddhism, Sikhism, dan Jainism.  Pemeluk Islam, Kristen Protestan,  Katholik, Sikh,  Jainism  dan Buddhist di Indonesia  juga signifikan jumlahnya walau totalnya tidak melebih dua puluh persen.   Really a cutural and religious diversity nation ! 

Di Nirma University, Ahmedabad, ketika masuk waktu lunch di sela-sela conference kami,  seorang panitia menangkap kegelisahan saya ketika memandang hidangan yang terserak di meja makan.   Seolah bisa menangkap pikiran saya dia mengatakan : “don’t worry about food.  This is all vegetarian.  We anticipate that some participants are Muslims or in dietary, therefore  we provide no pork.”  Keren juga nih kampus, pikir saya dalam hati.  Membuat saya tenang dalam menyantap makanan.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Tak cukup itu,  ketika tiba waktu dinner,  kami dibawa oleh panitia ke “Barbeque Nation”,  restoran keluarga yang memang menyediakan menu non vegetarian,  apakah daging, ayam, ikan, hingga es krim, cokies, dan kuliner lain khas India yang amat menggoda  lidah.   Disini saya terharu.  Pasalnya saya tahu bahwa hampir semua panitia adalah vegetarian,  namun mereka membawa kami ke restoran barbeque.  Seolah tahu bahwa para tamu asingnya,  kami ada  yang berasal dari USA, Germany, China, Bangladesh,  dan Indonesia,  tak nyaman apabila harus menyantap menu vegetarian selama beberapa hari disana. .

“Veg or non veg?”  pelayan menyapa kami ramah.  “Please feel free to take any meats, chicken or fish that you like”’ ujar Pal,  salah seorang panitia kegiatan yang amat ramah.   Karena rindu dengan makanan non vegetarian maka saya-pun memilih ikan,cumi, udang dan beberapa produk laut.   Ketika menjumpai beef dan ayam,  seraya hati-hati saya bertanya tentang status halal dari produk-produk tersebut.  Dengan bangga sang pelayan mengatakan :  "These are all halal !"

Tak lama kemudin, saya bertanya kepada Pal dan Priya,  rekannya sesama panitia :  “Anda tidak makan ikan, daging, ayam dan sejenisnya?”  Pal menjawab ramah : “It’s OK Prof,  we’re vegetarian.  We’re fine….Maka,  sambil malu-malu saya menyantap hidangan seafood bakar di hadapan para pelaku vegetarian.   Posisi saya ketika itu laksana ‘unbeliever’  saja di hadapan para praktisi agama Hindu yang memilih jalan vegetarian.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Disamping toleransi yang tinggi,  kehebatan rekan-rekan kami orang Gujarati ini adalah hospitality-nya.  Kami diperlakukan bak raja selama di conference ini.  Sejak mulai penjemputan di bandara,  pelayanan di guest house universitas, service selama conference,  hingga pengantaran kepulangan.    Mau masuk mobil pintu dibukakan,  diberi kursi yang paling nyaman, juga diprioritaskan berangkat paling duluan.   Panitia dan dosen-dosen lokal,  walaupun berjudul 'profesor"  cukup humble dan mendahulukan tamu asing.  Saya cukup sering ke pelbagai conference ke mancanegara,  namun baru kali ini saya diservis habis-habisan oleh host kami. 

Di guest house sama saja.   Ingin makan di dining room,  malah dicegah.  Makanannya yang malah mereka antar ke kamar.  Ingin air mineral atau minta chai (Indian milk tea) tak perlu ngomong,  mereka akan antar sendiri tanpa diminta.  Lalu bolak balik manajer  guest house dan staff-nya menanyakan, apa yang kurang?  Perlu apa lagi?  Dan sebagainya.  Bak pangeran dari negeri dongeng saja saya ini...

Satu hal yang penting lagi,  imej saya bahwa orang India bau badan ternyata sirna selama di Gujarat State.  Tak ada satupun yang tercium beraroma memabukkan.  Mungkin hal itu karena saya berinteraksi dengan kalangan akademis yang berpendidikan tinggi.   Bisa jadi situasinya  berbeda kalau bertemu dengan orang kebanyakan.   Tapi itu tak penting,  sekali lagi itu tak penting karena saya mulai merasa at home di India,  kuliner-nya dahsyat, ATM ada dimana-mana, warisan budaya lama tetap terpelihara,  dan yang terpenting  adalah dimana-mana mudah menemukan orang yang tengah  tersenyum dan tertawa !   namaste !  

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun