Melihat daftar menunya, memang variasi makanan restoran ini amat lengkap. Nyaris seperti restoran di Indonesia. Saya jadi berfikir, apa lidah bule cocok untuk semua menu itu? “Bisa kok pak. Mereka bisa makan makanan Indonesia. Sate yang paling mereka suka,” tukas rekan mahasiswa Indonesia disana.
Komunitas Indonesia di Krakow memang amat sedikit. Namun terlihat amat guyub. Pada Juli 2016 ini ada sekitar tujuh mahasiswa yang belajar disana. Sebagian belajar bahasa Poland saja untuk kemudian pindah ke kota lain. Yang lainnya memang belajar dalam rangka mengambil Master ataupun Doctor. Juga ada beberapa pekerja Indonesia yang bekerja di Krakow. Ada yang membawa keluarga dan ada juga yang ‘jomblo local.’ Orang Indonesia lainnya adalah pasangan campuran. Menikah dengan warga Poland dan tinggal di sekitar Krakow.
“Kami senang kumpul-kumpul seminggu sekali Pak.” Apalagi pas lagi bulan puasa. Kita bisa buka bareng, maghriban, shalat isya, tarawih sampai sahur bersama di rumah ini. Masjid disini hanya satu. Jauh pula. Kalau shalat isya disana hingga shalat tarawih akan kesulitan pulang malam. Akan sulit juga cari makan sahur di sekitar masjid. Karena jarak antara maghrib hingga subuh berkisar lima jam saja. Kami buka puasa di summer ini bisa menjelang jam 9 malam, shalat Isya jam 11 malam. Tarawih bisa berakhir jam 01.00. Sementara jam 2 .20 sudah masuk subuh. Maka biasanya kami berjaga, tidak tidur sampai sahur dan kemudian shalat subuh. Setelah shalat subuh baru tidur. Ini memang tantangan kami disini,” papar Abu Hanif, expatriate Indonesia di Krakow.
Krakow memang indah dipandang, indah dijelajahi. Ingatan dan wawasan dimanjakan. Namun, bagi pemukim dan pelancong Muslim, Krakow memang tantangan tersendiri. Witamy w Krakowie !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H