Revolusi politik di EropaTimur yang mengiringi kejatuhan Uni Soviet (USSR) di penghujung akhir tahun 1980-an berdampak serius pada negara-negara satelitnya. Salah satunya adalah Polandia, negeri bangsa Polish (Poles) yang berbatasan langsung dengan Jerman, Czech Republic, Slovakia, Ukraine, Belarus, Lithuania, Russia (daerah enclave Kaliningrad) dan terpapar Laut Baltik di sisi utaranya. Sejak tahun 1989, negeri berbendera putih merah (kebalikannya Indonesia) ini mendadak jadi terbuka terhadap dunia luar, mengundang orang untuk menyibak misteri indah di dalamnya yang lama terpendam rezim komunis.
Salah satu misteri indah itu adalah Krakow. Krakow atau dibaca ‘Krakuv’, bisa juga ‘krakov’ adalah kota terbesar kedua di Polandia yang terletak tak jauh dari perbatasan dengan Negara Slovakia.
Sebelum dikenal sebagai kota budaya nomor wahid Eropa dan destinasi wisata terheboh di Polandia, publik rata-rata hanya mengenal Krakow untuk dua perkara. Pertama, di dekat Krakow berdiri Kamp Auschwitz – Birkenau yang termasyhur sebagai kamp pembantaian NAZI Jerman terhadap warga Yahudi, Gypsy dan homosexual (holocaust). Kedua, di kota ini, tepatnya di Katowice, lahir Karol Wojtyla alias John Paul II (alias Yohannes Paulus II) Paus asal Polandia yang memimpin umat Katolik dunia pada 1978 – 2005, dan termasyhur sebagai Paus Non Italia pertama yang terpilih dalam lima ratus tahun terakhir.
Namun kini Krakow lebih dari sekedar kamp Auschwitz dan John Paul II. Ia adalah perpaduan keindahan masa lalu dan optimisme masa depan. Bangsa Polish dan warga Krakow patut diacungi dua jempol untuk urusan merawat ingatan. Bangunan-bangunan bersejarah saat Krakow menjadi ibukota Poland pada abad 11 sampai 16 masehi masih terawat baik. Juga bangunan-bangunan yang lebih anyar. Dengan menyambangi Wawel Castle, Wawel Hill, Wawel Cathedral, menyusuri Rynek (lapangan yang dulu berfungsi sebagai pasar) yang dikenal sebagai Old Town, lalu mendatangi mantan lokasi permukiman Jewish (dulu disebut Krakow Ghetto, kini di daerah Kazimierz atau dikenal sebagai Jewish Quarter), dengan mudah ingatan orang terbang ke masa lalu. Masa ketika Republik Polandia belum lahir. Ataupun masa perang dunia II ketika NAZI German menguasai Krakow.
Selain Auschwitz-Birkenau, peristiwa-peristiwa besar yang berlangsung kurang dari seabad silam juga dipelihara dengan baik ingatannya di Krakow. Ada memorial pengingat Katyin Massacre 1940 – 1943 berbentuk salib besar. Ada memorial Lech Aleksander Kaczynski dan istrinya, President Polandia yang tewas bersama istri dan segenap orang-orang penting Polandia dalam kecelakaan pesawat di Smolensk Russia, pada 10 April 2016.
Kontur Krakow yang berbukit dan dibelah Sungai Vistula di tengah-tengahnya menyajikan keindahan tersendiri. Berbeda dengan kota-kota di belahan utara Poland yang rata-rata plain karena di dataran rendah, Krakow beruntung berlokasi di dekat pegunungan Carpathians sehingga kontur alamnya bervariasi.
Namun, bagi wisatawan Muslim, menyambangi Krakow adalah tantangan tersendiri. Di kota berpenduduk mayoritas Katholik dan Jewish ini, pelancong Muslim, apalagi muslimah berjilbab, adalah pemandangan yang agak langka. Maka, masjid pun sukar dijumpai. Sampai tahun 2016 ini hanya ada satu masjid (Islamic Center) di Krakow. Itupun tidak berbentuk masjid seperti halnya di negeri-negeri Muslim, berupa lima ruangan terpisah saja yang berada di lantai underground yang sengaja disewa. Begitupun Alhamdulillah. Karena untuk mendapatkan ruangan ini saja diperlukan perjuangan panjang Muslim Krakow bertahun-tahun.
Makanan halal adalah isu yang lain lagi. Kendati ramah terhadap pendatang, namun pelancong dan imigran Muslim memang minoritas disini. Jauh berbeda dengan pemandangan di Germany, Netherlands maupun France. Mencari daging atau makanan halal menjadi tantangan sendiri.
Kabar baiknya bagi orang Indonesia, ada satu restoran Indonesia disini. Namanya unik, Bumbu Jawa. Ega, seorang perempuan asli Yogya dan suaminya yang asli Polandia, yang mendirikannya. Lokasi Bumbu Jawa amat strategis. Di pinggir jalan besar tak jauh dari Kazimierz (Jewish Quarter) dan dapat dijangkau berjalan kaki dari Old Town.
“Restoran ini belum setahun buka Pak. Menunya bervariasi, tidak hanya makanan Jawa. Koki-nya ada dua. Dua-duanya orang Indonesia. Koki tersebut sebelumnya bekerja di Restoran Indonesia di Poznan, namun kini tak buka lagi,” ujar Ega ramah.