Seperti hujan, waktu yang telah berlalu tak akan kembali.
Seperti hujan, dibalik deritanya pasti akan terkuak sebuah rahasia besar.
Puing-puing, rumahku sudah hancur menjadi puing. Rumah kecil berkamar satu berisikan 6 kepala, berhempit-hempitan berbagi kehangatan di tiap malamnya.
Pada keadaan aku tak pernah mengadu dan marah pada Sang Maha Kuasa, atas taruhan yang dipasang di hidupku. Munafik memang jika kami berkata suka akan keadaan yang dimiliki saat ini.
Tapi mereka mengangggap kami lebih dari sampah, hidup bergejolak dan menjijikkan. Padahal tak pernah sekalipun kami menyentuh seujung rambut mereka.
Mereka berdalih mengatasnamakan penertiban diatas penggusuran. Tanpa dasar apa-apa, tanpa persetujuan apa-apa dan tanpa ijin apa-apa. Kami diusir dari tanah kelahiran kami, dari tanah tempat tinggal nenek moyang kami sejak ribuan tahun yang lalu.
Yang mereka lupakan bukan hanya sekedar air sebagai sumber kehidupan yang membuat kami hidup di sepanjang bantaran. Mereka lupa ada manusia yang harus dimanusiakan.
Atau memang merekalah manusia yang harus dimanusiakan.
Yang lucu adalah jalan pintas itu tak berujung apa-apa, selain menerkam diri mereka kembali. Lewat tangan mereka, Mereka menjual negeri antah berantah.
Lalu aku bertanya pada mereka, apa yang sudah mereka kerjakan? Pada rakyat kecil yang sudah mereka janjikan.
-----------------
Memoar penggusuran sepihak di ibukota tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H