Mohon tunggu...
Hasrullah Harun
Hasrullah Harun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa

'Natus Silentium qui samper minoris'

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Media Massa dan Propaganda dalam Ancaman Konflik di Laut China Selatan Terhadap Kedaulatan Indonesia

28 Mei 2024   16:39 Diperbarui: 29 Mei 2024   15:21 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik di Laut China Selatan yang melibatkan China dengan sejumlah negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Indonesia dianggap salah satu 'titik panas' geopolitik dunia. Muhar Junef dalam Jurnal Penelitian Hukum De Jure Kemenkumham Vol 18 No 2 (2018) menyebut konflik ini kian 'panas' pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Melihat pentingnya Laut China Selatan untuk perdagangan global dan kekayaan sumber daya alamnya, termasuk cadangan minyak dan gas. Klaim teritorial dan tindakan seperti pembangunan pulau buatan dan aktivitas militer yang dilakukan China meningkatkan ketegangan dan menarik perhatian dari kekuatan global seperti Amerika Serikat, yang memiliki kepentingan strategis di kawasan tersebut.

Bagi kedaulatan Indonesia, klaim Tiongkok terhadap hampir 90% Laut China Selatan melalui Nine Dash Line dipandang bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang mengakui Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara. Aktivitas kapal-kapal nelayan China di wilayah ZEE Indonesia sebagai pelanggaran hukum menunjukkan bahwa ancaman kedaulatan ini nyata.

Dinamika yang muncul dari konflik Laut China Selatan ini tidak cukup dilihat melalui sudut pandang diplomatis dan militer saja, tetapi juga dari lensa penyebaran informasi dan propaganda. Sehingga penting untuk mengeksplorasi bagaimana narasi, propaganda, dan peran media massa dalam konflik ini, serta apa yang bisa dilakukan Indonesia untuk menjaga kedaulatan pada penyebaran informasi di era digital kini.

China telah menggunakan propaganda untuk menguatkan klaimnya atas Laut China Selatan. Demikian terlihat pada Penelitian Damar Ananggadipa pada 2018 yang menganalisis publikasi Xinhuanet dengan analisis wacana propaganda Jowett dan O'Donnell. Di mana propaganda sebagai suatu usaha sistematis yang disengaja untuk membentuk persepsi, memanipulasi kognisi, dan perilaku langsung untuk mencapai tanggapan yang melanjutkan tujuan propagandis. Propaganda ini berpotensi mempengaruhi audiens domestik maupun internasional dan upaya menciptakan persepsi global yang mendukung posisi China dalam sengketa tersebut.

Tidak hanya China, negara-negara seperti Vietnam dan Filipina juga aktif melakukan propaganda melalui media untuk menyoroti dan mengklaim kedaulatan mereka. Dengan melihat fenomena ini, Indonesia yang berada di tengah dinamika, harus mengadopsi pendekatan komunikasi yang lebih strategis untuk menangkal narasi yang merugikan dan memperkuat klaim kedaulatannya. Dari sini, peran media perlu dipandang vital, bukan lagi sebatas menyampaikan informasi kondisi konflik semata. Seperti hasil penelitian Eri Budi Wibowo (2022) yang menyatakan bahwa media massa merupakan second track diplomacy pada konflik Laut China Selatan saat ini.

Pendekatan sebagaimana yang dimaksud ialah Teori Framing dan Teori Agenda Setting. Melalui framing, media di Indonesia perlu mengatur narasi seperti menekankan urgensi dan kebutuhan untuk resolusi yang adil dan damai berdasarkan hukum internasional. Lalu membingkai isu kerja sama dan diplomasi multilateral, daripada konflik bilateral dengan China. Ini bisa membantu menarik dukungan internasional dan memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi. Selain itu, menyoroti konflik dari sisi dampak pada komunitas lokal, termasuk nelayan dan ekonomi lokal berpeluang membantu meningkatkan dukungan publik terhadap upaya pemerintah dalam mempertahankan kedaulatan.

Pada agenda setting, media Indonesia dapat membantu menetapkan konflik Laut China Selatan sebagai prioritas pemberitaan dengan secara konsisten meliput isu ini. Publik harus tetap terinformasi dan terlibat dengan perkembangan terbaru, hingga meningkatkan tekanan terhadap pemerintah untuk bertindak. Media juga perlu memobilisasi opini publik seperti menampilkan cerita tentang dampak konflik pada kehidupan sehari-hari atau keamanan nasional, hingga menginspirasi tindakan ataupun dukungan publik.  Penting pula menginternasionalisasikan isu guna propaganda positif pada konflik ini.

Dalam penerapannya, media massa tidak sekedar menangkal propaganda, melainkan juga pada pencegahan dan konfirmasi atas penyimpangan informasi yang memicu banyak hal negatif di era digital saat ini. Dengan strategi komunikasi yang cerdas dan koheren, Indonesia tidak hanya mempertahankan kedaulatannya, tetapi turut memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas regional dan membangun konsensus internasional atas konflik di Laut China Selatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun