Mohon tunggu...
Sotardugur Parreva
Sotardugur Parreva Mohon Tunggu... -

Leluhurku dari pesisir Danau Toba, Sumatera Utara. Istriku seorang perempuan. Aku ayah seorang putera dan seorang puteri. Kami bermukim di Jawa Barat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Urun Pendapat Atas Tulisan Afifuddin Lubis "Ahok Cabut Banding, Akan Ada Penghargaan Internasional"

23 Mei 2017   10:46 Diperbarui: 23 Mei 2017   11:22 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berhubung artikel tersebut diakhiri dengan: “Apakah yang ada di pikirannya tentang pencabutan banding itu hanya Ahok lah yang tahu sedangkan kita hanya bisa menduga duga,”saya tertarik urun pendapat.

Seperti Afifuddin Lubis termasuk orang terkejut membaca berita pencabutan permohonan banding BTP (Basuki Tjahaja Purnama) atas vonis dua tahun penjara dalam kasus penodaan agama, Penulis juga terkejut.  Keterkejutan Penulis karena dengan demikian, menurut pendapat Penulis, BTP menerima bahwa dia dituduh menodai agama yang bukan anutannya. Benarkah? Kembali lagi, hanya BTP yang tahu, dan Tuhan tentunya.

Lepas dari rencana Jaksa Penuntut Umum akan mengajukan banding, Penulis ingin mengajukan pendapat atau dugaan terhadap alasan keputusan BTP mencabut permohonan banding.  Penulis sependapat, bahwa apabila JPU tidak mengajukan banding, dan BTP mencabut permohonan banding yang terlanjur didaftarkan, maka vonis hakim, yaitu pidana dua tahun penjara kepada BTP segera menjadi berkekuatan hukum tetap.  

Dengan BTP mencabut permohonan banding, searti dengan BTP menerima tuduhan melakukan penodaan agama yang bukan anutannya, berkonsekuensi terhadap ditahannya BTP dalam bui.  Kondisi sosial masyarakat pasca vonis BTP bergelora dengan unjuk rasa berupa penyalaan lilin dan permintaan pembebasan BTP, mengindikasikan bahwa vonis tersebut nyata-nyata ‘mengoyak rasa keadilan’.

Dengan kata lain, Penulis sependapat dengan dakwaan jaksa, setahun penjara dengan percobaan dua tahun.  Dalam arti, bahwa secara disadari atau tidak, setelah mengadakan penyelidikan dan penyidikan, diputuskan bahwa BTP bersalah menodai agama yang bukan anutannya.  Atas hal penodaan tersebut, BTP patut dibui setahun, namun karena mempertimbangkan sikap dan perbuatan BTP selama ini sangat produktif untuk masyarakat, maka dia dijatuhi percobaan.  Maksudnya, apabila selama masa percobaan ternyata BTP melakukan sikap yang dinilai merupakan penodaan agama yang bukan anutannya, maka pembuian diberlakukan kepadanya.

Menurut Penulis, unjuk rasa berupa penyalaan lilin dan permintaan pembebasan BTP menyusul vonis hakim tersebut menunjukkan ‘keterkoyakan rasa keadilan’ di masyarakat.  Andaikan ‘keterkoyakan rasa keadilan’ itu ditunjukkan oleh hanya orang Indonesia, baik yang ada di dalam negeri maupun di manca negara, patut diduga bahwa ‘keterkoyakan rasa keadilan’ itu didorong oleh faktor subyektivitas.  Namun, kenyataan, bahwa senada dengan pembakaran lilin dan pengajuan permintaan pembebasan BTP, lembaga-lembaga internasional ikut bersuara, menyuarakan adanya ketidakadilan atas vonis tersebut.  Dengan demikian, sulit bagi Penulis menganggap bahwa vonis hakim kepada BTP, tanpa cacat.  Vonis itu ‘mengoyak rasa keadilan’.

Kembali ke keterkejutan Penulis atas pencabutan permohonan banding.  Mencermati pembacaan vonis melalui tayangan media elektronik, di mana, seketika setelah hakim membacakan vonis, serta-merta setelah berbisik-bisik dengan tim penasehat hukum, BTP menyatakan banding, tetapi kemudian mencabut pengajuan banding, cukup mengejutkan bagi Penulis.  Namun, setelah mencoba merenungkan, keterkejutan itu sedikit mendapat penjelasan, walaupun penjelasan termaskud belum tentu seperti yang dipertimbangkan BTP.   

Menurut Penulis, pencabutan banding dilakukan dengan pertimbangan yang cukup. Dari pemberitaan media diketahui bahwa materi banding yang sempat didaftarkan, tidak jauh beda dari pledoi yang sudah diajukan dalam siding tingkat pertama.  Dengan menghormati proses peradilan, bahwa peradilan tingkat banding tidak akan jauh beda dengan peradilan tingkat pertama maka proses banding yang mengajukan hal-hal yang sudah dikemukakan sebagai pledoi di peradilan tingkat pertama, tidak akan berbeda.  BTP dinyatakan bersalah secara sah dan meyakinkan.  Meyakinkan siapa?  Meyakinkan majelis hakim. Maka, dengan menghormati proses peradilan, pengajuan banding dicabut.

Selama peradilan tingkat pertama, BTP sudah menyatakan tidak melakukan penodaan agama. Untuk mendukung pernyataannya, BTP mengajukan berbagai bukti dan informasi serta saksi.  Dia berharap dengan keyakinannya, tidak akan dihukum.  Para pendukung dan simpatisannya serta lembaga internasional juga menduga bahwa BTP tidak akan dihukum.  Pun jika ada dari pernyataannya yang sudah-sudah, pantas dinilai sebagai penodaan agama, sangat cukup jika diingatkan dengan hukuman percobaan.

Lhah, kalau hakim tingkat pertama menjatuhkan hukuman bukan percobaan, bahkan langsung ke dalam bui walau vonis belum berkekuatan hukum tetap, patut diduga bahwa putusan tersebut bukan berdasarkan fakta persidangan.  Satu kemungkinan, karena adanya tekanan massa.  Hanya majelis hakim dan Tuhan yang mengetahui.

Tentang penghargaan internasional, menurut pendapat Penulis, bukan target atau tujuan BTP.  Dari sikapnya selama dapat Penulis ketahui melalui media, BTP hanya ingin memajukan daerah di mana dia dipercaya sebagai pengambil kebijakan.  Dia ingin agar anggaran yang sudah direncanakan untuk sesuatu, kurang baik kalau ternyata menjadi hal yang lain.  Maka, BTP tidak sungkan harus berbeda sikap dengan banyak anggota dewan (yang nota bene adalah pemegang hak anggaran) sekalipun.  Dengan demikian, menurut Penulis, jika lembaga internasional merasa patut menghargai BTP dengan penghargaan tertentu, itu bukan tujuan BTP yang menginginkan kemajuan masyarakat.

Salam bhinneka tunggal ika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun