Mohon tunggu...
Sotardugur Parreva
Sotardugur Parreva Mohon Tunggu... -

Leluhurku dari pesisir Danau Toba, Sumatera Utara. Istriku seorang perempuan. Aku ayah seorang putera dan seorang puteri. Kami bermukim di Jawa Barat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menduga Ujung Keputusan MK tentang Pengosongan Kolom Agama

5 Mei 2017   07:10 Diperbarui: 5 Mei 2017   09:07 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari https://news.detik.com/  diketahui bahwa Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim telah menggugat agar MK (Mahkamah Konstitusi) meninjau pasal 61 ayat (2) UU No.23/2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Di pasal tersebut tercatat “Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan”. Penggugat berpandangan bahwa pasal dan ayat tersebut diskriminatif. Berdasarkan pada pasal tersebut, maka kolom agama di KTP penghayat kepercayaan di Indonesia sebagian besar hanya diisi dengan strip datar (-) saja.

Pencantuman (-) pada kolom agama bertentangan dengan apa yang dikatakan Hamka Haq (Anggota MPR Fraksi PDI Perjuangan) dalam ceramahnya di depan peserta Sosialisasi Empat Pilar MPR, "Di Indonesia tidak boleh ada yang mendeklarasi dirinya tidak beragama," Makassar, 25/3/2017. Menjadi soal, ketika seorang warga negara meyakini kerpercayaan yang diwarisinya dari leluhur, tetapi kepercayaan itu tidak dipandang sebagai agama oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Warga negara tersebut tidak menganut satupun dari enam agama yang diakui.

Memang aneh. Sebelum agama-agama yang diakui (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu) masuk ke Nusantara, di Nusantara sudah ada kepercayaan yang dianut oleh leluhur orang-orang Nusantara. Contoh, ada Aluk Todolo di Tanah Toraja, ada Kaharingan di Kalimantan, ada Sunda Wiwitan di Jawa Bagian Barat, dan lain-lain wilayah Nusantara. Kepercayaan itu berbeda satu dengan lainnya, bhinneka,namun punya kesamaan, yaitu memandang bahwa ada kekuasaan yang maha dahsyat yang tidak setiap orang dapat mendeteksinya secara akurat. Hal itu pula yang diakomodir dalam sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kemudian, datanglah kepercayaan-kepercayaan dari luar Nusantara, diakui sebagai agama. Kepercayaan leluhur tidak dipandang sebagai agama. Wajar jika pewaris dan penganut kepercayaan leluhur, atau yang mewakili, merasakan adanya diskriminasi. Mereka mewarisi kepercayaan dari leluhur Nusantara, kemudian sebagian (besar) dari generasi penerus leluhur itu tertarik memeluk kepercayaan yang datang dari luar Nusantara, selanjutnya pemeluk kepercayaan pendatang tidak mengakui kepercayaan leluhur sebagai agama. Benar-benar aneh. Bagaikan pepatah tempo doeloe, lupa kacang akan kulitnya.

Dampaknya, berbagai urusan kependudukan, pendidikan, bahkan ekonomi para penghayat kepercayaan leluhur menjadi terhambat. Hak konstitusional penghayat kepercayaan seperti dikebiri. Hendak melamar menjadi aparatur sipil negara, terhambat karena kolom agama di KTP kosong. Hendak masuk sekolah, terhambat karena dipandang tidak beragama. Hendak mengajukan pinjaman ke lembaga keuangan, terhambat karena kolom agama kosong. Padahal, sejak dari leluhur mereka, sudah hidup di Nusantara, malang, di zaman kemerdekaan justru dihalang-halangi bersosialisasi hanya karena mewarisi kepercayaan leluhur.

Gugatan para penggugat ke MK mengenai pasal 61 UU No.23/2006 yang mewajibkan penganut kepercayaan leluhur mengosongkan kolom agama, sudah mulai disidangkan tanggal 03/05/17. Kesembilan hakim di MK yang memiliki keyakinan agama berbeda-beda, tertarik atas gugatan tersebut. Hakim-hakim MK ialah Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S., Dr. Anwar Usman, S.H., M.H.,  Prof. Dr. Maria Farida Indrati, Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si.,DFM., S.H., Dr. Wahiduddin Adams, S.H., M.A., I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Dr. Suhartoyo, S.H., M.H., Dr. Manahan M.P. Sitompul, S.H., M.Hum., dan Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A. Mereka memandang bahwa masalah yang digugatkan (pengosongan kolom agama penghayat kepercayaan adalah bentuk diskriminasi) merupakan masalah serius yang harus dibenahi pemerintah.

Penulis menduga, jika hakim MK memutuskan kolom agama bagi warga penghayat kepercayaan harus ditulisi agama (kepercayaan yang bukan satu dari enam agama pendatang ke Nusantara), maka kepercayaan yang dianut itu harus diakui sebagai agama. Konsekuensinya, peraturan perundang-undangan yang menyebut nama agama yang diakui, harus diamandemen untuk mengakomodir nama-nama kepercayaan leluhur yang dinamis di masyarakat.

Jika penganut kepercayaan leluhur harus menuliskan nama suatu agama yang sudah diakui, padahal dia menganut kepercayaan leluhur, artinya, dia membohongi diri sendiri, dan diketahui oleh negara. Aneh, negara mengetahui warganya berbohong (atau malah memaksa bohong?), namun pura-pura tidak melihat.  Rasanya, bukan itu tujuan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) didirikan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbohong itu bukan cerdas, tetapi, cerdik atau licik.

Jika gugatan tidak diterima, artinya, kolom agama di KTP penghayat kepercayaan harus dikosongkan, maka diskriminasi kepada para penganut kepercayaan akan seterusnya berlangsung. Kehidupan sosial mereka akan senantiasa terasa dikejar-kejar, hanya karena mereka melestarikan kepercayaan yang diwarisi dari leluhur. Hal seperti itu menciderai cita-cita perebutan kemerdekaan dari penjajah, yang hendak memerdekakan segenap tumpah darah NKRI, terutama memerdekakan warga negara.

Itu dugaan Penulis akan ujung sidang MK atas pengosongan kolom KTP pemeluk kepercayaan leluhur yang tidak diakui sebagai agama. Negara tidak mengakui kepercayaan leluhur sebagai agama, karena negara mengartikan agama sebagaimana orang dari luar Nusantara mengartikan agama.

Salam bhinneka tunggal ika.

Sumber bacaan:

https://news.detik.com/berita/d-3491040/ketua-mk-kenapa-agama-dari-asing-diakui-kalau-dari-leluhur-tidak

https://news.detik.com/berita/d-3491378/ahli-ugm-agama-yang-kita-maknai-adalah-jiplakan-dari-barat

https://news.detik.com/berita/d-3365030/melihat-lebih-jelas-masalah-penganut-kepercayaan-soal-kolom-agama-di-ktp

https://news.detik.com/berita/d-3491478/cerita-penghayat-kepercayaan-dicap-pki-hingga-tak-dapat-hak-publik

https://news.detik.com/berita/d-3457076/sosialisasi-4-pilar-mpr-hamka-haq-semua-wni-harus-beragama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun