Mohon tunggu...
Sotardugur Parreva
Sotardugur Parreva Mohon Tunggu... -

Leluhurku dari pesisir Danau Toba, Sumatera Utara. Istriku seorang perempuan. Aku ayah seorang putera dan seorang puteri. Kami bermukim di Jawa Barat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masihkah Kita Mencari Dalil untuk Membela Tanah Air?

17 April 2017   10:40 Diperbarui: 17 April 2017   20:00 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel Islam dan Sebuah Negara Kesatuan yang diposkan 31 Maret2017 oleh Rifqi Qowiyul Iman menarik didalami, karena ditutup dengan pertanyaan, “Lalu, masihkah kita mencari dalil untuk membela tanah air?”  Jika direnungkan, seharusnya memang tidak ada lagi pencarian dalil untuk membela tanah air.  Bahwa membela tanah air Indonesia dalam lingkup NKRI (Negara Kesatuan RepublikIndonesia) sudah tuntas, sudah selesai, sudah harga mati, sudah dilakukan oleh para pendiri bangsa.

Artikel tersebut mengungkapkan bahwa konsep darussalam dipopulerkan oleh NU (Nadlatul Ulama) melalui putusan muktamar tahun 1936 (kira-kira sembilan tahun sebelum NKRI terbentuk).   Dikatakannya, darul islam dalam putusan muktamar tersebut harus dipahami dalam konteks diskursus darul islam, darul harbi dan darul 'ahdi/darusshulhi/darussalam. Bahwa Indonesia adalah darul islam (bukan diartikan sebagai sebuah sistem tata negara, tapi bahwa dominan penduduknya adalah muslim).

Termaknai, bahwa melalui putusan muktamar tersebut, NU menyatakan Indonesia adalah darul islam yang berarti penduduk Indonesia dominan menganut Islam. Darul islam sendiri dapat berupa darul harbi, atau darul ‘ahdi/darusshulhi/darussalam.  Dengan kata lain, karena penduduk Nusantara ketika itu dominan menganut Islam, maka putusan muktamar NU pada tahun 1936 menawarkan alternatif, sangat mungkin mendirikan negara darul islam, dengan sistem darul harbi, atau darul ‘ahdi/darusshulhi/darussalam.

Muktamar NU tersebut menyebut Indonesia adalah darussalam dalam arti darusshulhi atau darul 'ahdi yang didefinisikan sebagai daerah yang netral yang menjunjung tinggi hak dan kebebasan beragama. Pengertian darusshulhi atau darul 'ahdi yang dimaksudkan oleh muktamar NU tersebut berbeda dari pengertian darusshulhiatau darul 'ahdi sebenarnya. Darusshulhi atau darul'ahdi pada putusan tersebut mengartikan bahwa hak dan kebebasan beragama sangat dijaga serta dilindungi.

Muktamar NU menyebut seperti itu karena keadaan fawdha (tidak adapemimpin atau tidak ada negara) lebih berbahaya (dharar) dibandingkan dengan ada negara.  Jadi, meskipun belum ada pemerintahan Indonesia ketika itu, muktamar NU menyebut Indonesia sebagai darussalam sebagai sistem ketatanegaraan yang diinginkan.

Artikel tersebut juga mengulas, bahwa KH A Wahid Hasyim dan perwakilan kaum muslimin dalam sidang BPUPKI ber-ijtihad mencantumkan tujuh kata (…dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeloek-pemeloeknja) pada Piagam Djakarta dalam rangka mendirikan negara Islam.  Dikatakannya, menjadikan Indonesia sebagai negara Islam sulit direalisasikan karena penduduk Indonesia sangat majemuk (bhinneka).  Kondisi kemajemukan penduduk Indonesia sudah dari dahulu, karena terdiri dari banyak pulau, beragam bahasa dan budaya, bermacam warna kulit, banyak jenis kepercayaan, dan lain-lain.

Maka, daripada tidak ada pemerintahan (fawdha), semua pemuka bangsa ketika itu sepakat mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Muncullah istilah “NKRI harga mati”. Segenap komponen bangsa harus bersatu, abaikan keterpisahan pulau, abaikan macam-macam budayadan bahasa, abaikan ragam kulit, abaikan rupa-rupa kepercayaan, abaikan segala hal yang berbeda, semuanya harus bersatu untuk membentuk NKRI.

Nah, artikel tersebut juga mengulas bahwa terminologi negara dan agama perlu tamyiz (pemilahan) bukan tafriq (pembedaan).  Menurut nalar, baik pemilahan maupun pembedaan, sama-sama menunjukkan adanya dua hal, yaitu negara dan agama.  Jika mengacu ke perkataan Presiden pada Peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Barus Sumatera Utara, dikatakannya, jangan mencampuradukkan politik dan agama.  Bukan pencampuradukan negara dan agama.  Politik memang berbeda dari agama, dan tidak baik jika dicampuradukkan.

Benar adanya, jargon "NKRI harga mati" adalah sebuh produk berpikir yuridis agamis. Karena itu, patut diyakini bahwa kemunculan jargon tersebut, diinspirasi oleh Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak layak untuk diganti oleh manusia.  Idealnya, walaupun agama-agama yang datang ke Nusantara mempunyai karakter yang progressif menjadikan semua manusia Nusantara menganut agama tersebut, biarlah Tuhan Yang Maha Esa yang menentukan, bukan karena adanya pemaksaan suatu kaum kepada kaum lainnya.    

Semoga pemahaman tersebut tidak salah.

Salam bhinneka tunggal ika.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun