Mohon tunggu...
M Hasbi A.s
M Hasbi A.s Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Cerpenis saja ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pegawai Negeri

3 September 2012   11:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:58 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ya beda lah, Pak. Jangan disama-samakan. Kita memang sama-sama kerja, tapi yang dikeruk kan beda,” ujar Kateno.

“Lha, sampeyan kok pesimis gitu ­toh? Wes percaya sama saya kalau Tuhan itu adil bagi rejeki,” kata Idris.

“Bukannya pesimis, Pak, tapi memang nggak sama kok. Enak sampeyan pegawai negeri di kelurahan, sembarang tercukupi. Lha orang-orang seperti saya yang belum jelas pendapatannya ini bagaimana? Apa bisa disama-samakan dengan pegawai yang nanti dapat pensiunan. Hahaha…” Tawa Kateno tumpah di atas wajannya. Tawa yang seasin nasi gorengnya.

Dengan gaya seorang yang hafal takaran saos serta bumbu nasi goreng, Kateno membolak-balik nasi putih dalam wajan agar merata merahnya.

“Untuk belanja perempuan di rumah besok hari saja masih bingung,” Kateno berkata lebih kepada dirinya sendiri.

“Ya dimasakkan nasi goreng sama mie saja, Pak. Kan nasi goreng Bapak sudah terkenal enak di perumahan ini,” Idris menghibur.

Kateno tersenyum kecut. Meskipun makan pizza, kalau tiap hari ya bosan, batinnya. Setelah dirasa cukup matang, isi wajan itu dibaginya menjadi tiga bagian seperti permintaan Idris. Kemudian tiap bagian diirisi daging ayam dan telur dadar yang sebelumnya sudah disiapkan. Lalu semuanya dijadikan satu dalam tas kresek merah dan ia serahkan pada si pembeli.

“Percaya saja, Pak, rejeki itu sudah ada yang mengatur. Kita cuma bisa ikhtiar.” Idris menepuk bahu Kateno. “Simpan saja kembaliannya. Assalamualaikum!”

Kateno memasukkan tiga lembar sepuluhribuan ke dalam sakunya sambil memandangi Idris yang berlalu.

Masa’ bawa mobil tapi kembalian lima ribu masih ditunggu? Pikirnya sinis.

*

Kateno ada di kamar bersama istrinya. Ia sedang dikeroki karena masuk angin. Ia pulang sedikit lebih malam hari ini karena sepi pembeli. Maklum mendekati akhir Ramadhan. Pelanggan-pelanggannya di perumahan tempat ia biasa berkeliling banyak yang sudah pulang kampung. Jam dinding menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Dua putranya sudah terlelap.

“Pak, tadi Ibu mengantarkan Dio cari sekolah. Dapatnya formulir SMK PGRI 12. Kena lima juta.”

“Ibu kok masih nekat sih? Kan Bapak sudah bilang kita nggak mampu bayar uang sekolah anak-anak. Sudah bagus mereka bisa sekolah sampai SMP,” Kateno terseret dalam suasana hatinya yang sedang buruk. “Lebih bagus malah karena mereka pernah mencicipi bangku sekolah.”

“Jangan samakan mereka dengan Bapak toh. Pendidikan itu penting, Pak. Itu juga hak anak-anak. Kita dosa, Pak, kalau nggak menunaikan kewajiban kita kepada mereka.”

Intonasi Kateno meninggi. “Dosa itu urusan Tuhan, Bu! Dia juga tahu kalau kita ini orang nggak punya. Soal pendidikan, ujung-ujungnya juga buat cari duit. Lebih baik Dio dan Fadli bantu Bapak jual nasi goreng atau bantu Ibu di pasar saja.”

“Astaghfirullah! Nyebut, Pak, nyebut. Apa Bapak nggak pingin punya anak pinter? Ibu malu, Pak, sama tetangga. Apa kata mereka kalau tahu anak-anak kita putus sekolah padahal masih punya orangtua lengkap? Bu Desi yang menjanda sejak sepuluh tahun lalu saja berusaha mati-matian membiayai putra-putranya untuk sekolah kok.”

“Biarkan mereka ngomong semaunya, Bu! Semau-maunya wes. Mereka bisa bilang begitu karena punya pekerjaan yang bisa diandalkan.” Idris si pegawai kantor kelurahan terlintas di benak Kateno. Beli nasi goreng saja bawa mobil. Hal tersebut kian memanasi hati penjual nasi goreng keliling itu. “Beli nasi goreng saja bawa mobil. Cih!”

“Ya biarkan toh, Pak, lha itu punya mereka sendiri kok. Mau dibakar juga ya terserah mereka. Bapak ngapain ikut bingung?”

Kemudian pembicaraan beralih pada Idris dan jabatannya di kantor kelurahan, lalu merambat pada pegawai negeri mulai dari gaji, tunjangan sana-sini, uang perjalanan dinas, dan pesangon pensiunnya. Kateno jadi serba sinis jika mendengar pegawai negeri disebut-sebut. Semua tetangganya yang berprofesi sebagai pegawai negeri tak luput dari umpatannya.

“Terus kenapa Bapak nggak daftar jadi pegawai negeri saja sejak dulu-dulu?” Istri Kateno rupanya capek menghadapi suaminya.

“Mana mungkin diterima jadi pegawai negeri kalau nggak punya ijazah? Ibu mengada-ada saja.”

“Lha, lantas kenapa kita nggak berusaha sedikit lebih keras untuk membantu anak kita sekolah dan dapat ijazah, Pak? Dengan begitu, meski kita bukan pegawai negeri, mungkin anak-anak punya kesempatan.”

Kateno terdiam disuapi kata-kata mentah istrinya.

“Sudah, sudah! Bapak capek.” Kateno membalikkan badannya, menyudahi acara kerokan malam itu. “Kerja keras, huh! Meski dibela-belain masuk angin tiap malam ya masih nggak mungkin dapat lima juta buat bayar uang masuk sekolah.” Ia menggerutu.

Istrinya menghela napas panjang sambil geleng-geleng kepala.

*

Gerobak nasi goreng bergetaran menapaki jalan berbatu. Jalan belakang perumahan itu memang menyebalkan. Rumah-rumah dinas pegawai negeri banyak yang bagus tapi jalan belakang perumahannya rusak total. Bak-bak sampah dari beton jadi tembok pintu belakang perumahan, isinya meluber, menemani sebuah pos satpam yang tak pernah ada penjaganya. Mana ada yang betah?

Ironi. Bahkan Kateno yang membenci pegawai negeri sekalipun masih membutuhkan para pengabdi negara itu. Ia selalu berkeliling perumahan dinas tersebut karena langganannya banyak berasal dari sana.

Kateno pura-pura tak peduli soal itu. Mengingkari sumber rejekinya juga berasal dari perut-perut pegawai negeri yang kelaparan. Yang penting nasi sebakulnya habis dan ia bisa segera pulang. Padahal dalam hati ia terus memendam iri pada penghuni rumah-rumah dinas tersebut.

Ban gerobaknya tiba-tiba bocor. Kateno mengumpat. Banyak paku dan pecahan kaca yang tercecer dari bak-bak sampah. Tak mungkin dia bertahan sampai rumah dengan kondisi seperti ini, mengingat gerobaknya yang tak ringan.

Kateno celingak-celinguk mencari tambal ban yang masih buka. Jam setengah dua belas malam kini. Cukup larut dan cukup alasan bagi seorang penambal ban untuk berhenti cari uang. Apalagi sudah banyak orang yang mudik. Dengan hati dongkol, didorongnya gerobak sial itu menuju jalan pulang yang panjang.

Jalanan lengang. Suasana malam hanya dimeriahkan oleh perkusi jangkrik dan katak. Sesekali terdengar salak anjing. Sisanya sunyi. Kateno terus menggerutu dalam hati, kadang-kadang ia vokalkan. Apalagi jualannya hari ini tidak seramai kemarin. Mau lebaran pakai apa nanti?

Di tengah seru gumamamnya tentang nasib, Kateno melihat secercah harapan. Sebuah becak yang mengangkut peralatan tambal ban melintas di depannya. Segera ia hentikan becak itu dengan harapan si penambal berkenan membantu.

“Pak, pak, bisa minta tolong? Ban saya bocor. Jalan pulang masih jauh,” Kateno mengiba.

Ada dua orang di becak itu. Seorang muda dan tua. Yang lebih muda yang mengayuh. Melihat keadaan Kateno, orang yang lebih tua turun lalu meminta tolong pada seseorang di belakangnya untuk menurunkan alat tambal.

“Terima kasih, Pak,” Kateno lega.

Mereka menepi.

Dari pembicaraan, Pak Trisno ini adalah seorang pensiunan pegawai negeri. Rumahnya tak jauh dari tempat mereka sedang duduk. Kateno baru tahu kalau ada juga pegawai negeri yang miskin. Pak Trisno memiliki tiga orang anak, yang paling tua namanya Ruli, pemuda yang ikut bersamanya saat ini. Pak Trisno membesarkan anak-anaknya sendirian, setelah ditinggal mati oleh istrinya sepuluh tahun lalu.

Kateno kagum pada kerja keras orang sepuh itu. Demi meneruskan kebutuhan pendidikan anak-anaknya, dia rela bekerja dari pagi sampai larut.

“Ruli ini, Mas, yang membantu saya nambal setelah dia pulang kuliah.”

Kateno terhenyak. Anak seorang tambal ban bisa mengenyam pendidikan setinggi itu. Lalu bagaimana dengan keadaan anak-anaknya yang lain?

“Nggak capek, Pak?”

Bibir Pak Trisno yang mulai menghitam mengulum senyum. “Kalau menuruti capek, semua ujung-ujungnya capek. Saya main catur dan ngopi seharian saja bisa capek kok. Tapi daripada digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, lebih baik saya gunakan capek ini untuk berjuang meneruskan hidup saya. Apalagi anak-anak sudah besar. Mereka harus sekolah setinggi-tingginya. Apapun resikonya. Biar nggak gampang dibodohi orang dan siapa tahu punya nasib yang lebih mujur dari saya.”

Tangan Pak Trisno cekatan menangani lubang bekas tancapan paku pines di ban gerobak.

“Namanya hidup, Mas, tiap orang punya cerita sendiri-sendiri, ya toh? Rejeki juga begitu. Ada yang gampang mendapatkannya, dengan tidur-tiduran saja sudah didatangi uang. Ada juga yang datang dari paku pines, seperti rejeki saya ini. Wekekekek,” Pak Trisno berkelakar. “Tapi kita nggak usah mempersoalkan itu, sudah ada yang mengatur. Kita cuma disuruh berusaha dan berdo’a, sisanya pasrah.”

Sesuatu terbersit di benak Kateno. “Kalau boleh tahu, Pak, dan saya nggak bermaksud menyinggung Bapak lho ya.” Pak Trisno manggut-manggut. “Kalau sampai Bapak bisa menguliahkan anak Bapak berarti pensiunan pegawai negeri itu banyak ya?”

“Saya cuma pensiunan satpam di kantor lurah, Mas. Istri saya, waktu masih ada, bagian menyiapkan kopi di sana. Ruli ini yang kebetulan sudah bisa bekerja sebagai guru les, ikut membantu membiayai uang kuliahnya dan biaya pendidikan adik-adiknya.”

“Tapi pensiunan pegawai negeri itu banyak kan?” Kateno tak puas.

“Gaji terakhir saya saja kemarin hanya mampu menutup kebutuhan pokok hidup sebulan. Bayangkan saja pensiunan yang pastinya tidak lebih tinggi dari gaji pegawai waktu masih aktif.” Pak Trisno mengecek hasil tambalan, setelah dirasa cukup, ia pasang kembali ban dalam itu pada tempatnya.

“Seperti yang sudah saya bilang tadi, Mas, tiap orang punya cerita sendiri-sendiri. Besok tempe, lusa tahu, siapa tau? Yang pasti jangan gampang menyerah dengan hidup ini. Manusia memang diciptakan dalam keadaan susah payah, kalau kita mau mengkaji. Satu lagi, Mas, jangan lupa bersyukur. Bersyukur membuat kita merasa jadi orang yang paling kaya meski nggak tahu besok mau makan apa.” Orang tua itu selalu saja menertawakan hidupnya.

“Ya sudah. Ini bannya beres. Hati-hati di jalan ya, Mas.”

Kateno memandang kepergian sepasang bapak-anak yang mulai hilang ditelan tikungan tajam.

*

Kateno terjebak dalam sebuah antrian panjang. Matahri bersinar sangat terik, menguapkan keringat. Kalau saja suasana hatinya masih sama seperti kemarin siang, seluruh antrian panjang itu akan dia maki sejadi-jadinya dan diseretnya Dio, anak sulungnya itu, sampai depan pintu rumah, lalu dimakinya juga.

Tapi kini lihat, Kateno takzim dan bersabar menunggu giliran. Disampingnya duduk Dio. Matanya tak henti berbinar sejak tadi pagi sewaktu bapaknya berkata bahwa dirinya sendiri yang akan mengantarkan ia daftar ulang. Dio bersyukur masih bisa meneruskan sekolahnya meski tempatnya belajar kini hanyalah sebuah SMK PGRI pinggiran. Yang penting ada niat, insya Allah ilmu bisa didapat dimanapun.

Hati Kateno mendung sewaktu Dio mencium tangannya lama sekali pagi tadi. Ia baru tahu ternyata begitu besar arti sekolah di mata anaknya. Ia menyesal mengapa menunda-nunda pendaftaran sehingga hanya SMK pinggiran inilah tempat yang tersisa. Tapi Dio terus meyakinkan bapaknya bahwa ia akan belajar dengan giat dan akan sukses meski berlatar sekolah seperti itu.

Seperti yang sudah saya bilang tadi, Mas, tiap orang punya cerita sendiri-sendiri.

Di penghujung Ramadhan ini, biarlah mereka tidak berlebaran meriah seperti kebanyakan orang. Kateno tak mampu menjanjikan apa-apa untuk keluarganya. Yang ia syukuri, semua anggota keluarga mulai dari istri hingga si bungsu mendukung sepenuh hati agar Dio bisa melanjutkan sekolah.

Mungkin ini adalah bagian cerita baru yang disisipkan Sang Pencipta dalam kehidupan Kateno. Menjadi orang tua yang harus memperjuangkan dan mendukung penuh mimpi putra-putrinya. Membimbing terus mereka hingga mencapai keberhasilan. Pemahaman baru ini menghantam keras dadanya dengan gelombang kelegaan. Dengan begini ia merasa seperti pegawai negeri. Memang bukan dalam arti sebenarnya, tapi seseorang yang tugasnya amat mulia yaitu turut memupuk bibit-bibit penerus yang nantinya bisa bermanfaat untuk negeri ini.

Maukah kau tahu

Apakah kado paling manis itu?

Rupa-rupa berlian?

Untai emas berkilauan?

Bukan

Ia bernama kesempatan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun