Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita Semua Cacat

26 Oktober 2019   07:06 Diperbarui: 26 Oktober 2019   07:11 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: facebook.com/Clipadmin2018

Melihat video ini saya merasa iba tapi sekaligus kagum. Iba karena saya memahaminya pakai konsep pribadi saya. Kagum karena dia punya konsep unik tentang hidupnya. Tetap semangat mempertahankan hidup dan tidak mempersoalkan konsep-konsep di luar pemahamannya.

Begitu kita dikasih hidup, mau tidak mau kita dipaksa untuk bertahan.  Siapapun kita, bagaimanapun keadaan kita saat lahir, masing-masing diberi insting untuk mempertahankan hidup.

Jika secara fisik kita lahir lengkap, maka beruntunglah kita. Jika kita lahir secara fisik cacat, mungkin kita kurang beruntung saja. Keberuntungan kadang tidak bisa diperbandingkan. Konsep lengkap fisik atau tidak itu relatif. Bagi yang punya kaki memakai sepatu itu suatu yang biasa.  

Tapi bagi orang yang tidak punya kaki, konsep memakai sepatu itu tidak mereka pahami.  Dan mereka tidak merasa kurang beruntung, karena konsepnya tak dipahami.  Siapa tahu justru mereka merasa beruntung karena nggak harus ribet beli sepatu?

Kita sering berandai-andai bahwa beruntunglah mereka yang dilahirkan oleh orangtua kaya, pandai, terhormat, cakep dan lain-lain. Kita berandai-andai dengan apa yang tidak kita punyai atau yang menjadi kekurangan kita.

Hal-hal kelengkapan fisik kelahiran kita itu hanya penyerta. Masing-masing orang bakal berbeda. Dan bakal melahirkan konsep yang berbeda dan mungkin tidak bisa saling memahami. Orang miskin mungkin tak punya konsep bagaimana menjadi orang kaya.  

Orang kaya mungkin tak punya konsep sebagai orang miskin. Orang buta tak mungkin punya konsep orang yang bisa melihat. Dan seterusnya.  Tapi ada yang amat mendasar dan kita semua punya kesamaan dalam konsep, yakni kita punya kekuatan insting sama untuk mempertahankan hidup. Kita dipaksa untuk tetap bertahan hidup.  Apapun kondisi dan situasinya.

Barangkali kesalahan kita adalah memakai konsep orang lain dan mencoba menerapkan ke kita.  Atau memakai konsep kita dan menerapkan pada orang lain. Tidak ada konsep yang bisa diberlakukan secara umum pada semua orang. Mungkin bisa tepat bisa juga salah.

Masing-masing kita adalah unik.  Kita semua punya cacat dalam hal tertentu.  Yang kelihatan maupun yang tak kasat mata.  Manusia tidak sempurna. Manusia itu penuh salah dan penuh cacat. Norma-norma sosial hanya sebagai petunjuk umum.  

Belum tentu sepenuhnya bisa secara tepat kita penuhi. Jika kita coba menerapkan konsep norma-norma sosial yang berlaku secara umum pada diri kita yang penuh cacat, mungkin itulah yang membuat kita merasa tidak bahagia. Norma-norma sosial sebagai konsep umum tidak bisa atau tidak tepat diterapkan pada kita yang unik dan berkebutuhan khusus.

Mungkin saja secara sosial kita bisa bertindak sesuai norma umum tapi secara pribadi tidak klop.  Pada ruang-ruang pribadi kita bertindak sesesuai dengan konsep yang kita pahami. Pada ruang-ruang pribadi kita melanggar norma umum mulai dari yang ringan hingga super ekstrim. 

Dari masturbasi hingga mengambil sesuatu yang paling private kita miliki sekalipun - yakni nyawa kita, tak bakal ada orang yang bisa mencegahnya. Konsep umum tak berlaku di ruang-ruang pribadi kita yang unik sebagai individu.

Kita sering merasa kasihan melihat orang cacat, tak punya kaki, tak bisa melihat, tak punya tangan dan lain-lain kecacatan.  Kita lalu berusaha memahami mereka lewat konsep kita sendiri dan membantunya agar hidup mereka lebih nyaman. Benarkah mereka akan merasa lebih nyaman? Atau justru kita boleh jadi malah mematikan daya hidup mereka?  

Mereka yang sudah terbiasa berjuang hidup sejak kecil tanpa kaki lalu kita merasa kasihan karena kita punya kaki? Mereka sudah terbiasa berjuang hidup tanpa konsep kaki, tiba-tiba kita tawari hidup berkonsep beda?

Kita punya cita-cita dan konsep-konsep yang membuat kita merasa bahagia dalam hidup, tapi merasa ragu karena tidak berkesesuaian dengan konsep umum? Malu akan penilaian-penilaian konsep umum yang bakal diarahkan pada kita? 

Dinilai baik secara umum, tapi tak sinkron dengan hati? Menjadi munafik atau membebaskan diri kita dan mencoba untuk menikmati hidup secara penuh?

We are all born alone and die alone. The loneliness is definitely part of the journey of life, kata pepatahnya Jenova Chen. Insting untuk mempertahankan hidup kita yang penuh cacat dan kelemahan itu hanya kita sendirilah yang tahu. 

Bergerak dan bekerja mengejar impian hidup kita secara penuh atau menunggu uluran konsep hidup orang lain?  Berjuang sendirian dengan segala kemampuan dan kecacatan yang ada untuk merealisasikan rencana hidup kita atau menunggu orang lain memasukkan rencana kita dalam hidup mereka? ***HBS

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun