Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Promosi Posisi karena Hal-hal Kecil

15 Juli 2015   11:23 Diperbarui: 15 Juli 2015   11:23 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ada dua kandidat karyawan hendak dipromosikan oleh sebuah perusahaan. Dua-duanya punya kompetensi dan kualifikasi sepadan. Keduanya sama-sama pekerja keras dan punya loyalty pada perusahaan. Keduanya memulai kariernya di perusahaan pada waktu yang hampir bersamaan. Seleksi yang cukup ketat.

Tapi akhirnya perusahaan memilih salah satu darinya dengan berat. Tidak ada pertimbangan khusus yang menjadi bobot utama dalam pemilihan. Dasar pemilihan itu tidak berdasar pada ijasah, resume atau kemampuannya dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah - meski ada pertimbangan sana-sini, tapi bukan hal itu yang menjadi pertimbangan dalam membuat keputusan. Keduanya hampir punya kemampuan sama.

Barangkali pertimbangannya lebih ke emosional. Lebih ke unsur selera pribadi. Lebih ke unsur temparemen manusianya. Tentu saja pertimbangan ini tak diutarakan secara eksplisit, tapi bisa diraba dan dirasakan. Dan pertimbangan itulah yang seolah terkesan menjadi dasar penting dari lahirnya keputusan untuk mempromosikan satu dari kedua kandidat.

Elizabeth dipromosikan ke posisi lebih tinggi. Tentu saja si Jesicca kecewa berat. Ia tetap berada di posisinya dan menunggu kesempatan berikutnya jika ada posisi lowong. Dan sebagaimana kebiasaannya, Jesicca mengadu sana-sini tentang ketidak-beruntungannya. Ia menilai pihak managemen tidak adil dan tidak menilai semuanya secara obyektif. Appraisal tidak dilakukan dengan baik.

Elizabeth menerima keputusan managemen untuk mempromosikan dirinya dengan suka cita. Ia bekerja lebih rajin. Lebih hati-hati dan selalu bertanya pada staf yang lebih senior tentang masalah yang menurutnya penting. Ia tidak salah tingkah dalam menerima posisi barunya. Ia melaksanakan pekerjaan yang dibebankan kepadanya sebagaimana biasa.

Itulah kelebihan Elizabeth dibanding Jesicca. Elizabeth jarang mengeluh, jarang komplain, sering tersenyum, mengerjakan segalanya menurut prosedur. Meski ia melakukan kesalahan di sana-sini, Elizabeth mengakui kesalahannya. Bekerja dengan Elizabeth memang menyenangkan. Seolah beban kerja dihadapi biasa saja. Tidak terdengar gerutuannya yang bikin risih telinga. Ia hanya menggerutu sepintas, sebuah gerutuan yang wajar sebagai manusia yang punya emosi, kemudian kembali ia melakukan pekerjaannya.

Lain halnya dengan Jesicca, keseringannya menggerutu sudah terkenal di lingkungan kerabat kerja se departemen. Sedikit-dikit menggerutu. Meski pada hal-hal yang bukan prinsip. Perkara sepele. Barangkali istilah menggurutu kurang tepat dilabelkan pada sikap Jesicca. Mungkin lebih tepat jika dibilang bahwa Jesicca orangnya cerewet. Sudah temperamennya begitu. Ia menggerutu tanpa ada maksud buruk. Ia sekedar ngomel, sekedar mengkomentari keadaan yang disodorkan ke mukanya. Ia toh melakukan pekerjaan dan tanggung-jawabnya dengan baik dan sungguh-sungguh. Ia bukan type orang yang bisa diam dengan ketidak-beresan. Ia selalu bergerak dan bekerja.

Yang Kecil Jadi Penting

Kita barangkali pernah mendengar luapan emosi seorang karyawan ketika ia dihadapkan pada sesuatu yang berlawanan dengan pikirannya. "Manager goblok!", begitu gerutuannya. Kadang managemen membuat keputusan tanpa menilai hal-hal yang terjadi di lapangan. Managemen tidak terlibat langsung di lapangan. Mereka mencermati sebagian besar masalah dari sudut angka dan data, tidak dari peristiwa langsung terjadi di lapangan. Maka, tidak heran jika kebijaksanaan managemen kadang susah diaplikasikan di lapangan tanpa bikin gesekan.

Misalnya saja, seorang pelanggan komplain pada karyawan tentang produk yang dibelinya dari perusahaan. Alasan yang diberikan pada pegawai perusahaan cukup masuk akal. Maka si pegawai mengembalikan uang pembeli dan menarik barangnya disertai catatan kecil umum dan seadanya. Sehari berikutnya si karyawan dipanggil Oleh pihak managemen tentang alasan pengembalian uang si pelanggan.

Si karyawan menceritakan keluhan si pelanggan menurut versinya. Dan tentu saja akan lain keadaan dan suasananya. Si managemen mendengarkan alasan itu di kantor yang nyaman dan sepi. Sementara si karyawan ketika menerima keluhan pembeli di depan kasir, dalam keadaan sibuk melayani dan berisik serta emosi yang tinggi dari pelanggan. Si karyawan merasa bahwa keputusan yang dia lakukan sudah menurut prosedur dan masuk akal sesuai dengan kondisi saat keluhan itu terjadi.

Tapi dari sisi pihak managemen, karyawan tersebut kurang keras dalam berargumentasi untuk menolak pengembalian barang. Seharusnya begini, seharusnya begitu, seharusnya kau tidak bilang itu tapi ini dan seterusnya. Pihak managemen memberi beribu masukan bagi karyawan. Managemen tidak mau tahu bagaimana keadaan sesungguhnya dan reaksi emosi pelanggan ketika dijelaskan kebijaksanaan perusahaan. Bagaimana marahnya pembeli itu ketika karyawan berargumentasi dengan pembeli tentang peraturan perusahaan. Apakah karyawan diharuskan untuk adu mulut bahkan berkelahi dengan pembeli demi peraturan perusahaan? Mengusir atau memaksa pelanggan untuk menerima penjelasannya?

Si karyawan akhirnya keluar dari kantor manager dengan menggurutu. Merasa disalahkan. Merasa tidak dianggap kompeten. Manager goblok, begitu celetuknya dalam hati.

Kerja keras kalau tidak pada tempatnya akan percuma. Kerja keras kalau salah, akan mubazir. Cuma buang keringat tak ada manfaat langsung yang bisa dikaitkan dengan kebijakan perusahaan atau bisa mendukung nilai kompetensi. Inilah barangkali kesalahan banyak orang. Asal kerja keras tanpa memperhitungkan hal-hal kecil yang lebih penting.

Dalam contoh di atas, masalah keluhan memang wajar. Tapi kalau dilakukan terlalu sering, akibatnya bisa lumayan berpengaruh terhadap prestasi kerja dan appraisal kompetensi. Juga argumentasi tanpa diikuti dengan uraian lengkap tentang peristiwanya secara tertulis, hanya akan mengundang orang lain untuk bertanya-tanya tentang kompetensinya. Alangkah baiknya jika karyawan yang menerima keluhan tersebut mencamtumkan catatan-catatan kecil tentang peristiwanya. Point-point keluhan pelanggan sehingga lebih gampang untuk dinilai.

Data, uraian, catatan-catatan kecil kadang diabaikan banyak orang. Padahal managemen perlu data-data pendukung itu. Uraian verbal tidak cukup untuk bisa mendukung keputusan yang diambil. Managemen kadang lebih percaya pada data riil daripada uraian verbal yang sarat dengan kandungan emosi, ketidak-obyektifan dan diragukan akurasinya.

"Save your ass," begitu kata populer yang sering diucapkan oleh pegawai perusahaan di Australia. Artinya semua tindakan kalau bisa harus selalu di-backup dengan data dan bukti untuk menjaga jika suatu saat dipertanyakan tindakan yang dilakukan. Mereka siap bukti untuk mendukung keputusannya. Semua terarsip dengan baik di folder pribadi masing-masing. Jangan sampai kesalahan kecil meruntuhkan prestasi dan kerja keras yang selama ini dilakukan. Peribahasanya, kemarau setahun dihapus oleh hujan sehari.***(HBS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun