Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membunuh Setan

19 Juni 2015   06:01 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:41 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - berbuat baik dengan senyum (Shutterstock)

 

Menyingkirkan pecahan kaca di jalan yang dilalui orang bisa mendapat ganjaran dari Yang Kuasa karena menghindarkan orang lain terluka bila secara tak sengaja menginjaknya. Mengingatkan orang yang lupa membawa bawaannya kembali saat meninggalkan gerbong kereta sudah dapat ganjaran. Dan lain-lain contoh perbuatan baik dalam bentuknya yang sederhana.

Berbuat baik juga bisa dengan menerapkan "value added" atau nilai tambah. Ketika pinjam buku tak bersampul, saat dikembalikan diberi sampul. Saat pinjam sepeda motor yang kotor, saat dikembalikan dicuci bersih apalagi diisi penuh tangki bahan bakarnya.  

Berbuat baik sehingga mempermudah hidup orang lain banyak sekali jalannya dari hal-hal yang kecil hingga serius. Tergantung kemauan dan kreativitas masing-masing untuk mengamati dan melakukannya. Orang yang dipermudah hidupnya akan merasa senang dan diistimewakan atau diperhatikan. Mau mendengarkan dengan baik saja juga sudah mendapat nilai plus dari orang lain. Itulah gambaran betapa mudahnya kita bisa berbuat baik bagi sesama. Untuk mendapatkan ganjaran ternyata relatif gampang.

Namun juga tak kalah gampangnya adalah menanam kebencian. Manusia cenderung menghindari hal-hal yang sifatnya negatif dan tidak mengenakkan. Dalam sejarahnya manusia selalu berusaha menghindari hal-hal yang dibenci. Hal yang "dibenci" bagi setiap orang amat relatif. Dari yang nampak berkelas ringan hingga terberat. Namun sikap manusia sama, yakni menghindari hal-hal yang dibenci.

Banyak contoh pula perbuatan sederhana yang bisa memancing kebencian. Memindahkan letak sikat gigi bisa membikin orang senewen.  Memakai korek api tanpa minta ijin pada yang punya bisa membuat si empunya senewen karena saat hendak merokok ia harus mencari-cari korek apinya. Merapikan meja tanpa ijin bisa membuat orang senewen meski tujuannya baik. Karena si empunya meja harus mencari ke sana kemari apa yang tadinya sengaja diletakkan di atas meja agar terlihat dan gampang diambil.

Nampaknya amat sederhana. Tapi justru yang sederhana-sederhanalah kadang bisa membuat orang marah.  

Kita tak akan mampu menggunakan pikiran kita untuk mengingat semuanya, maka ada hal-hal yang dikategorikan rutin sehingga tak perlu lagi dipikirkan atau diingat-ingat untuk menghemat tenaga pikiran. Banyak dari kita melakukan hal-hal rutin sehari-hari secara otomatis. Seolah kita yakin bahwa hal-hal tertentu tidak akan berubah. Kita mengandalkan hal-hal yang telah kita ciptakan sebagai sesuatu yang rutin.

Kita letakkan sepatu di tempat biasanya. Kita letakkan kunci mobil di tempat biasanya. Kita susun arsip surat-surat sedemikian rupa agar mudah mencarinya. Jika ada hal-hal yang sudah dikategorikan sebagai hal rutin itu kemudian berubah, maka sususan rutinitas pikir itu sepertinya ambrol. Bisa membuat jengkel karena ia dipaksa untuk tiba-tiba keluar dari dunia rutinitas, dipaksa untuk berpikir dan mengaturnya lagi.

Kita sering berharap bahwa sesuatu pasti ada di tempatnya dan tidak berubah. Untuk membuat orang jadi benci dan marah, kacaukan saja hal-hal yang menjadi rutinitasnya. Sembunyikan kunci mobilnya, ganti bantal tidurnya, pindahkan sandalnya. Atau yang lebih serius tanpa pemberitahuan lebih dulu, misalnya pindahkan rute jalan ke tempat kerja ke jalan lain, naikkan BBM, naikkan tarif listrik, hentikan saluran air, naikkan barang kebutuhan hidup, dan seterusnya. Gampang sekali.

Manusia pinginnya bisa hidup dengan tenang. Semua menurut dugaan atau harapannya. Hal-hal yang kita benci atau membuat kita benci berusaha kita hindari karena mengusik ketenangan kita. Namun sebenarnya kebencian tidak selalu negatif. Ada kebencian yang dinilai positif bahkan didorong. Benci pada rasa sakit membuat orang berusaha untuk sehat. Benci berbuat maksiat. Benci kejatilan dan seterusnya. Menghindari hal-hal yang dibenci juga bisa saja mendapat ganjaran dari yang kuasa. Namun sumber kebencian itu tak akan ada habisnya.  Selama ada manusia maka sumber kebencian itu tetap menyertai.

Bagaimanapun kita berusaha mengleminir sumber kebencian, kita tak bisa menghilangkannya. Manusia tak akan sehat terus. Kemaksiatan tak akan hilang dari dunianya manusia. Demikian juga dengan kebaikan. Selama menjadi manusia tak akan habis sumbernya untuk berbuat kebaikan.

Namun kadang manusia cenderung berbuat di luar nalarnya dan serakah. Onggrongan, bahasa Jawanya. Menyingkirkan pecahan kaca demi kebaikan bukan berarti harus menutup semua pabrik kaca. Menghilangkan barang najis tidak harus melempari anjing dengan batu atau bahkan membunuhnya. Mengajak berbuat baik dan menindas yang melawan. Menyebarkan kebencian dengan menutup mata terhadap kebenaran.  Kesalahan berpikir seolah semakin ekstrim makin besar ganjarannya. Tapi itulah manusia dengan segala kekurangannya.

Berbuat kebaikan tidak harus dengan memusnahkan kebencian. Menghilangkan kemaksiatan bukan berarti harus membunuh para setan. Kita berutopia. Kebencian atau kebaikan harus disikapi secara proporsional. Sewajarnya. Pandai-pandai dalam memilahkannya. Kebaikan dan kebencian bagai dua sisi sekeping mata uang logam yang sama.    

Jangan lupa bahwa manusia bisa tetap hidup hingga dewasa karena kebaikan orang lain di sekitarnya. Dasar kita hidup bersama di dunia adalah kebaikan dan bukan kebencian. Darah dan daging tubuh kita asal muasalnya adalah kebaikan. Kita lahir di dunia bahkan karena tumbuhnya rasa saling "cinta" antar dua orang manusia. Kita disuapi dan dilindungi karena kebaikan mereka berdua sebagai manusia.*** (HBS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun