Sebagaimana peraturan-peraturan dan kebijaksanaan lain di Indonesia sering diputuskan karena budaya paternalistik. Keputusan yang tidak memberi kebebasan pribadi untuk memilih. Dalam skala kecil di daerah kerja pemprov, peraturan paternalistik itu makin dipaksa makin ketara tidak demokratisnya. Peraturan untuk lingkup kecil seharusnya tidak menyangkut lingkup lebih luas. Peraturan lingkup kecil hanya terbatas di area lingkup itu. Peraturan yang menyinggung lingkup luas seharusnya bersifat himbauan dan bukan keharusan.
Peraturan yang mewajibkan bersepeda, sudah menyangkut area diluar ruang kerja pemprov. Menyangkut fasilitas umum dan wilayah umum. Untuk wilayah umum, peraturan itu tidak punya kekuatan hukum. Meski bagi pegawai pemprov DKI sekalipun. Pegawai pemprov DKI tidak sedang dalam tugas. Ia berada di wilayah umum sebagai pribadi merdeka. Sebagai pribadi sebagaimana warga negara Indonesia lainnya yang dilindungi hak-haknya oleh hukum positif negara.
Peraturan itu bisa disamakan seperti membuat peraturan yang mewajibkan semua karyawan pemprov untuk makan mie goreng tiap hari Jumat pertama tiap bulan. Peraturan itu sudah memasuki ranah pilihan pribadi. Menghilangkan pribadi untuk melakukan pilihan. Peraturan yang melawan asas demokrasi. Karena makan mie goreng atau makan hamburger bukanlah masalah penting yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat secara luas. Tidak ada orang yang dirugikan jika orang tidak makan mie goreng. Meski bisa saja tujuan mengkonsumsi mie goreng itu untuk mendongkrak produk industri pangan dalam negeri.
Pemprov DKI hanya bisa menyarankan. Tapi begitu di area kerja pemprov DKI bisa saja peraturan makan mie goreng itu menjadi wajib. Pemimpin berhak untuk menjatuhkan sanksi pada karyawan yang tidak makan mie goreng. Pemprov DKI harus menyediakan mie goreng di kantin kantor dan menghilangkan menu lain selain mie goreng. Bagi yang tidak suka mie goreng, silahkan berpuasa. Bagi yang alergi dengan gluten, silahkan juga berpuasa kalau tak ingin kena sanksi.
Berpikir Logis dan Realistis
Sikap Ahok yang tidak mematuhi peraturan itu mengundang banyak kecaman dari berbagai pihak. Kecaman negatif terhadap Ahok datang dari berbagai kalangan dengan alasannya masing-masing. Termasuk dari seorang pengamat politik, Burhanuddin Muhtadi. Burhanuddin menilai bahwa sikap Ahok kurang bijak apalagi ia ikut menandatangani peraturan itu. Meski ia menilai bahwa substansi yang disampaikan Ahok benar namun caranya dalam mengungkapkan tindakannya dalam melanggar peraturan itu kurang bijak. Karena disampaikan secara terbuka sehingga terkesan antara Jokowi dan Ahok tidak satu kata (sumber).
Pemikiran model pengamat politik tersebut adalah pola pemikiran umum di masyarakat kita. Budaya kita masih mempertimbangkan aspek moralitas dalam banyak hal. Jika Burhanuddin berhasil menangkap substansi pemikiran Ahok, namun gagal untuk bersikap sama dalam menanggapi sikap Ahok yang secara terbuka dalam melanggar peraturan. Sebuah pemikiran yang berstandar ganda.
Jika menyangkut substansi seharusnya sikap Ahok yang terbuka melanggar peraturan itu juga dilihat substansinya dan bukan bagaimana cara menyampaikannya. Kita bisa berpikir dan menganalisa sebuah sikap apakah substansial apa tidak dalam hal pemikiran, tapi begitu diterapkan pada ekspresi perseorangan, kita gagal menangkap substansinya.
Ekspresi perseorangan bagi budaya kita masih sarat dengan penilaian-penilaian moralitas. Ekspresi perseorangan harus mempertimbangkan perasaan sosial. Dalam budaya kita, ekspresi yang tidak menghargai perasaan umum dianggap tidak bijaksana dan kurang dewasa. Kurang kenal budaya sopan santun. Tidak kenal unggah-ungguh dan tata krama. Ketidak-setujuan tidak pantas diungkapkan secara terbuka.
Dalam politik modern, seharusnya ekspresi perseorangan tidak lagi secara ketat dikaitkan dengan perasaan sosial. Karena apa yang diperdebatkan dalam politik menyangkut kehidupan banyak orang yang multi budaya, multi agama, multi suku dan lain-lain yang beragam. Komunikasi politik harus lugas, realistis, rasionil dan logis untuk menjembatani latar belakang yang beragam tersebut. Tidak bisa karena alasan sopan santun ekspresi yang lugas, realistis, rasionil dan logis dihambat bahkan dianggap sebagai sebuah penyelewengan budaya.
Bila kita ingin wakil-wakil kita yang duduk di pemerintahan bisa bekerja dengan baik, kita harus bersedia menerima fenomena Ahok yang ceplas-ceplos dan lugas tersebut. Bahkan seharusnya didukung, dibiasakan dan kalau perlu disosialisasikan. Itulah komunikasi dalam politik modern. Karena dengan bersikap demikianlah komunikasi politik yang menyangkut kepentingan orang banyak bisa diaktualisasikan. Tanpa itu, kita akan sibuk dan asyik berkutat dengan penilaian-penilaian moral budaya yang kurang menyentuh substansi dari permasalahan yang sebenarnya. Kecuali kita memang sudah terlanjur biasa dan senang dengan hal-hal yang bertele-tele dengan urusan moralitas budaya. Urusan tidak selesai tidak apa asal kita semua merasa dihargai secara budaya dan moral?*** (HBS)