MASYARAKAT Indonesia itu terkenal dengan masyarakat yang murah senyum, ramah dan bersahabat. Itulah sebabnya, Jokowi sering menjadi bulan-bulanan dari orang-orang yang punya sifat seperti itu.
Orang-orang yang suka senyum, ramah dan bersahabat itu sebenarnya mencari pelampiasan karena tak puas dengan dirinya sendiri, tak puas dengan hidupnya sendiri, tak puas dengan keadaan sekitarnya dan ketidak-puasan lainnya. Ketidak puasan itu menghalangi mereka untuk murah senyum, ramah dan bersahabat. Ketidak-puasan yang bertumpuk-tumpuk itu bisa salah sasaran dalam pelampiasannya. Sedikit saja ada yang salah dan ada orang yang bisa jadi sasaran empuk, jadilah ia bulan-bulanan kesalahan.
Lihat saja kerusuhan-kerusuhan atau protes-protes sosial di Indonesia. Protes sosial itu kadang tidak realistis. Sepertinya rekayasa karena hasutan orang-orang yang punya kepentingan. Karena sudah nggak bisa senyum, tidak bisa lagi dengan kepenak jadi orang peramah dan bersahabat, makanya mereka gampang dihasut. Karena rasa pegelnya yang selama ini ditahan saja hingga sampai ke ubun-ubun.
Keinginan pingin murah senyum dan peramah itu sering terhalang, jadinya serba mangkel melulu. Pinginnya ngumpat-ngumpat. Mereka tidak bisa mengumpat ke udara. Harus ada sasaran empuknya. Dan Jokowi enak sekali dijadikan sasaran empuk. Karena apa? Karena Jokowi telah dianggap sebagai orang dekat mereka. Sudah dianggap sebagai orang yang baik hati dan tak akan marah kalau diumpatin. Mereka tahu jika Jokowi dimarahi, Jokowi akan merajuk mereka. Dan ini membuat mereka senang. Puas. Merasa berada di atas angin. Merasa terhibur. Merasa benar. Merasa dihargai. Merasa penting.
Masyarakat kita itu sering kalau dikasih hati suka minta rempelo. Kadang mereka marah-marah bukan pada masalah atau orang lain yang menciptakan masalah, tapi pada orang yang justru dekat di hati. Lihat saja contohnya, kita beraninya memarahi suami atau isteri tapi nggak berani memarahi saudara sendiri yang sebenarnya sumber penyakitnya. Apalagi memarahi mertua!
Di kantor juga gitu. Yang bikin mangkel itu bos yang suka merintah, tapi marahnya sama anak buah yang rajin dan selalu membantunya. Orang-orang yang dekat itu justru jadi korban pelampiasan kejengkelan mereka. Karena mereka tahu, orang yang dekat itu nggak mungkin akan balik menyakiti. Orang dekat itu tahu tabiat mereka. Mereka berasumsi bahwa orang dekat tersebutlah yang bisa mengerti kejengkelannya. Jadi jengkelnya itu tidak perlu semua diomongkan. Yang penting-penting saja. Tidak mulai semuanya dari nol, karena orang yang dekat sudah tahu. Mana berani marah sama bos? Orang dekat itulah sasarannya.
Mereka beraninya memarahi orang-orang terdekat karena yakin setelah marah-marah hubungan baik itu bisa dibina kembali tanpa susah. Memarahi orang dekat itu resikonya kecil. Kalau memarahi orang jauh dan tidak kenal, bisa-bisa salah paham dan kena bogem mentah.
Jokowi belum tahu kebiasaan masyarakat kita yang suka membully orang-orang yang tulus dan jujur? Karena orang yang tulus dan jujur adalah sosok aneh. Mereka dianggap sebagai sampah masyarakat. Nlyeneh. Tidak ngikuti pakem.
Kenapa masalah banjir nggak selesai-selesai dan bisanya menyalahkan? Alasannya sama saja. Karena kita suka senyum, ramah dan bersahabat. Lihat saja siaran TV. Pembaca beritanya tetap saja pasang senyum di kulum saat membacakan berita bencana, kecelakaan, kesengsaraan, penderitaan dan lain-lain nasib sial yang menimpa manusia lain. Apapun keadaannya, masyarakat kita selalu mencoba untuk tersenyum, tetap ramah dan bersahabat.
Terkena banjir juga begitu. Masyarakat masih saja suka tersenyum dan bersahabat. Mencoba bersikap sabar. Banjir dianggap bukan bencana tapi cobaan hidup. Kesabaran mereka dalam menerima bencana dan kesengsaraan sudah tidak realistis lagi. Kepasrahan pada nasib sudah menjadi fatalisme.
Semua diserahkan pada yang bikin hidup dan mereka merasa tinggal menjalani saja ujian cobaan itu dengan tabah. Dan tetap dijalani dengan senyuman, keramahan dan jangan sampai kehilangan tali silaturahmi dan lupa diri. Cobaan dari yang kuasa ada batasnya. Pasti nanti bakal mereda sendiri. Badai pasti berlalu. Cobaan jangan sampai membuat orang menjadi kafir. Justru harus lebih mendekatkan diri pada yang Kuasa.
Namun akan beda jika banjir itu dipandang sebagai bencana yang tidak perlu. Banjir adalah bencana alam yang bisa diatasi. Mereka akan ramai-ramai berusaha menyelesaikan masalah itu bersama-sama. Bencana harus dihentikan dan bukan dipelihara untuk media hiburan. Bencana bukan alat untuk mendekatkan diri pada yang bikin hidup.
Bencana itu harus dihentikan agar bisa mendekatkan diri ke hadapan yang kuasa dengan lebih tenang. Ini bukan pemikiran orang yang benar keimanannya. Bencana itu kehendak alam, kok dilawan. Berarti melawan sang alam. Melawan yang bikin hidup. Melawan takdir. Orang begini harus banyak berdoa dan berintrospeksi. Orang yang sudah lupa dengan tuhannya. Orang yang sudah keblinger kehilangan ketaqwaannya. Orang yang kurang tawakal dan prihatin. Lemah iman.
Karena bencana dianggap cobaan hidup, masyarakat tidak pernah belajar mengatasi bencana. Yang mereka pelajari adalah orang harus selalu sabar, tawakal dan berserah diri pada tuhannya. Harus tabah menerima bencana agar dikasihi oleh sang kuasa. Itulah manusia yang beriman.
Bencana tidak ada hubungannya dengan kali yang tersumbat. Tidak ada hubungannya dengan buang sampah sembarangan. Tidak ada hubungannya dengan design arsitektur yang njlimet dan canggih untuk menangkal bencana. Apapun usaha manusia tidak akan bisa melawan sebuah bencana yang ditimpakan oleh sang kuasa. Bendungan dari beton berlapis-lapis akan jebol juga kalau sang kuasa menghendaki.
Kalau memang Jokowi sebagai manusia hebat melebihi kemampuan sang kuasa, pasti banjir itu bisa cepat diatasi. Tidak bertele-tele ngomong teori macam-macam. Apalagi ngomong managemen penanggulangan bencana segala. Apa itu?
Apapun kemampuan dan usaha Jokowi tidak akan bisa menghentikan sebuah bencana yang memang ditimpakan pada masyarakat yang sudah banyak dosanya. Para pemimpin harus bertobat dan minta ampunan pada yang kuasa. Kalau perlu bikin kenduri untuk seluruh penduduk Jakarta. Kasih sesaji pada leluhur. Bencana pasti tidak akan ditimpakan pada orang-orang yang tawakal.
Yang kuasa tak akan memberi ujian berat pada orang-orang yang selalu tersenyum, ramah dan bersahabat. Kesombongan manusialah yang membuat sang kuasa memberikan cobaan hidup bertubi-tubi. Sebagai pelajaran agar lebih mendekatkan diri pada yang maha kuasa.
Masyarakat kita memang masih perlu dididik untuk lebih bisa berpikir secara realistik, logis dan rasionil. Barangkali inilah kunci untuk menyelesaikan segala persoalan-persoalan yang ada di Indonesia saat ini. Mengajak masyarakat untuk berpikir rasionil memang banyak tantangannya. Perlu political will pemerintah untuk mencerdaskan masyarakat. Tidak malah menghiburnya dengan retorika-retorika kosong untuk menumpulkan logika sehat.
Usulan buat pak Jokowi, jika masyarakat enggan untuk bertindak dan berpartisipasi mengatasi banjir karena pikiran-pikiran yang tidak realistis, kasih saja setiap tempat pembuangan sampah sesaji kembang setaman. Undang para dukun untuk pasang sesaji di tempat-tempat strategis penyebab banjir. Masyarakat pasti takut menyinggung para leluhur di mana sesaji itu ada. Mereka tak akan buang sampah sembarangan di situ. Mereka takut kualat. Mereka takut kesambet. Mohon pak Jokowi coba usulan ini. Lihat saja nanti hasilnya. Sungai-sungai akan jadi bening dan keramat. Ikan yang ada di situ matanya bisa berkedip-kedip.*** (HBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H