[caption id="attachment_306457" align="aligncenter" width="455" caption="Sumber gambar: http://ozsoapbox.com/wp-content/uploads/2012/10/how-to-use-a-toilet-sticker-jingmei-MRT-station-taipei.jpg"][/caption]
DI SEBUAH gedung resepsi, berlangsung sebuah acara keluarga cukup meriah di suatu petang. Yang datang pakai baju pesta terbaiknya. Cantik, anggun, tampan, mewah dan terkesan penyelenggaranya dari golongan mapan secara ekonomi dan sosial. Sekitar jam sepuluh malah acara itu usai. Beberapa orang tinggal dan membenahi peralatan yang ada.
Seorang lelaki berjas dan berdasi memarkir mobilnya di pintu depan gedung. Membuka bagasi belakangnya. Sepertinya ada beberapa barang yang hendak dimasukkan ke mobilnya. Setelah membuka bagasi, lelaki berbaju rapi dan nampak perlente itu celingukan dan berjalan ke samping gedung. Tidak disangka, lelaki itu membuka kancing celananya dan kencing di tembok gedung. Sebuah pemandangan langka terjadi di Australia. Selama puluhan tahun tinggal di Australia, belum pernah penulis melihat tingkah laku tidak pantas kayak itu.
Entah apa yang ada di kepala lelaki itu. Padahal toilet jelas ada di dalam gedung. Kenapa ia memilih samping gedung dan bukan tempatnya buang air kecil di situ? Sungguh sebuah tindakan yang tidak bisa dimengerti logikanya.
Di negara yang dianggap maju, tertib, bersih dan punya tingkat peradaban tinggi ini ternyata masih ada manusia yang bertindak dengan mencari jalan pintas menuruti desakan biologisnya. Persis kayak binatang yang tidak bisa menahan diri dan langsung saja dituruti naluri pembuangan sampah biologisnya.
Buang air kecil sembarangan seperti itu bisa terjerat hukum di Australia. Tapi bukan masalah hukum yang jadi persoalan, tapi lebih ke sifat manusianya. Bagaimana mungkin seseorang yang nampak perlente tersebut tidak tahu mana toilet dan mana bukan? Mana pantas dan mana tidak?
Ketika penulis mengundang seorang tukang untuk memperbaiki lantai rumah, tukang dari Yugoslavia (sebelum pecah perang dan terbagi jadi beberapa negara) tersebut jarang pergi ke toilet. Padahal kerjanya dari pagi hingga sore. Penulis pikir, mungkin saat pergi ke toilet penulis tidak melihatnya. Atau ia tidak ijin ketika memakai toilet.
Tapi kadang penulis lihat ia berjalan ke halaman belakang dan lama-lama di sana. Penulis pikir ia lagi mencari sesuatu untuk keperluan pekerjaannya. Atau mungkin ia sekedar ingin cari udara segar dan lihat-lihat tanaman di kebun belakang yang memang penuh dengan pohon dan tanaman sayuran.
Ketika pekerjaan itu hampir selesai, barulah penulis sadari kenapa tukang itu berlama-lama di kebun belakang. Saat penulis hendak menyirami tanaman di situ, bau pesing lamat-lamat tercium. Kurang ajar, batin penulis. Ternyata orang Yugoslavia itu kencing di sini. Aneh, sekali padahal toilet di dalam rumah cuma perlu berjalan bebebara langkah saja. Kok dia milih berjalan lebih jauh hanya untuk kencing di kebun.
Langsung saja penulis tanyai tukang itu esoknya saat melanjutkan kerjanya, "Did you piss in the garden?" tanya penulis.
Tanpa penulis sangka ia mengaku terus terang sambil cengingisan. Untung orangnya baik, sehingga tidak mengundang kejengkelan lebih lanjut.
"Why don't you use the toilet?" saran penulis dan bilang bahwa tindakannya itu tidak sehat dan menjijikkan.
Orang Yugoslavia itu minta maaf. Katanya ia terbiasa buang air kecil di alam terbuka. Memang dari obrolan kami, ia cerita bahwa di negaranya ia punya tanah pertanian cukup luas. Tanah pertanian itu sekarang digarap oleh adik-adik dan orangtuanya. Ia juga cerita bahwa ia punya beberapa sapi. Dan sapi itu ditaruh di dalam rumah dan kamarnya berdekatan dengan kandang sapi!
Tidak menyangka bahwa ada juga orang bule dari Yugoslavia yang hidupnya masih seperti itu. Menurut bayangan penulis, negara bule Yugoslavia itu sudah makmur dan maju. Masalah buang air kecil seperti ini pasti sudah disadari aturan dan sopan santunnya.
Cerita tentang buang air kecil di alam terbuka, penulis jadi ingat masa kecil. Saat bermain-main bersama teman, biasanya kalau merasa pingin kencing, kita langsung saja menepi menjauh dari tempat permainan mencari tempat sepi dan kecing. Biasanya di pagar tetangga, di tembok rumah atau di semak-semak tanaman. Memang jauh terasa lega kencing di alam bebas daripada harus mencari WC dan kencing di tempatnya.
Kebiasaan kurang baik itu akhirnya hilang sendirinya setelah menginjak SMA. Sudah merasa malu. Kalau tidak kepepet benar, pasti cari tempat yang disediakan meskipun baunya amat menyengat. Kala itu, toilet-toilet umum di tanah air dan juga di sekolah biasanya memang jauh dari perawatan yang memadai. Kamar belakang adalah kamar pembuangan. Sudah semestinya kotor dan bau. Itu kira-kira kebiasaan orang jaman dulu. Bahkan beberapa kalangan masyarakat tidak merasa perlu untuk punya kamar belakang. Kalau ada kebun atau sungai, di situlah mereka buang hajat.
Namun kebiasaan buang hajat sembarangan itu tidak separah sebagaimana yang terjadi di Taiwan. Pemerintah Taiwan merasa kewalahan dengan kebiasaan orang yang buang hajat besar di lantai kamar toilet. Sebuah kebiasaan yang aneh. Mereka masuk ke kamar toilet untuk buang air besar di lantai sementara toilet itu persis ada di belakangnya. Kebiasaan buruk itu memaksa pemerintah Taiwan untuk bikin peringatan demi menjaga kenyamanan dan membantu pekerjaan si pembersih toilet.
[caption id="attachment_306458" align="alignright" width="320" caption="Sumber gambar: http://www.sumut24.com/photo/1355232455HL2=toilet.jpg"]
Kebiasaan memang susah dihilangkan. Apalagi yang menyangkut sebuah kenyamanan. Kita cenderung enggan merubah sesuatu yang telah membuat kita merasa nyaman. Alasan lain-lain sepertinya jadi tidak penting. Termasuk alasan kesehatan. Kita kalau buang hajat besar terbiasa dengan posisi jongkok. Begitu masuk toilet berposisi duduk, terasa sekali perbedaannya. Kadang malah tidak bisa melakukannya dengan posisi duduk. Kadang orang lalu nongkrong di toilet yang sebenarnya dimaksudkan bukan untuk ditongkrongi. Orang melakukannya bukan karena alasan kesehatan, tapi alasan kebiasaan dan kenyamanan. Kenyamanan kadang tanpa sadar telah memenjarakan kita. Kenyamanan bisa membuat orang enggan untuk beringsut dari comfort zone-nya. Menutup kemungkinan untuk menerima hal-hal yang lebih memerdekakan, membebaskan dan memanusiakan.
Sewaktu mahasiswa, penulis pernah berkunjung dan menginap di tempat seorang teman di kampungnya. Rumahnya agak masuk pelosok di pesisir dan berada di sisi tebing sebuah gunung. Udaranya sejuk. Air pegunungan melimpah tanpa henti mengalir. Penduduk di situ memakai air sumber untuk keperluan masak dan mandi dengan mengalirkan lewat selang-selang dan pipa yang cukup panjang. Rumah teman tersebut cukup bagus bila dibanding rumah-rumah lain di kampung. Halaman depannya luas dan terawat. Ada teras di depan rumah yang enak buat duduk-duduk dan ngobrol.
Petang itu saat kami ngobrol di teras, kakek teman datang dari kunjungan rutinnya ke warung kopi tetangga. Kakek teman tersebut memang cukup populer di kampung. Umurnya sekitar 70an tahun tapi nampak sehat dan lincah. Setiap petang ada saja orang yang dikunjunginya. Tapi paling sering berkunjung di warung kopi pinggir jalan dan ngobrol dengan penduduk desa lain.
Ketika kakek tersebut memasuki halaman rumah, tanpa sungkan-sungkan beliau menyingsingkan sarungnya dan hendak kencing di halaman masuk rumah. Teman penulis dari kejauhan langsung saja berteriak.
"Kek, mbok jangan kencing di situ. Bikin pesing," katanya.
Tanpa disangka si kakek acuh saja dengan peringatan itu dan melepaskan hajat buang air kecilnya tanpa persoalan. Begitu selesai hajatnya, si kakek itu dengan santai saja masuk rumah.
"Kakek ini menjijikkan banget. Kencing kok di situ," gerutu teman.
"Rumahnya sendiri dikencingi kok nggak boleh," jawab kakek dengan santai masuk rumah seperti tak terjadi apa-apa.
Kami cuma tersenyum geli. Benar juga kata kakek. Kalau miliknya orang yang dikencingi bakal marah dan tersinggung yang punya.*** (HBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H