MOBIL itu tiba-tiba saja ganti lajur sehingga membuat pengendara yang dipotong lajurnya sempat terkejut. Tidak ada pilihan lain selain harus memperlambat laju mobilnya secara mendadak jika tak ingin menabrak mobil itu. Dalam hatinya mengumpat pengendara mobil di depannya yang belok seenaknya itu. Nyetir mobil kok kayak nyetir sepeda saja. Belak-belok sesukanya. Untung mobil di belakangnya jaraknya cukup jauh sehingga tidak menabraknya saat menghentikan laju kendaraannya secara mendadak itu.
Dalam peraturan berlalulintas di Australia, jika pengendara ganti lajur atau membelok diwajibkan menyalakan lampu signal (reting). Juga disarankan agar lampu signal itu dinyalakan cukup lama untuk lebih meyakinkan bahwa pengendara lain melihat signal tersebut. Memberi kesempatan pengendara lain untuk berpikir dan melakukan tindakan yang diperlukan. Misalnya, memperpelan laju mobilnya dan memberi kesempatan pengendara lain untuk masuk lajur atau membelok.
Sebenarnya logikanya amat sederhana. Menyalakan lampu signal lalu ganti lajur atau membelok. Semua manusia waras tentu bisa paham dengan logika sederhana ini. Logika sepele dan bukan logika rocket science. Nyalakan lampu lalu ganti lajur atau belok. Signal dulu baru belok atau ganti lajur.
Tapi ternyata logika sesederhana ini tidak gampang dipraktekkan oleh semua orang. Bahkan ada yang tidak menyalakan signal sama sekali. Logika itu ditiadakan dan dianggap tidak ada. Atau menyalakan lampu signal terlalu lama jauh sebelum belok atau ganti lajur, sehingga pengendara lain bingung menterjemahkan maunya apa.
Dan ada juga yang menyalakan lampu signal dan belok secara bersamaan sebagaimana dilakukan oleh pengendara mobil di atas.
"Lho, saya kan sudah menyalakan lampu signal. Kamu yang salah. Nyetir nggak lihat-lihat," kata pengendara yang ganti lajur mendadak di atas.
Logika Sederhana Keseharian
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak logika sederhana yang salah dipahami sehingga mengakibatkan terciptanya keadaan lebih rumit yang tidak perlu. Tidak jarang juga menyebabkan terjadinya konflik dan sakit hati.
Jika kita bicara pada orang lain dan orang tersebut tidak paham apa yang kita omongkan, secara logika sederhana, kita akan berhenti bicara. Kemudian meneliti dan berpikir mencari sebab dan alasan kenapa orang tersebut tidak paham. Sebab-sebab terjadi macetnya komunikasi banyak faktornya.
Dalam satu kasus ekstrim, banyak terjadi di industri pariwisata. Turis yang berkunjung ke suatu negara yang lain bahasa ternyata tidak semua sadar bahwa negara yang dikunjungi berbeda bahasa dan tidak semua masyarakat akan mengerti mereka. Turis-turis ini bertanya atau komplain dengan orang lokal dengan memakai bahasa mereka.
"Sorry, English please," begitu kata seorang resepsionis sebuah hotel di Sydney.
Tapi turis itu tetap saja menyambung pembicaraannya dengan bahasanya sendiri. Kembali resepsionis itu mengulangi perkataannya sambil menggerak-gerakan tangannya mengisyaratkan bahwa ia tidak mengerti apa yang diomongkan. Turis itu nampak kecewa dan bersungut-sungut sambil tetap ngomong memakai bahasanya. Sebelum akhirnya ia sadar sendiri setelah tahu apa yang diomongkan tidak memberi respon yang diharapkan.
Kalau salah, ngaku salah lalu minta maaf. Bereslah urusannya. Itulah logika umum. Tapi logika sederhana ini juga tidak bisa begitu saja bisa diterapkan oleh semua orang. Mengaku salah tapi enggan minta maaf. Sudah salah tapi merasa tak bersalah. Merasa salah tapi enggan mengakui salah. Merasa selalu disalahkan dan lalu gengsi mengaku salah. Bahkan dalam kutub ekstrim langka, ada orang yang merasa tak pernah salah. Kebenaran diciptakannya sendiri menurut kehendaknya dan bukan kebenaran berlaku umum. Kebenaran pilih kasih.
Mengakui kesalahan memang perlu pemikiran sehat dan berani menilai diri sendiri secara obyektif. Hanya orang dewasa dan sehat mental-lah yang bisa melakukan instrospeksi demikian. Seorang Schizophrenik tak mungkin bisa melakukan instrospeksi. Orang egois tak mungkin bisa berinstrospeksi menilai tabiatnya. Orang yang selalu mencari benarnya sendiri tak mungkin bisa melakukan instrospeksi.
Setiap hari Sabtu, acara rutin bersama pasangan suami isteri pada hari libur kerja adalah jalan-jalan pagi hari lalu diteruskan dengan belanja keperluan rumah tangga. Karena acara itu sudah rutin dilakukan tahunan, sehingga sudah menjadi aturan tak resmi bagi keduanya. Si suami selalu menolak ajakan teman-temannya untuk pergi bersama. Juga ketika malam Sabtu itu teman kerjanya mengajak pergi mancing esok hari.
Betapa kecewanya ketika pagi itu isterinya pamitan hendak pergi kerja karena perusahaan tempat kerjanya amat sibuk sehingga harus kerja lembur. Tidak biasanya isterinya dipanggil perusahaan untuk kerja pada hari Sabtu.
"Aku cuma libur hari Minggu. Sabtu harus kerja karena perusahaan sibuk," begitu kata isterinya ketika ditanya kok kerja pagi itu.
"Kok nggak bilang kemarin. Tahu gitu aku pergi mancing hari ini," kata si suami.
Logikanya cukup sederhana. Perubahan terhadap sesuatu yang rutin, sebaiknya memang dikomunikasikan sedini mungkin. Sehingga memberi kesempatan pihak lain untuk menyesuaikan jadwalnya. Kadang logika yang nampak sederhana jika tidak dipahami dengan bijaksana, bisa menciptakan keadaan tak bisa diduga.
Si suami bisa saja punya pikiran bahwa isterinya punya pria idaman lain di perusahaan. Masuk kerja adalah alasan dibuat-buat. Tidak mungkin mengorbankan acara rutin bersama tiap hari Sabtu, selain untuk sesuatu yang lebih penting. Kalau tidak perusahaan, ya pria idaman lain (pil). Atau keduanya? Bos perusahaan itu jadi "pil" isterinya. Mungkin cuma kerja sejam di pabrik, 7 jam berikutnya di hotel bersama bosnya. Dan pulang pada waktu jam kerja sebagaimana biasanya.
Si suami akhirnya tanpa sadar punya pikiran akan melakukan hal sama suatu saat. Memancing sebuah pemikiran yang tak pernah terlintas di benak sebelumnya.
Good Intention Wrong Execution
Sebuah kesalahan harus dibetulkan. Itu logika sederhananya. Seseorang yang telah berbuat salah harus diingatkan dengan baik-baik agar tahu kesalahannya dan memperbaiki kesalahan itu agar lebih baik. Sebuah tujuan pelaksanaan logika yang amat baik. Tapi tujuan baik jika tidak dilaksanakan dengan baik belum tentu punya dampak baik pula.
Seorang tenaga finansial kontroler sebuah perusahaan menemukan kesalahan prosedur yang dilakukan oleh pegawai departemen lain. Perusahaan tidak mengalami kerugian karena kesalahan prosedur tersebut. Kesalahan melulu hanya pada prosedur yang tidak menaati kebijaksanaan teknis perusahaan.
Finansial kontroler tersebut menegur langsung pegawai departmen lain yang salah prosedur tersebut. Tujuan dari finansial kontroler itu bagus tapi pelaksanaan dari dari tujuan itu salah. Ia juga tidak melewati prosedur selayaknya. Seharusnya ia menyampaikan kesalahan pegawai itu pada pimpinannya. Kemudian pimpinan langsung dari pegawai tersebutlah yang akan menegur bawahannya. Jalur komando seharusnya mengikuti struktur organisasi.
Seorang ibu hendak memberikan sebuah hp baru yang lebih canggih pada anaknya. Hp yang dipunyai anaknya dianggap sudah ketinggalan jaman. Anaknya sudah lama pingin hp yang lebih baik. Pasti akan senang sekali menerima pemberian hp baru dari ibunya itu. Maka, begitu anaknya datang dari sekolah, ia berikan hp baru itu. Dan benar anak itu senang bukan main. Ia peluk ibunya sambil mengucapkan terimakasih.
Sepintas tidak ada yang salah dalam peristiwa itu. Tujuannya baik dan disambut dengan baik pula. Tapi alangkah bijaksananya jika si ibu tersebut menunggu kesempatan yang lebih baik untuk memberikan hp baru itu. Misalnya sehabis anak ujian dan mendapat nilai bagus. Atau sehabis anak membersihkan kamarnya dan sebagainya. Sehingga anak bisa belajar menghargai bahwa sesuatu yang bernilai tidak datang begitu saja tanpa usaha.
Jika pelaksanaan dari tujuan baik itu diterapkan dengan benar, si anak akan memperoleh manfaat lebih dari sekedar hp baru. Ada nilai lebihnya. Tujuan baik saja tidak cukup. Tujuan baik harus disertai pula dengan sebuah tanggung jawab.
Tapi memang tidak bisa dipungkiri bahwa tidak setiap orang punya kemampuan berpikir logis sama. Logika yang nampak sederhana belum pasti diterima sama oleh semua orang. Kejadian dan fakta sama belum tentu dicerap sama maknanya oleh semua orang. Tergantung dari pengalaman hidup, pendidikan, budaya dan keluasan lapangan berpikirnya.
Jangan remehkan logika-logika sederhana di sekitar kita. Kejeniusan ada batasnya, sementara kebodohan tak terbatas lantai dasarnya. Orang bisa melakukan tindakan sebodoh-bodohnya orang bodoh dan merugikan orang-orang di sekitarnya melebihi dari yang bisa dibayangkan. Hanya karena sesuatu yang dipikir secara logika nampak sepele.
Manusia memang mahluk yang super kompleks. Kadang bisa melakukan suatu tindakan yang tak bisa diduga lewat nalar.*** (HBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H