[caption id="attachment_317471" align="aligncenter" width="546" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
DI SEBUAH jalan di kota kecil dekat Sydney nampak orang keluar terhuyung-huyung dari sebuah flat. Di bagian perut orang itu terdapat beberapa lubang tusukan. Darah mengalir pelan dari situ. Ia tak bisa bicara karena mulutnya masih terbalut dengan plester. Tangannya terikat ke belakang. Ia jalan di atas trotoir sempoyongan berusaha menjauhi flat darimana ia keluar.
Seorang yang kebetulan lewat, tergopoh-gopoh menanyai orang tersebut apa yang terjadi. Ia menghentikannya dan membantunya untuk berbaring di lantai trotoir yang dingin. Lalu melepas plester di mulut dan mengurai tali yang mengikat tangannya. Ternyata korban tusukan itu berhasil keluar dari flat setelah ia disandera beberapa jam sebelumnya. Untunglah orang yang ditemui di jalan itu punya sertifikat first aid (P3K). Ia segera melepas kaosnya dan menekan lubang di perut untuk menghentikan pendarahan. Lalu ia panggil ambulance dan polisi sekaligus dengan hp.
Selama menunggu datangnya ambulance, penolong itu menanyai nama korban. Mencoba membuatnya untuk tetap terjaga. Ia tanyai kapan terakhir liburan? Apa saja yang dilakukan saat liburan? Ia mencoba menenangkan korban dengan ingatan-ingatan yang menyenangkan. Ia juga meyakinkan untuk tidak terlalu kuatir karena pertolongan segera datang. Semua akan baik-baik saja. Sesekali ia dengar orang tersebut kentut dan seperti ada angin yang keluar dari lubang di perutnya. Kondisi korban makin lemah. Mulutnya mengeluarkan darah segar.
Dalam kursus-kursus first aid, penolong penderita kecelakaan memang disarankan untuk membuat korban jadi setenang mungkin. Terutama pada korban kecelakaan yang mengalami shock. Dengan membuatnya tenang dengan sendirinya denyut nadinya akan lebih stabil sehingga tidak membuat pendarahan makin parah. Pertama dan yang paling penting ialah dengan meyakinkan korban bahwa keadaan akan segera membaik. Bahwa petugas ambulance akan segera datang secepatnya untuk menolongnya.
Ketika penulis melihat kecelakaan di Indonesia (Malaysia?) lewat youtube, masyarakat yang berusaha menolong korban juga berbuat sama (Sumber). Mencoba menenangkan si korban kecelakaan namun beda caranya. Korban yang mengalami pendarahan cukup berat di kepalanya tersebut nampak tidak sadarkan diri. Kondisinya amat lemah. Korban seperti tidak merespon omongan para penolong. Ia seperti kesulitan bernafas. Penolong tersebut membaringkan korban dalam posisi terlentang di pinggir jalan dan mulai membacakan kalimat-kalimat agama. Sesekali membisikkan kalimat agama itu di telinga korban dan keras-keras menyebut kebesaran nama Tuhannya.
Pertama yang dilakukan untuk menolong korban kecelakaan adalah dengan memastikan bahwa tidak ada benda atau darah yang menyumpal di mulut dan tenggorokan penderita sehingga menghambat jalan pernafasannya. Dengan membaringkan korban dalam posisi terlentang, korban akan lebih sulit untuk bernafas. Seharusnya korban dibaringkan dalam posisi miring (recovery position) sehingga memperlancar jalannya udara dan mempermudah korban untuk bernafas karena posisi lidah tidak masuk ke dalam tapi ke samping.
Untunglah petugas ambulance segera datang dan membawa korban ke rumah sakit. Tidak diketahui akhir dari keduanya. Apakah jiwanya tertolong apa tidak.
Nyawa Hak Milik Pribadi Paling Berharga Manusia
Nyawa adalah milik pribadi yang paling berharga. Hanya si pemberi nyawa dan pemilik nyawa sendirilah yang berhak mencabut nyawa dari badan wadagnya. Sebenarnya, memakai dasar apapun atau dengan dalih apapun, orang tidak berhak untuk mengambil nyawa milik orang lain. Namun dalam dunia yang serba tidak sempurna ini, nyawa manusia kadang tidak ada harganya. Nyawa dikorbankan untuk kepentingan-kepentingan politik atau kepentingan lain yang dianggap demi menegakkan peraturan dan rasa keadilan kemanusiaan.
Pelaku bunuh diri adalah tindakan ekstrim seorang individu dalam hal kepemilikan sebuah nyawa. Sebagai individu, memang paling berhak untuk melakukannya. Orang lain tidak mempunyai kewenangan menghalanginya. Karena rasa kemanusiaan tindakan euthanasia tidak setiap negara mendukungnya. Namun bila seorang individu telah memutuskan untuk mengambil nyawanya sendiri, ia bisa melakukan dengan seribu cara. Tak akan ada yang bisa menghalangi begitu tekad sudah dibulatkan. Bagaimanapun barharganya sebuah nyawa, jika seseorang sudah memutuskan bahwa ia hendak mengambil nyawanya sendiri, tak ada kekuatan manapun yang bisa menghalanginya.
Sebuah suku terasing di Amazon, Suruwaha, umur harapan hidup suku tersebut rata-rata di bawah 35 tahun (bandingkan dengan data statistik dunia). Bukan karena kurang gizi dan nutrisi yang miskin atau wabah penyakit, tapi karena suku tersebut punya kebiasaan yang mendirikan bulu kuduk.
Secara turun temurun, suku terasing tersebut punya kebiasaan untuk melakukan bunuh diri (euthanasia) bahkan sebelum menginjak dewasa dan menikah. Kematian dianggap sebagai hidup di alam lain. Mereka punya ramuan khusus yang terbuat dari akar pohon-pohonan amat mematikan bila diminum. Jika orang sudah membulatkan tekad untuk mati, masyarakat sekitar membantunya mempersiapkan tindakan bunuh diri itu.
Alasan mereka bunuh diri adalah karena tak tahan menanggung rasa rindu dengan adik, kakak atau orangtua mereka yang lebih dulu melakukan bunuh diri. Bunuh diri di kalangan suku tersebut dianggap bukan sebagai tindakan tercela. Bunuh diri dipandang sebagai bagian dari proses hidup menuju hidup berikutnya. Merupakan hak seseorang ketika memutuskan untuk pergi menemui saudara yang dicintainya di alam kehidupan lain. Anggota suku lain secara sosial membantu individu tersebut untuk melakukan perjalanannya melalui ritual-ritual adat sukunya.
Ketika kita tilik masalah nyawa ini dengan sudut pandang agama, maka nyawa bukan lagi melulu milik pribadi perseorangan dengan hak kuasa mutlak. Bunuh diri dilarang dalam agama disertai sanksi-sanksi yang menakutkan bagi arwah pelaku bunuh diri. Namun jika bunuh diri dilakukan karena alasan membela agama maka akan lain persoalannya. Menghilangkan nyawa orang lain dalam banyak agama juga dilarang. Namun menghilangkan nyawa orang lain demi membela agama, maka juga lain persoalannya.
Agama punya peranan menentukan dalam memperlakukan nyawa manusia. Baik nyawa individu atau nyawa orang lain disertai sanksi atau ganjaran yang setimpal. Sanksi dan ganjaran tersebut dalam agama dikenal dengan neraka dan surga. Setiap agama punya kriteria sendiri dalam masalah surga dan neraka ini. Dalam agama tertentu, sanksi bisa sedemikian menakutkan sehingga membuat manusia berpikir duapuluh kali lipat untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agamanya. Dan di sisi lain yang berlawanan, ganjaran yang diberikan sedemikian menggiurkan bagi manusia untuk melakukan apapun agar bisa memperoleh ganjaran sesuai agama tersebut. Termasuk dalam urusan nyawa ini, sanksi dan ganjaran menduduki sisi kutub relatif ekstrim yang berlawanan.
Di youtube banyak dijumpai video rekaman orang membunuh orang lain atas nama Tuhannya. Si pembunuh maupun yang dibunuh sama-sama meneriakkan nama Tuhan masing-masing. Di youtube pula bisa dijumpai orang melakukan tindakan bunuh diri karena masalah hidup dengan menyebut kebesaran nama Tuhannya (sumber). Dalam sekte agama tertentu bahkan kita dapati berita tindakan bunuh diri masal atas nama agamanya (Sumber). Entah di mana Tuhan berpihak dalam hal ini. Lebih-lebih bagi pemeluk agama sama tapi beda pemahaman.
Nyawa bukan lagi milik pribadi manusia sebagai diri atau urusan nyawa manusia lain sesama manusia, tapi ada pihak ketiga yang mencampuri urusan nyawa manusia ini, yakni agama. Agama menempatkan urusan nyawa manusia ke tingkat berikutnya. Urusan nyawa menjadi lebih rumit. Doktrin agama bisa saja diterjemahkan secara sempit oleh manusia yang terbatas akal, pikiran dan hatinya. Ketakutan berlebihan pada Tuhan atau fanatisme sempit terhadap agama kadang bisa membuat manusia berpikir di luar batas-batas realita kemanusiaannya sendiri.
Keberadaan dan peranan Tuhan bisa diartikan secara berbeda oleh tiap individu. Karena kehidupan yang beragam, desakan hidup bisa membuat manusia kehilangan pegangan agamanya. Tuhan bisa ditempatkan pada posisi yang subjektif karena pemahaman manusia yang sempit dan terbatas ini. Tuhan telah direduksi menjadi obyek pembenaran atas tindakannya.
Keterpihakan Pilihan Pribadi
Dalam dua kasus tersebut di atas di awal tulisan, dua orang manusia terancam kehilangan nyawanya, namum bagaimana keduanya ditangani amat berbeda. Kedua kasus tersebut hanya sebagai ilustrasi dalam artikel ini. Karena tidak semua kecelakaan akan diperlakukan seperti itu. Contoh kasus tersebut hanya sebagai gambaran bagaimana kebudayaan membedakan dalam memperlakukan nyawa seseorang.
Dalam negara sekuler, semacam Australia, peranan Tuhan dalam penyelamatan nyawa manusia ditempatkan pada ruang pribadi masing-masing individu. Penyelamat lebih menitik beratkan pada keadaan individu secara realistik. Urusan kematian adalah urusan rasionil yang bisa dicegah lewat teknologi dan medis. Maka ketika penderita dalam keadaan kritis, oleh penolong diciptakan suasana agar penderita membayangkan hal-hal yang menyenangkan dan kepastian bahwa pertolongan medis dengan ketrampilan dan teknologi memadai yang diperlukan akan segera datang.
Penolong tidak mengkhawatirkan jika korbannya meninggal nanti masuk surga atau neraka. Si penolong tidak berusaha menghibur korban dengan kalimat-kalimat berkaitan dengan agama meski korban diasumsikan sudah dalam keadaan kritis dengan harapan hidup minim. Agama dan ketuhanan demikian jauh dari benak si penolong. Dan bahkan mungkin juga di benak korban. Pikiran rasionil mereka menghentikan pikiran di luar kenyataan riil. Masalah surga atau neraka adalah masalah pribadi individu masing-masing setelah meninggal. Sebuah masalah yang berada di luar kekuasaannya untuk mempengaruhinya. Selama ada di dunia, maka hukum-hukum duniawilah yang bicara. Mereka akan tetap berusaha menyelamatkan nyawa korban hingga korban dinyatakan meninggal.
Sementara itu, bagi masyarakat Indonesia yang religius dan beragama, tidak berarti tanpa usaha riil dalam menolong korban kecelakaan. Mereka merasa tahu di "batas" mana mereka harus berhenti berusaha untuk menolong dan saatnya nasib dipercayakan pada Sang Kuasa.
Ketika "batas" itu dirasa telah dilewati, maka nyawa sudah berada di luar jangkauan tangannya. Nyawa sudah jadi urusan di luar kekuasaannya. Maka tidak ada usaha lainnya yang dirasa lebih baik selain mengumandangkan kalimat-kalimat kitab suci untuk membantu korban menemui penciptanya. Dengan ketulusannya dalam menolong korban, mereka berasumsi bahwa agama si korban sama dengan agamanya. Maka kalimat-kalimat suci dari agamanya didengungkan pada korban.
Karena agama bagi individu adalah agama paling benar yang diyakininya, maka jika orang lain meski beda agama, jika dibacakan kalimat-kalimat suci agamanya akan punya nasib sama. Yakni mendapat pengampunan dari Tuhan dan mendapat keringanan atas dosa-dosanya.
Masalah yang bisa diperdebatkan adalah tentang definisi "batas" yang diketahui dalam usahanya menyelamatkan nyawa korban. Batas di mana si penolong merasa tidak lagi kuasa untuk menyelamatkan nyawa si korban. Karena pengetahuan medis yang terbatas, mungkin saja "batas" itu tidak tepat. Namun sudah keburu menyerahkan pada kekuatan di luar kemampuan dirinya. Pada titik inilah yang membedakan antara pemikiran rasionil dan sekuler dengan pemikiran religius agama dalam usaha menyelamatkan nyawa seorang manusia.
Jika kedua korban di atas ternyata keduanya meninggal, maka kebenaran menjadi urusan masing-masing individu. Penolong di negara sekuler merasa benar dan demikian juga penolong di dunia religius beragama. Bedanya, penolong sekuler usahanya dalam menolong tersebut berhenti di dunia. Mereka merasa gagal dalam usahanya menolong korban. Sementara penolong religius beragama merasa bahwa pertolongan mereka berlanjut meski korban meninggal. Mereka merasa berhasil dalam menolong korban untuk mempersiapkan diri menghadap Tuhannya. Gagal menolong di dunia namun masih punya harapan sukses menolong korban di alam kubur. Meski hal ini amat sulit dibuktikan karena hanya berdasar keyakinan agama.
Betapa "agama" atau kepercayaan tentang kekuatan supernatural telah menggeser sikap kita tentang arti sebuah nyawa. Kepercayaan adanya sebuah kekuatan di luar kekuatan manusia melahirkan konsep dan pandangan baru dalam menilai sebuah nyawa. Bahkan dalam kasus tertentu kekuasaan "Tuhan" jauh melebihi harga sebuah nyawa.
Dalam peradaban-peradaban kuno, persembahan nyawa manusia kepada kekuasaan di luar kekuasaan manusia dilakukan oleh kelompok manusia pengikutnya. Nyawa manusia dijadikan tumbal bagi kesejahteraan manusia lainnya. Tumbal nyawa manusia seolah bisa membahagiakan kekuatan supernatural yang dipercayai akan memihak kepada pengikutnya. Seolah tindakan menghilangkan nyawa manusia lain mengalami pembenaran karena adanya kekuatan supernatural yang "diyakini" memihak padanya.
Manusia tidak akan pernah bisa menghilangkan instingnya sebagai mahluk yang lebih rendah. Menghilangkan nyawa orang lain tak cukup hanya mematikannya, tapi harus disertai kesakitan demi alasan pembelajaran, balas dendam atau keadilan.
Hukuman mati adalah bentuk penghilangan nyawa manusia demi pembelajaran secara terlembaga. Hukuman mati dengan memakai gas nitrogen tanpa menimbulkan rasa sakit bahkan pesakitan menghalami euphoria beberapa detik sebelum meregang nyawa dianggap tidak cocok dengan tujuan hukuman mati itu sendiri (Sumber). Si pesakitan harus menderita sakit sebelum mati. Hutang nyawa dibayar nyawa. Itulah pembelajaran yang didapat dari hukuman mati. Hukuman adalah hukuman. Hukuman harus menyakitkan. Tidak ada hukuman yang sifatnya menyenangkan.*** (HBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H