Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak Ada Demokrasi Tanpa Kemauan Melebur dalam Keragaman

5 Februari 2014   09:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:08 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

AUSTRALIA adalah negara yang penduduknya terdiri atas beragam imigran berasal dari berbagai negara. Setiap negara asal masyarakat tersebut punya kebudayaan dan tradisi saling beda. Negara Australia adalah negara menganut sistem pemerintahan sekuler dan mayoritas penduduknya beragama Kristen. Keadaan di Australia bisa amat berbeda dengan negara asal imigran. Namun mau tidak mau setiap imigran yang masuk ke Australia diharapkan untuk menyesuaikan keadaan dan berintegrasi dengan masyarakat lain yang ada di Australia.

Penyesuaian tersebut tidak selalu gampang dilakukan, terutama dari negara-negara Asia karena masalah beda budaya. Australia adalah negara barat yang menekankan sikap individual dan kesetaraan hak perorangan. Sementara Asia negara berbudaya timur yang menomerduakan individu dan menekankan pada keharmonisan sosial. Cara pandang dalam hal budaya inilah yang membuat masyarakat dari Asia kadang menemukan kesulitan untuk menyesuaikan diri.

Kesulitan untuk menyesuaikan diri ini bisa menghambat pengembangan pribadi dan menciptakan masalah-masalah sosial dan budaya bagi masyarakat Australia secara umum. Dalam usahanya membantu para imigran agar bisa secepatnya menyesuaikan diri di negara barunya, pemerintah membantu para imigran tersebut dengan berbagai jalan. Kursus bahasa Inggris gratis, penyediaan para penterjemah secara gratis jika punya urusan dengan pemerintah dan informasi-informasi lain yang berguna bagi para imigran dalam bahasa mereka. Juga bisa didapati nomer telpon para penterjemah bila diperlukan.

Tapi nampaknya usaha pemerintah tersebut tidak selalu sukses. Ada kelompok-kelompok masyarakat yang karena alasan budayanya amat sulit untuk berintegrasi dengan masyarakat umum Australia. Semakin dipaksakan semakin membentuk resistensi perlawanan. Bahkan dikuatirkan masyarakat tersebut bisa membentuk gerakan resistensi bawah tanah yang makin sulit untuk dideteksi kalau masalah integrasi ini dipaksakan.

Kesulitan budaya dalam berintegrasi tersebut mengundang pandangan pro dan kontra. Yang pro menganggap bahwa mereka susah berintegrasi karena latar belakang budaya yang memang susah untuk dirubah. Maka jalan satu-satunya adalah menghargai budaya mereka. Ekspresi budaya mereka harus dihargai oleh pemerintah sebagai negara demokratis yang menghargai ekspresi budaya setiap warga asal tidak bertentangan dengan hukum Australia.

Sementara yang kontra menyarankan agar mereka mau tidak mau harus berintegrasi dengan Australia. Mereka hidup di Australia maka sewajarnya mereka hidup dengan cara Australia tanpa ada pengecualian. Kedua pandangan tersebut belum menemukan titik temu bersama. Masalah tersebut akhirnya lebih banyak dibiarkan mengambang dan menjadi obyek sensitif untuk didiskusikan.

Program pemerintah Australia yang mencanangkan Australia sebagai negara multikultural tidak selamanya berjalan mulus. Apalagi jika dihubungkan dengan masyarakat yang mengalami kesulitan untuk berintegrasi karena alasan ideologi yang dibawanya. Barangkali masalah penyesuaian ideologi ini adalah masalah paling rumit untuk diselesaikan, bahkan bisa membawa Australia pada ketidakharmonisan sosial dalam jangka panjang. Sementara untuk mendiskusikan secara terbuka masalah yang menyangkut ideologi mengalami kendala karena sensitifnya obyek pembicaraan.

Untungnya konflik-konflik ideologi belum terjadi secara terbuka di Australia. Hukum-hukum positif Australia yang relatif tegas dan tanpa pandang bulu merupakan faktor kuat dalam meredam konflik terbuka karena ideologi beraliran keras. Namun dengan adanya konflik ideologi berdasar agama di belahan dunia lain, keberadaan masyarakat yang punya ideologi keras di Australia makin menarik perhatian masyarakat dan cukup meresahkan. Ideologi aliran keras diketahui ada di Australia setelah diberitakan bahwa ada warga negara Australia tewas dalam konflik ideologi di negara belahan dunia lain (Sumber).

Pemerintah Australia kuatir bila orang yang berpartisipasi perang di belahan dunia lain itu jika pulang bisa menularkan aliran ideologi keras dalam masyarakat. Ideologi keras dikuatirkan akan mengancam kehidupan demokrasi di Australia.

Dengan diketahuinya beberapa anggota masyarakat yang ikut perang di dunia lain tersebut, dipastikan jaringan perekrutannya telah terbentuk di Australia secara diam-diam selama ini. Pemerintah mengancam hukuman 20 tahun atau dicabut warga negara Australianya bila terbukti ikut perang di belahan dunia lain karena idelogi beraliran keras yang dianutnya.

Hambatan Demokrasi di Australia

Banyak alasan kenapa orang tertarik pada ideologi keras. Salah satu sebab yang disebutkan dalam media massa Australia adalah karena orang-orang tersebut merasa tersisih di Australia. Mereka merasa menjadi masyarakat kelas dua di Australia. Mereka merasa tidak diperlakukan secara adil, setara, terisolasi dan terdiskriminasi. Mereka masuk ke dalam jaringan ideologi keras karena diperlakukan beda. Mereka merasa diistimewakan, dihormati, penting dan merasa berguna dalam hidup. Mereka akhirnya secara berangsur merasa terkoneksi dengan ideologi aliran keras tersebut.

Padahal kita tahu bahwa Australia adalah negara berbudaya modern yang menganut paham ideologi demokrasi yang menghargai hak individu sama rata. Bagaimana mungkin para penganut aliran ideologi keras tersebut merasa telah diperlakukan secara tidak demokratis di Australia?

Pertama, tentu saja karena masalah kesulitan berbahasa Inggris. Padahal untuk mengenal budaya perlu mengenal bahasanya. Bagaimana bisa bekerja cari nafkah jika tak menguasai bahasa Inggris? Bagaimana bisa mendapat posisi mapan kalau bahasa dan budaya saja nggak dikuasai.

Itulah masalah umum yang menimpa para imigran di Australia. Masalah bahasa adalah masalah yang perlu waktu untuk mengatasinya. Tidak bisa kursus setahun lalu sudah cas-cis-cus. Kadang perlu bertahun-tahun bahkan seumur hidup masih harus belajar bahasanya. Apalagi budayanya! Perusahaan tentu memilih karyawan yang berprestasi untuk dipromosikan. Jika kemampuannya sama tapi yang satu lebih menguasai bahasa Inggris, tentu saja perusahaan akan lebih berat pada pilihan karyawan yang menguasai bahasa Inggris.

Masalah kedua adalah masalah kerekatan komunitas para imigran. Para imigran dengan kekerabatan sosial tinggi, cenderung enggan keluar dari komunitasnya. Kemana-mana selalu mengunjungi tempat yang berbahasa komunitas mereka. Bekerja pun di lingkungan komunitasnya. Sehingga secara praktis menutup kemungkinan untuk berbaur dengan masyarakat umumnya dan menyesuaikan diri secara budaya. Hal ini tidak disadari oleh para imigran. Mereka merasa nyaman berada di lingkungan budaya komunitas mereka. Mereka merasa komunitas mereka beda dengan komunitas lainnya. Maka, secara berangsur merasa disisihkan secara budaya dari budaya multikultural yang ada di Australia. Merekalah menarik diri dari budaya umum dan hidup secara eksklusive. Bukan sebaliknya, budaya umum yang menyisihkan mereka.

Ketergantungan pada komunitas ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang mendapat untung dari kekerabatan tersebut. Mereka merasa tidak punya saingan dari dunia di luar komunitas mereka. Mereka dengan terencana atau tidak, mencoba menghalangi komunitas untuk berhubungan dengan dunia luar lewat pengaruh kekuasaan dan uang. Inilah faktor ketiga yang membatasi komunitas tersebut untuk berbaur. Tidak jarang pemimpin komunitas dengan terselubung berusaha mengucilkan keluarga yang tidak mau berbaur dengan komunitasnya. Kebebasan indivu menjadi terhalang. Jika kebebasan individu terhalang, maka kehidupan demokrasi bisa terancam.

Itulah masalah demokrasi yang dihadapi oleh Australia saat ini. Sebuah negara yang sudah kenyang dengan alam demokrasi masih mengalami kesulitan untuk memasyarakatkan kehidupan demokrasi itu sendiri. Kehidupan demokrasi ternyata jauh lebih kompleks dari yang dibayangkan. Australia yang sudah terlembaga menjamin kehidupan demokrasi masing-masing individu masih kesulitan dalam menggiring transisi demokrasi masyarakatnya.

Jika kita tarik benang merahnya dengan keadaan di Indonesia, maka Indonesia menghadapi tantangan jauh lebih pelik. Keanekaragaman budaya, suku, agama, bahasa, keturunan di Indonesia jauh lebih majemuk dan kadang tanpa wajah. Tidak sebagaimana di Australia, masing-masing komunitas lebih mudah dikenali tidak saja secara fisik tapi juga secara lembaga, sehingga memudahkan untuk menjalin komunikasi terutama lewat pemimpin komunitasnya.

Transisi menuju kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih demokratis perlu kerja keras kita semua dan political will dari pemerintah. Pemerintah untuk langkah pertama adalah dengan menjamin berlakunya hukum positif secara adil, tanpa pandang bulu dan tegas pada semua lapisan masyarakat tanpa kecuali. Eksklusisve sebuah golongan akan merusak alam demokrasi itu sendiri dalam jangka panjang. Bahkan mungkin demokrasi yang kita idamkan tak akan pernah datang.*** (HBS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun