Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memecahkan Monopoli Kepopuleran Jokowi Ahok

22 Maret 2014   14:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:37 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_316533" align="alignnone" width="614" caption="Caleg ritual di kali tempuran. Sumber foto: https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc1/t1.0-9/1780620_555228001265336_1488702456_n.jpg"][/caption]

Masyarakat kita sudah terbiasa dengan cara pikir klenik. Sejak kecil kita sudah kenal cara pikir ini. Bahkan beberapa orang tua kita masih menganut pola asuh yang menguatkan cara pikir klenik dan irasionil.

Kalau makan jangan di depan pintu, tidak baik. Gadis kalau bangunnya kesiangan dimakan betoro kolo dan susah jodoh. Kalau makan nggak dihabiskan, ayamnya mati. Bantal jangan diduduki nanti udunen. Dan lain-lain larangan yang tidak menjelaskan secara logis, masuk akal kenapa hal itu tidak boleh dilakukan.

Cara pikir itu hingga dewasa masih menyisakan jejaknya. Jika ada orang kaya, diisukan punya piaraan mahluk halus. Meski bila dianalisa, sebenarnya hasil kerja keras juga. Jampi-jampi yang diperoleh dari dukun sebenarnya secara psikologis mendorong orang untuk tidak malu bekerja keras dan berusaha. Oleh sang dukun tidak dijelaskan secara masuk akal kenapa perlu puasa, perlu berjalan mengengilingi tempat keramat bahkan hingga tiga kali. Perlu berendam di bak mandi orang lain malam hari. Dan lain-lain syarat dari si dukun.

Cara pikir itu ternyata kini juga terjadi di arena politik. Ketika Jokowi Ahok terpilih untuk duduk di gubernuran tanpa dana besar, masyarakat kita tak bisa menerima dengan akal sehat. Bahkan Jokowi Ahok mendapat sambutan positif dari masyarakat demikian luas. Menjadi media darling. Maka lahirlah klenik-klenik yang tidak rasionil. Misalnya, mereka didanai oleh pengusaha hitam. Didekte penguasa modal dari luar negeri. Disetir oleh penyandang dana. Dan banyak alasan lainnya yang mencoba mencari jawaban atas keadaan yang tidak bisa dicari alasan kepastiannya.

Juga beberapa calon legislatif yang mencoba mengadu nasib di pemilu melakukan hal yang lebih ekstrim lagi. Mereka berendam di kali tempuran yang dipercayai memberi berkah. Ketidak-pastian akan kemenangan di pemilu menggiring mereka untuk lari ke klenik dan pikiran irasionil.

Anehnya, kalangan yang percaya klenik dan mengkritik Jokowi-Ahok itu tidak bisa memberikan alternatif solusi yang dipandang lebih kena. Mereka mengajukan data-data yang bernuansa klenik lewat akun kloning atau tak jelas sumber asal muasalnya. Sikap ini bisa dipahami, karena apa yang diajukan secara klenik itu memang tidak diketahui kepastiannya. Ketidak-pastian itu memang sumber dari pemikiran ala klenik. Awalnya saja sudah klenik kok ditanyai kepastiannya. Kalau tahu kan nggak mungkin berpikiran cara klenik? Itulah kepandaian budaya kita. Menyembunyikan klenik lewat argumentasi-argumentasi yang seolah logis. Tapi pada dasar dan nyawanya tetap saja klenik.

Baiklah, katakan saja apa yang diajukan itu dari sumber terpercaya. Tapi kenapa hanya diarahkan pada Jokowi-Ahok? Kenapa tidak ke capres lainnya? Bisa dipastikan bahwa capres lainnya juga punya pendukung dana yang punya kepentingan strategis, didukung pengusaha hitam yang mencoba melindungi usahanya dan sebagainya. Bahkan secara empiris punya track record jelek. Pelanggaran HAM, perusak lingkungan hidup, koruptor dan lain-lainnya.

Kalau mau fair, seharusnya semua capres digali track recordnya. Siapa saja penyandang dananya? Siapa saja orang yang menaruh kepentingan di dalamnya? Dari mana saja dana didapat? Jika semua caleg digali track recordnya, maka akan memberikan pilihan-pilihan seimbang, rata dan adil sehingga rakyat bisa menilai jauh lebih baik terhadap masing-masing calon.

Monopoli Kepopuleran

Kita semua tentu sudah tahu bahwa banyak penilaian-penilain atau kritik-kritik negatif pada Jokowi Ahok di media sosial. Bahkan beberapa kalangan menuduh bahwa Jokowi Ahok menyebar tim maya atau tim sukses mereka untuk mendongkrak pencitraan Jokowi Ahok. Tim maya itu diisukan dibayar oleh pendukung dana kampanye Jokowi Ahok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun