[caption id="attachment_1319" align="alignnone" width="611" caption="Tokoh Paman Gembul di majalah Bobo. Tokoh yang tidak asing di dunia anak-anak. Tokoh yang rakus dan kerap mendapatkan kesulitan karena sifat rakusnya. (Sumber gambar: http://www.kidnesia.com/var/gramedia/storage/images/kidnesia/cerita-kita/cergam/penemuan-istimewa/halaman-2/10049152-1-ind-ID/Halaman-2.jpg)"][/caption]
BAGI masyarakat Indonesia, sebutan-sebutan tersebut memang sudah biasa dilakukan. Penulis hapal benar dengan kebiasaan ini. Sejak duduk di SD hingga SMA penulis tak pernah lepas dari sebutan-sebutan ini. Dan semua itu tak jadi masalah. Malah terkesan akrab. Selama nama sebutan yang diberikan tidak mengacu pada hal-hal yang negatif. Sebutannya masih terasa netral.
Nama sebutan konotasinya memang bisa bertingkat. Mulai netral, agak nakal dan nylekit. Darso Keceng, Didik Ceking, Rudi Kribo, atau Edi Kalur adalah yang tergolong netral. Marno Kopok, Wahyu Peang, Sugeng Ngompol, Gendut Corong, Karto Bethet adalah yang tergolong agak nakal. Agus Ledeng, Hari Kecrek, Samsu Pekok, Harjo Reden adalah julukan yang agak nylekit.
Saat duduk di bangku SD, teman-teman sepermainan kadang saling berolok menyebut orangtua temannya dengan julukan-julukan. Kadang bisa membuat seorang anak marah-marah. Karena tersinggung perasaannya bila orang tua yang dihormatinya dijuluki secara tidak senonoh.
Tingkah laku anak-anak SD itu barangkali meniru orangtua mereka di kampung. Di kebudayaan Jawa, penyebutan nama seseorang dengan julukan tambahan memang sudah biasa. Ada penduduk kampung bernama pak Parto. Karena kerjanya sebagai juru pengairan di desa, pak Parto dijuluki Uceng. Maka nama terkenalnya di kampung menjadi Parto Uceng.
Sebenarnya nama tambahan itu mengacu pada jenis pekerjaan yang dipunyainya. Tapi kemudian berkembang julukan-julukan yang tidak cuma mengacu pada pekerjaan tapi juga pada hal-hal khusus pada orangnya. Misalnya Parmin Dogol, Redjo Bruwes, Kliwon Sangklir, Slamet Bejok, Simo Kebo, Sardi Penthol, Darmo Gandhul dan sebagainya. Nama julukan lebih banyak diberikan pada kaum lelaki. Namun tidak jarang juga diberikan pada seorang perempuan. Misalnya Yu mBotho, Yu Cempluk, Yu Darmi Tempe dan sebagainya.
Beberapa teman SMA menerima sebutan nama yang sebenarnya mengacu pada tindakan tidak senonoh. Sebutan itu diberikan karena orangnya suka bicara hal-hal yang tidak senonoh. Maka sebutan itu akhirnya serasa pas dan diterima oleh anak lainnya. Kadang anak lain malah tidak tahu nama asli selain julukannya. Namun ketika menjadi seorang bapak, sebutan itu sudah tidak pas lagi. Tapi karena terlanjur akrab dengan sebutan itu, pada saat reuni beberapa teman masih memanggilnya dengan sebutan saat SMA. Beberapa teman punya kesadaran dengan memanggil nama aslinya. Tapi susah merubah kebiasaan teman-teman yang sudah terlanjur akrab memanggilnya dengan nama sebutan. Barangkali nama sebutan itu tidak bisa lepas darinya. Bagaimanapun tidak sukanya dia.
Tidak Pantas
Terkejut sekali ketika membaca berita tentang sebutan Jokowi yang dilontarkan oleh Megawati di Rakernas NasDem dihadapan para tamu dan undangan di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Selasa, 27/5/2014 (Sumber).
Meski nadanya candaan, sebenarnya kurang etis diucapkan. Apalagi Jokowi secara resmi telah ditunjuknya sebagai capres yang kemungkinan nantinya bila terpilih bisa menjadi Presiden RI.
Sebutan buat Jokowi yang dilontarkan oleh Megawati itu memang tak sekali terjadi. Banyak orang mengkritik tubuh Jokowi yang kurus. Dan akhirnya Megawati ikutan menyebutnya si kerempeng.
"Yang kalian minta sudah saya kasih. Saya kasih si kerempeng ini (Jokowi). Biar kerempeng, dia adalah banteng," kata Megawati disambut sorak-sorai simpatisan PDI-P saat Ketua Umum DPP PDI Perjuangan itu menyampaikan pidato politiknya dalam kampanye terbuka menjelang Pemilu Legislatif 2014 di Lapangan Thor, Surabaya, Jawa Timur, Senin, 17/3/2014 (Sumber).
Julukan dengan nada canda itu seharusnya tidak dilontarkan oleh Megawati untuk seorang sekaliber dia. Seorang bekas Presiden dan Ketua Umum PDIP. Memang, implikasi dari julukan itu tidak terasa untuk saat ini. Entah nanti ketika Jokowi benar-benar jadi seorang presiden. Mudah-mudahan tidak dijuluki sebagai Jokowi Kerempeng, Presiden RI. Presiden dari partai PDIP dengan Ketua Umumnya, Megawati Gembrot. Sebuah guyonan yang amat tidak lucu.
Melanggar Hukum
Di Australia, menjuluki orang dari penampilan fisiknya harus hati-hati bila tidak ingin terjerat hukum.
Orang sudah bisa amat tersinggung kalau dibilang gendut atau gemuk. Dianggap tidak punya etika sopan santun. Orang tersinggung bukan karena kesadaran tentang bentuk tubuh saja, tapi juga bisa dianggap bersikap diskriminatif. Bentuk badan tidak hubungannya dengan kemampuan seseorang. Sikap stereotype sejauh mungkin dihindari atau tidak diekspresikan secara terbuka.
Dalam identifikasi fisik pelaku kriminal pun, tidak bisa dilakukan seenaknya. Dianggap melawan hukum bila menggunakan istilah: "orang Asia", orang Selandia Baru, orang Lebanon, orang Arab dan lain-lain sebutan yang mengarah pada stereotype. Bahasa di koran dalam menggambarkan ciri-ciri seorang kriminal biasanya disebut dengan "Asian appearance", atau Inlander appearance, atau hyspanic appearance. Sebutan inipun sebenarnya sudah amat sensitif untuk dipakai karena bisa menggiring sikap stereotype pada golongan etnis atau kebangsaan tertentu.
Lain ladang lain belalang. Di Indonesia, kita bisa dengan ringan menyebut orang lain dengan nama-nama julukan yang belum tentu si penerima julukan itu bisa menerimanya dengan senang hati. Tapi kadang kita tak peduli karena secara umum hal itu dianggap lumrah dan tidak melanggar hukum. Kita dengan ringan saja menyebut orang lain karena ciri fisiknya bahkan keturunan etnisnya. Hingga saat ini faktor penyebutan etnis ini masih terbiasa dilakukan di Indonesia. Sebagai keturunan Cina, Batak, Madura dan lain-lain etnis. Dan parahnya dihubungkan dengan stereotype etnisnya dan bukan kualitas pribadi orangnya. Sikap stereotype memang masih subur di tanah air. Entah kapan orang bisa punya tenggang rasa dan secara berangsur punya kesadaran untuk berpikir lebih rasionil, realistis dan menghargai dalam melihat orang lain tanpa sikap stereotype sempit.*** (HBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H