Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saatnya Mengalah untuk Menang, yang Berambisi biar Koar-koar Sendiri

4 Juni 2014   14:26 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:25 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SUASANA kampanye pilpres makin hari makin memanas. Saling sindir, hujat, hina antar kontestan dan pendukungnya makin hari makin tanpa arah. Sudah menjurus ke arah penilaian-penilaian yang jauh dari konteks persaingan yang sehat. Bahkan sudah menyinggung masalah SARA.

Pembelaan dan penyerangan pada masing-masing kontestan dan pendukung makin menyeruakkan rasa kebencian. Keadaan makin meruncing dan membabi buta. Sikap rasionil, logis dan realistis makin ditinggalkan dan sikap emosionil makin menonjol. Jika keadaan ini tidak segera dihentikan, saya kuatir pada masa kampanye dan setelah coblosan keadaan bisa memburuk. Masyarakat makin terpecah-pecah dan kemungkinan untuk adu fisik mungkin tak terhindarkan.

Isu-isu kampanye yang bisa menyulut keterpecahan terutama isu yang menyangkut SARA dan rasa nasionalisme. Masing-masing kontestan dan pendukungnya mengangkat isu SARA untuk menyudutkan pihak lawan. Isu SARA sebagaimana kita ketahui amat sensitif, stereotype dan mudah disulut. Apakah masyarakat kita telah siap menghadapi isu-isu SARA yang dipertajam dan dipertentangkan?

Isu kedua yang tak kalah penting adalah gencarnya kontestan dan pendukung meneriakkan isu nasionalisme. Nasionalisme telah diartikan demikian sempit demi memenangkan kursi presiden. Isu nasionalisme yang diterjemahkan secara sempit demi pembenaran partai politik amat berbahaya bagi kelangsungan hidup bermasyarakat dan bernegara. Nasionalisme mengarah pada bendera partai dan ditumpangi dengan retorika-retorika nasionalisme sempit berkemungkinan mengaburkan rasa nasionalisme lebih luas. Bahkan pilpres diasosisikan sebagai perang Badar. Masyarakat digiring untuk saling berhadapan demi sebuah kepetingan politik elite.

Masing-masing kontestan dan pendukung sudah melampaui kewajaran dalam mendukung partai politiknya. Sikap kritis telah menjadi penyakit jiwa. Sikap kritis tidak lagi diarahkan pada hal-hal yang konstruktif dan konseptual, tapi sudah ke arah penilaian subyektif terlalu kritis sebuah pribadi. Cara jalan, cara ngomong, cara berdiri, cara bersalaman dan hal-hal kecil lain sudah menuai kritik berkepanjangan. Sikap terlalu kritis ini sudah mengarah pada penyakit jiwa semacam paranoid, scizoprenic dan psikopat. Sikap overly critical Lahir dari semacam pribadi yang tidak stabil emosinya. Lahir dari sikap emosional terlalu membela kebenaran masing-masing partai yang didukungnya.

Gejala mendukung partai secara emosional tidak saja dilakukan oleh masyarakat umum biasa lewat media sosial, tapi juga dilakukan oleh para cerdik cendekiawan dari berbagai latar belakang akademik. Argumentasi-argumentasi lewat kaidah-kaidah ilmiah dihiraukan. Penyederhanaan logika demi pembenaran subyektif dilakukan tanpa malu secara akademik hanya untuk mendukung partai idolanya.

Mengalah untuk Menang

Untuk menghindari makin meruncingnya pertikaian antar pendukung kontestan pilpres, sebaiknya ada yang mengalah. Mengalah bukan berarti pecundang. Mengalah sementara untuk bisa menang nantinya. Mundur selangkah agar bisa berancang-ancang untuk bisa melompat lebih jauh.

Masyarakat sudah tak perlu lagi diberi kampanye. Sebagian besar sudah tahu masing-masing plus dan minusnya para konstestan. Bila dipertimbangkan betapa jenuhnya air wacana politik saat ini, maka kampanye seperti menangkap ikan di air berjelaga. Bukan ikan yang didapat tapi malah belepotan. Tidak ada yang bisa didapat sesuatu yang positif dalam keadaan yang sudah meruncing seperti saat ini. Malah akan memperkeruh keadaan.

Dulu waktu kecil, nenek sering bilang kalau ada kakak adik bertengkar yang tak tentu arah. Malah cenderung akan adu fisik.

"Kamu itu yang besar harus ngalah. Ini yang kecil sama saja. Nggak menghormati yang lebih tua. Ngasah saja," begitu kata nenek.

Setelah besar, bila ada orang bertengkar tak berkesudahan dan mengarah pada debat kusir yang ujung-ujungnya pasti berantem, biasanya orang akan bilang, "Sing waras ngalah." Orang Jawa punya filsafat, "Wong ngalah duwur wekasane."

Mengalah memang sudah waktunya untuk suhu politik yang saat ini sudah pada titik asal-asalan, debat kusir dan ujungnya pingin adu jotos. Jika ada yang mengalah, keadaan mungkin akan membaik. Pertikaian, hujatan, sindiran, hinaan mungkin akan mereda perlahan-lahan. Karena tidak melihat serangan balik, orang akan bosan sendiri. Seperti bertengkar tanpa musuh. Umpatan menjadi kesia-siaan.

Dulu semasa SMA terkenal ucapan, "Ngalah, ngalih, ngaplok". Jika sudah mengalah masih diumpat-umpat, lebih baik pergi. Jika sudah pergi masih diumpat-umpat, wajib kembali dan ajak adu jotos.

Apa yang perlu dipikirkan oleh masing-masing kontestan politik adalah misi dan visinya. Apalagi jika koalisi partai terdiri atas berbagai partai yang dulunya berseberangan. Perlu konsolidasi lebih baik agar misi dan visi bisa efektif diperjuangkan nantinya. Ini justru yang lebih penting daripada perebutan kursi presiden. Seorang presiden tak akan berkutik jika suara oposisi lebih kuat dan solid. Koalisi ramping lawan gemuk. Yang ramping belum tentu kalah jika yang gemuk tak solid dan tak terorganisasi dengan baik. Apalagi jika gampang terpecah-pecah karena banyaknya partai di dalamnya.

Tentu saja lebih diperlukan usaha lebih keras bagi koalisi yang ramping. Harus solid dan seia sekata jika melawan yang gemuk. Karena dalam hal perolehan suara saja sudah kalah jumlahnya. Belum lagi koalisi ramping itu sifatnya tak bersyarat. Tidak ada pembagian kursi tapi melulu berdasar pada kesamaan dalam aspirasi. Nah, aspirasi ini perlu dikerucutkan agar punya daya juang yang cukup.

Kampanye tak diperlukan lagi. Hasil yang didapat tak akan maksimal. Malah membuat bingung masyarakat. Biarkan masyarakat menentukan dengan tenang. Biarkan saja arus informasi berjalan searah dan didominasi oleh kontestan yang berambisi jadi presiden. Rakyat sudah bisa menilai. Pengalaman rakyat dalam menghadapi terpaan isu kampanye sudah teruji. Apalagi kampanye hitam. Mungkin rakyat sudah lelah mendengarnya. Kampanye hitam telah membuat mereka tidak tenang dan nyaman. Kuatir rakitan kekerabatan sosial mereka berantakan. Tetangga pun bisa jadi seteru karena beda dukungan konstestan.

Pengalaman rakyat tersebut sudah terbukti saat pileg. Kemenangan partai relatif merata. Tak ada partai yang benar-benar dominan. Barangkali ini bukti bahwa rakyat sudah bisa menentukan hak pilihnya relatif cukup baik. Tidak terkotak-kotak pada partai tradisional.

Konsolidasi Akar Rumput

Apa yang perlu dilakukan oleh para kontestan politik adalah lobby-lobby politik di ruang tertutup. Biarlah pemimpin yang diloby itu mengarahkan massanya. Karena merekalah yang paling paham dengan karakter massanya. Merekalah yang bisa mencapai akar rumput. Merekalah yang bisa menkonsilidasi akar rumput agar lebih bersinergi antar akar rumput lain untuk menyatukan langkah.

Untuk saat ini - dalam suasana bersliwerannya kampanye hitam, apa yang dinantikan rakyat adalah debat antar dua capres. Bagaimana mereka menyampaikan visi dan misinya. Di sinilah diskusi lebih tertata dan bernalar. Di sinilah rakyat bisa menilai dengan akal sehat memakai logika dan rasio. Materi diskusi lebih menukik pada realitas. Bukan lagi SARA atau nasionalisme sempit. Jika isu SARA dan nasionalisme sempit dipaksakan, bisa dipastikan yang memaksa bakal masuk kotak.

Karena siapapun yang menyuarakan kebenaran bakal menang pada akhirnya. Kemenangan berdasar kebohongan tidak akan tahan lama. Bisa berumur pendek karena menghadapi impeachment atau masalah-masalah ketidak-harmonian lainnya. Kebohongan tak bisa ditutupi terlalu lama. Sebab kebenaran pasti akan muncul dengan sendirinya. Becik ketitik, ala ketara. Begitulah jalannya hukum alam.

Konsolidasi kedalam jauh lebih penting daripada pemenangan kursi presiden. Di sisi lain, konsolidasi ke dalam jauh lebih efektif dalam mensiasati simpang siurnya suara massa yang mengambang. Dan lagi, konsolidasi yang solid jauh lebih punya kemungkinan untuk memenangkan kursi presiden dan tindak lanjut berikutnya setelah kursi kepresidenan ada di tangan. Sebuah peraihan kemenangan yang lebih sustainable dalam jangka panjang.*** (HBS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun