[caption id="attachment_330960" align="alignnone" width="635" caption="Persaingan pilpres. Senang mempertentangkan. (sumber foto: http://i0.wp.com/www.pekanbaru.co/wp-content/uploads/2014/06/Hasil-Debat-Capres-9-Juni-2014.jpg?resize=635%2C350)"][/caption]
Benarkah ciri khas masyarakat Indonesia itu adalah selalu bersikap asal berlawanan dan anti kemapanan? Benarkah kita tidak punya rasa saling percaya dan inginnya menang sendiri? Tak ada etos gotong royong dan kerjasama?
Selama ini Indonesia tak pernah menemukan bentuk kehidupan sistem sosial dan politik yang mengarah pada terjaminnya tertib hukum dan kemapanan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara? Jika terjadi tertib hukum dan kemapanan kehidupan sosial, maka umurnya tidak bisa panjang. Lebih parah lagi, semangat tertib hukum dan kehidupan keharnomisan sosial itu tidak berusaha dibina atau diteruskan untuk generasi berikutnya.
Pepatah terkenal yang sering kita dengungkan yakni "Yang baik diteruskan dan yang jelek dibuang", ternyata tidak berlaku di kenyataan. Kita senang merusak hal-hal yang sudah berlangsung baik dan menggantinya dengan yang benar-benar baru dan memulai kembali semuanya dari nol. Keruntutan, kesinambungan, kestabilan, kerukunan, kemapanan, ketertiban, kepastian dan lain-lain yang mengacu pada kerjasama untuk mencapai keadaan lebih baik bersama adalah musuh terbesar bangsa kita?
Setiap ganti pimpinan ganti kebijaksanaan, ganti aturan, ganti metoda dan tatacaranya. Sikap pimpinan yang ingin merombak banyak hal itu terjadi di hampir seluruh jenjang pemerintahan. Lurah, Camat, Bupati hingga presiden. Ganti menteri ganti kebijaksanaan. Setiap ganti menteri pendidikan hampir bisa dipastikan bakal disusul ganti kurikulum. Ganti presiden, ganti pula keadaan dan kehidupan di negara kita. Seolah setiap pemimpin ingin menunjukkan jati dirinya. Ingin meninggalkan jejaknya sebagai seorang penguasa. Dan ini dilakukan dengan membuat kontras dari penguasa sebelumnya. Semakin beda semakin mencolok. Sebagai jaminan bahwa penguasa tersebut bakal dikenang dan meninggalkan jejaknya dengan kuat di masyarakat.
Dalam masa krisis dan perombakan sosial, mungkin saja pemimpin sebelum dan sesudahnya bisa kontras berbeda. Namun jika keadaan tidak dianggap krisis atau jika kehidupan bermasyarakat berlangsung relatif baik kenapa mesti diadakan perombakan secara total? Memulai semuanya dari nol?
Perbedaan gaya dan karakter syah saja dalam sebuah kepemimpinan asal dalam lingkup kewenangan dan tanggung jawabnya sebagai individu yang ditunjuk untuk mewakili rakyat. Kepentingan rakyat didahulukan melebihi ambisi pribadi untuk mempertahankan kepentingan dan kekuasaan. Jika tujuan utama memperoleh kekuasaan selalu diiringi dengan misi dan visi demi kepentingan rakyat, maka sebenarnya kemapanan, ketertiban, kenyamanan, etos kerjasama relatif bisa diteruskan secara berkesinambung demi kepentingan generasi penerus.
Namun dalam sejarah kita, setiap pergantian pemimpin lebih sering diiringi pergolakan. Pemimpin baru berusaha menanamkan bahkan merombak tatanan yang sudah ada. Tidak jarang bahkan masyarakat digiring untuk memusuhi atau merendahkan pemimpin sebelumnya. Tidak ingin mewarisi apa saja yang ditinggalkan oleh pemimpin lama. Semua harus dimulai dari nol.
Karena setiap pemimpin cenderung untuk memulai semuanya dari nol, secara tidak langsung mendidik masyarakat untuk tidak gampang percaya dengan pemerintah yang sedang berkuasa. Karena mereka merasa bahwa pemimpin berikutnya bakal menafikkan apa yang ada. Bahkan bisa amat berbeda. Karena alasan inikah kenapa rakyat tidak peduli terhadap pemerintah yang berkuasa? Rakyat tidak ingin terjebak pada ketidak-tentuan. Sekarang boleh, tapi jangan-jangan pada pemerintah berikutnya menjadi terlarang?
Bahkan masyarakat menyaksikan sendiri pergolakan anti kemapanan itu selalu terjadi di setiap pemerintahan. Dari jaman orla, orba, reformasi dan hingga saat ini. Dan dalam setiap pergantian pemerintahan tersebut tidak terdapat kesinambungan mendasar antar penerusnya.
Jika pilpres kali ini dimenangkan oleh pasangan Prabowo, membuka kemungkinan bahwa era reformasi juga akan mengalami perubahan mendasar. Semua dimulai lagi dari nol. Entah bagaimana itu bentuknya nanti. Namun jika dilihat dari latar belakang Prabowo dan kedekatannya dengan orba dan latar belakang militernya, mungkinkah pemerintahan Prabowo akan kembali ke masa Orba? Dan dengan demikian sejarah akan terulang kembali. Reformasi dipertentangkan dengan Orba. Atau Orba dalam bentuknya yang lain?
Jika pilpres dimenangkan oleh Jokowi, reformasi untuk diteruskan ke dalam kehidupan demokrasi yang lebih stabil lebih mungkin. Jokowi membawa kebaruan dalam birokrasi dan politik. Jokowi sebagai wakil dari kalangan sipil menghargai potensi perseorangan dan bukan karena kedekatan, kesamaan kepercayaan, hierarki atau nepotisme. Koalisi partai yang dibentuk juga tidak berdasar pada transaksi. Lelang jabatan, dialog dengan masyarakat untuk mencari penyelesaian masalah, kedekatannya dengan rakyat adalah track record nyata yang mengarah pada kehidupan demokrasi lebih baik di masa depan.
Hasil pilpres setelah era reformasi yang telah berjalan hampir 1.5 dekade ini punya dua kemungkinan. Kita tambah matang dalam berdemokrasi atau makin runyam kehidupan demokrasi kita. Kecenderungan untuk selalu berlawanan dan anti kemapanan kita rasakan dalam kampanye hitam yang dilakukan oleh kontestan terhadap satu sama lain. Kita punya kecenderungan untuk merusak demokrasi yang selama ini berusaha kita bangun dan diperjuangkan oleh para reforman. Kita berkencerungan untuk kembali lagi ke titik nol. Jika salah satu kontestan terpilih menjadi presiden, adakah jaminan bahwa kampanye hitam yang merusak demokrasi itu akan berhenti? Saling hujat, fitnah, hina dan sebagainya yang mengatas-namakan demokrasi itu bisakah kita sudahi nantinya?
Siapapun yang menjadi pemenang dan jadi presiden nantinya, perlu menyadari keadaan yang ada di masyarakat Indonesia ini, bahwa kita cenderung untuk bersikap anti kemapanan dan tidak menghargai ketersinambungan antar pergantian era kepemimpinan. Rekonsiliasi nasional amat dibutuhkan untuk meluruskan sejarah agar didapat kesepakatan bersama. Sejarah kita selalu terpenggal-penggal dan meninggalkan dendam satu sama lain tanpa kejelasan duduk perkaranya.
Rekonsiliasi nasional itu perlu untuk menarik garis merah kesinambungannya. Tidak saja meluruskan sejarah sejak perang kemerdekaan, bahkan kita perlu rekonsiliasi setiap saat kita melakukan pergantian era kepemimpinan. Mentalitas kita yang cenderung selalu mengobrak-abrik kemapanan dan buta melihat kebaikan di tiap kepemimpinan perlu direkonsiliasikan juga.
Kemenangan pilpres adalah kemenangan milik kita bersama. Siapapun pemimpinnya pantaslah kita dukung dengan jalan damai dan rembugan bersama. Kita satukan langkah untuk merintis tujuan yang lebih besar di masa depan yakni rekonsiliasi nasional agar kita makin cinta kesinambungan, kemapanan, ketertiban dan terwujudnya alam demokrasi yang mendamaikan rakyat. Jangan sampai dengan terpilihnya presiden baru nanti malah menambahi sejarah bangsa kita yang sudah terpenggal-penggal itu lagi.*** (HBS)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI