Presiden SBY mengakui kekalahan Partai Demokrat dalam Pileg 2014 kemarin berdasar quick count yang dilakukan oleh SMRC (Saiful Mujani Research & Consulting). Pada saat data yang masuk ke SMRC sudah 93% lebih, SBY secara terbuka menyatakan kekalahannya dan mengucapkan selamat pada partai yang mencapai prosentase jumlah suara di atas Partai Demokrat yakni PDIP, Golkar dan Gerindra.
"Berkaitan dengan hasil hitung cepat dengan keyakinan dan asumsi bahwa angka ini tidak berbeda jauh dengan perhitungan resmi nanti. Kami menerima sepenuhnya suara yang partai demokrat yang dapatkan dalam pileg 2014 ini," demikian kata SBY dalam jumpa pers (Sumber).
Tapi nampaknya untuk kasus pilpres 2014, SBY tidak punya sikap sama tentang quick count yang dilakukan oleh lembaga yang sama - SMRC. Tidak diketahui alasan kenapa kali ini SBY tidak mempercayai lembaga kredibel yang sebelumnya amat dipercayainya itu.
Dalam konferensi pers, SBY bilang bahwa menurut hasil quick count kedua capres menyatakan kemenangan berdasar hasil quick count lembaga rujukan masing-masing (Sumber). SBY tidak menyinggung apakah lembaga penyelenggara quick count tersebut kredibel atau tidak. SBY hanya menyarankan agar masing-masing pihak untuk menjaga suasana damai dan tidak memprovokasi masing-masing pendukung untuk menghindari konflik horizontal. Sebaiknya semua menahan diri dan menunggu pengumuman resmi dari KPU tanggal 22 Juli 2014 nanti.
Dalam teleconference yang dilakukan SBY dengan KPU (Sumber), dikatakan bahwa KPU sebaiknya mempertahankan sikap netral demi kehidupan demokrasi Indonesia yang baik. SBY juga menyarankan agar KPU membina komunikasi dengan kedua capres untuk selalu mengupdate informasi.
Agar KPU mengajak mengundang, melibatkan kedua pasangan capres dan cawapres dan timnya untuk ikut mengawasi penghitungan yang dilakukan oleh KPU sejak awal. Itu sangat penting daripada seolah-olah diserahkan sepenuhnya pada KPU. Begitu diumumkan tanggal 22 Juli nanti ada yang tidak mau menerima mengatakan KPU tidak obyektif, rekayasa, pesanan dan sebagainya maka situasi politik kita akan mendidik. Kalau mendidih kostnya atau harganya tinggi sekali. Sebaiknya KPU proaktif mengajak mereka untuk diawasi bahwa KPU netral, profesional, bekerja di atas kebenaran dan tidak main-main. Demikian kata SBY pada Ketua KPU, Husni Malik pada saat melakukan telekonferensi.
Menurut hasil Quick Count SMRC menunjukkan pasangan Joko Widodo - Jusuf Kalla unggul dengan memperoleh suara sebesar 52.98% di atas pasangan Prabowo - Hatta Rajasa yang memperoleh suara 47.02%. Secara statistik, selisih suara kedua pasangan sangat signifikan, yakni sekitar 5.96%. Berdasarkan selisih ini, SMRC menyimpulkan bahwa pasangan Joko Widodo - Jusuf Kalla akan memenangkan pemilihan presiden dan wakil presiden 2014 (Sumber)
Sebagaimana kita ketahui ada 8 lembaga riset yang menyatakan keunggulan Jokowi - JK dalam quick count mereka dan ada 4 lembaga yang menyatakan Prabowo - Hatta lebih unggul. Banyak kalangan kemudian mempertanyakan kredibilitas lembaga riset tersebut. Lembaga yang menyatakan quick countnya mengunggulkan Prabowo - Hatta paling sering disorot. Karena ketiga lembaga riset yang mendukung Prabowo yakni Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survei Nasional (LSN), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI) mangkir hadir ketika diundang oleh Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) untuk buka-bukaan tentang data yang dihimpunnya (Sumber).
Kehadiran lembaga riset untuk menerbitkan angka quick count selama ini tidak pernah menjadi sorotan masyarakat. Tidak terdapat kontroversi antara quick count dan real count. Selama ini memang tidak terdapat perbedaan signifikan temuan angka antara quick count dan real count. Angka perbedaan selisihnya amat kecil dan kurang dari 1%.
Adalah sesuatu yang aneh bila kini banyak kalangan mempersoalkan lembaga-lembaga riset yang selama ini tergolong kredibel dan dijadikan acuan oleh banyak kalangan karena adanya lembaga riset yang mengungkap data yang berbeda. Bagaimana mungkin perolehan angka tersebut bisa beda jika metodologi yang dipergunakan secara statistik bisa dipertanggung-jawabkan? Tujuan utama quick count sebenarnya adalah sebagai pengontrol hasil hitungan suara pemilu dari penyelewengan dan bukan sebaliknya yakni menyelewengkan hasil hitungan suara pemilu.
Kini tiba-tiba semua lembaga riset itu menjadi terdakwa dengan tuduhan penyelewengan dan manipulasi data. Kredibilitas semua lembaga riset itu kini seolah menjadi isapan jempol. Terjadi krisis kepercayaan intelektual tidak saja kepada lembaga riset tapi juga pada dunia akademik yang dianggap memegang teguh dunia obyektifitas keilmuan.
Dalam keadaan seperti itu, maka quick count bukan lagi menjadi acuan bersama yang bisa diandalkan untuk memprediksi secara statistik kemenangan pilpres. Tidak ada kemungkinan lain selain menunggu keputusan KPU tanggal 22 Juli nanti. Dalam masa menunggu keputusan KPU, masyarakat resah dengan maraknya isu-isu negatif yang bersliweran. Indonesia seolah mengalami masa vakum. Sebuah keadaan yang membuat jengah banyak orang. Keadaan serba tidak pasti ini memungkinkan untuk terciptanya kantong-kantong ketidak-puasan karena perasaan was-was. Keadaan pro dan kontra secara potensial bisa meruncing dan memicu kerusuhan karena rasa saling curiga. Puncaknya terjadi pada saat KPU mengumumkan hitungan resminya nanti.
Rasa was-was tidak akan berhenti begitu KPU mengumumkan hasil hitungan resminya. Jika lembaga riset yang selama ini kredibilitasnya dipercaya namun kini tidak lagi menjadi acuan, bagaimana mungkin KPU bisa dipercaya? Apakah KPU selama ini hitungan resminya bebas dari pengaruh politik dan uang? Apakah hasil hitungan resmi itu benar-benar mengungkapkan hasil-hasil angka real dari TPS? Barangkali inilah pertanyaan berikutnya yang ada di benak masing-masing kontestan pilpres dan pendukungnya.
Kini KPU secara teoritis tidak ada lagi yang mengontrol hasil hitungannya. Tidak ada angka pembandingnya untuk sekedar referensi. KPU menjadi agen tunggal yang punya kekuatan mutlak untuk memutuskan siapa yang bakal jadi presiden. Masa kampanye yang melibatkan uang milyaran rupiah, cucuran keringat para pendukungnya dan pergolakan emosional karena kampanye hitam, kini nasibnya ditentukan oleh satu lembaga saja, yakni KPU. Tidak cuma itu, masa depan bangsa ditentukan hanya oleh peranan KPU. Nampaknya apapun keputusan KPU, amat rentan memicu ketidak-puasan.
Transparansi KPU
Saran presiden SBY pada KPU agar membina komunikasi secara terupdate pada kedua kontestan pilpres amat tepat. Sebab dengan demikian setiap ketidak-jelasan bisa segera diklarifikasikan. Manfaat dari update hasil hitungan resmi KPU tidak saja membuat kedua kontestan terlibat dalam proses penghitungan, tapi juga amat bermanfaat untuk menjaga ketenangan dari para pendukungnya. Sebab dari update angka dari KPU tersebut bisa disiapkan strategi langkah untuk menentukan kebijaksanaan politik berikutnya. Kalah atau memang dalam pilpres adalah masalah wajar dalam proses demokrasi.
Namun alangkah baiknya jika update dari KPU tersebut tidak saja disediakan pada kedua kontestan secara eksklusive, sebagaimana disarankan oleh SBY, tapi juga secara terbuka diumumkan pada masyarakat secara luas dan transparan. Hitungan resmi dari hari ke hari hingga mencapai 100% pengumpulan suara amat penting untuk meredam kegelisahan.
Yang patut disesalkan adalah keengganan SBY untuk menyatakan mana-mana lembaga survey yang kredibel dan mana yang tidak. SBY lebih memilih untuk tidak terlibat dan seolah membenarkan semua lembaga survey yang ada.
Demikian juga lambatnya tanggapan KPU terhadap penerbitan hasil quick count dari lembaga survey yang ada patut disesalkan. Seharusnya begitu dilansir ke media dan terdapat perbedaan, KPU segera menetralisir keadaan. Memanggil semua lembaga survey tersebut untuk diteliti validitas datanya. Larangan yang kemudian diberlakukan KPU bagi lembaga survey untuk tidak menerbitkan quick count sudah tak banyak gunanya.
Mudah-mudahan KPU belajar dengan kemungkinan seperti ini di masa depan. KPU harus mempunyai semacam mekanisme klarifikasi sebelum quick count diterbitkan oleh masing-masing lembaga survey. Atau paling amannya adalah menyarankan masing-masing lembaga survey tersebut untuk tidak melansir hasil quick countnya ke masyarakat sebelum menyerahkan data-datanya ke KPU untuk diteliti. Setelah validitas data diteliti oleh KPU barulah KPU mengijinkan hasil itu dilansir ke media. Atau KPU bisa menyarankan agar para lembaga survey tersebut untuk saling audit sebelum hasilnya diumumkan ke masyarakat. Tidak kebalik. Setelah diumumkan ke masyarakat luas baru diadakan uji publik validitas datanya sebagaimana dilakukan oleh Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) tersebut di atas.
KPU bisa juga bertindak sebagai agen resmi yang menyiarkan hasil quick count lembaga-lembaga survey. Hasil quick count dari lembaga survey tersebut diterbitkan di situs KPU. Jadi masyarakat bisa diarahkan untuk merujuk pada hasil quick count resmi yang direkomendasikan KPU tersebut. Hasil quick count yang tidak diverifikasi atau tidak direkomendasikan oleh KPU berarti tidak bisa dipertanggung-jawabkan metodologi dan validitas datanya. Lembaga survey yang telah menyerahkan hasil surveynya dan telah diverifikasi oleh KPU, barulah kemudian bisa mengumumkan hasilnya hitungannya ke masyarakat luas dengan lebih detail untuk pembelajaran atau acuan lebih jauh. *** (HBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H