Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sudah Saatnya KPU Dikelola Oleh Para Profesional, Bukan Oleh Kaum Birokrat

16 Juli 2014   14:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:11 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam keadaan seperti itu, maka quick count bukan lagi menjadi acuan bersama yang bisa diandalkan untuk memprediksi secara statistik kemenangan pilpres. Tidak ada kemungkinan lain selain menunggu keputusan KPU tanggal 22 Juli nanti. Dalam masa menunggu keputusan KPU, masyarakat resah dengan maraknya isu-isu negatif yang bersliweran. Indonesia seolah mengalami masa vakum. Sebuah keadaan yang membuat jengah banyak orang. Keadaan serba tidak pasti ini memungkinkan untuk terciptanya kantong-kantong ketidak-puasan karena perasaan was-was. Keadaan pro dan kontra secara potensial bisa meruncing dan memicu kerusuhan karena rasa saling curiga. Puncaknya terjadi pada saat KPU mengumumkan hitungan resminya nanti.

Rasa was-was tidak akan berhenti begitu KPU mengumumkan hasil hitungan resminya. Jika lembaga riset yang selama ini kredibilitasnya dipercaya namun kini tidak lagi menjadi acuan, bagaimana mungkin KPU bisa dipercaya? Apakah KPU selama ini hitungan resminya bebas dari pengaruh politik dan uang? Apakah hasil hitungan resmi itu benar-benar mengungkapkan hasil-hasil angka real dari TPS? Barangkali inilah pertanyaan berikutnya yang ada di benak masing-masing kontestan pilpres dan pendukungnya.

Kini KPU secara teoritis tidak ada lagi yang mengontrol hasil hitungannya. Tidak ada angka pembandingnya untuk sekedar referensi. KPU menjadi agen tunggal yang punya kekuatan mutlak untuk memutuskan siapa yang bakal jadi presiden. Masa kampanye yang melibatkan uang milyaran rupiah, cucuran keringat para pendukungnya dan pergolakan emosional karena kampanye hitam, kini nasibnya ditentukan oleh satu lembaga saja, yakni KPU. Tidak cuma itu, masa depan bangsa ditentukan hanya oleh peranan KPU. Nampaknya apapun keputusan KPU, amat rentan memicu ketidak-puasan.

Transparansi KPU

Saran presiden SBY pada KPU agar membina komunikasi secara terupdate pada kedua kontestan pilpres amat tepat. Sebab dengan demikian setiap ketidak-jelasan bisa segera diklarifikasikan. Manfaat dari update hasil hitungan resmi KPU tidak saja membuat kedua kontestan terlibat dalam proses penghitungan, tapi juga amat bermanfaat untuk menjaga ketenangan dari para pendukungnya. Sebab dari update angka dari KPU tersebut bisa disiapkan strategi langkah untuk menentukan kebijaksanaan politik berikutnya. Kalah atau memang dalam pilpres adalah masalah wajar dalam proses demokrasi.

Namun alangkah baiknya jika update dari KPU tersebut tidak saja disediakan pada kedua kontestan secara eksklusive, sebagaimana disarankan oleh SBY, tapi juga secara terbuka diumumkan pada masyarakat secara luas dan transparan. Hitungan resmi dari hari ke hari hingga mencapai 100% pengumpulan suara amat penting untuk meredam kegelisahan.

Yang patut disesalkan adalah keengganan SBY untuk menyatakan mana-mana lembaga survey yang kredibel dan mana yang tidak. SBY lebih memilih untuk tidak terlibat dan seolah membenarkan semua lembaga survey yang ada.

Demikian juga lambatnya tanggapan KPU terhadap penerbitan hasil quick count dari lembaga survey yang ada patut disesalkan. Seharusnya begitu dilansir ke media dan terdapat perbedaan, KPU segera menetralisir keadaan. Memanggil semua lembaga survey tersebut untuk diteliti validitas datanya. Larangan yang kemudian diberlakukan KPU bagi lembaga survey untuk tidak menerbitkan quick count sudah tak banyak gunanya.

Mudah-mudahan KPU belajar dengan kemungkinan seperti ini di masa depan. KPU harus mempunyai semacam mekanisme klarifikasi sebelum quick count diterbitkan oleh masing-masing lembaga survey. Atau paling amannya adalah menyarankan masing-masing lembaga survey tersebut untuk tidak melansir hasil quick countnya ke masyarakat sebelum menyerahkan data-datanya ke KPU untuk diteliti. Setelah validitas data diteliti oleh KPU barulah KPU mengijinkan hasil itu dilansir ke media. Atau KPU bisa menyarankan agar para lembaga survey tersebut untuk saling audit sebelum hasilnya diumumkan ke masyarakat. Tidak kebalik. Setelah diumumkan ke masyarakat luas baru diadakan uji publik validitas datanya sebagaimana dilakukan oleh Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) tersebut di atas.

KPU bisa juga bertindak sebagai agen resmi yang menyiarkan hasil quick count lembaga-lembaga survey. Hasil quick count dari lembaga survey tersebut diterbitkan di situs KPU. Jadi masyarakat bisa diarahkan untuk merujuk pada hasil quick count resmi yang direkomendasikan KPU tersebut. Hasil quick count yang tidak diverifikasi atau tidak direkomendasikan oleh KPU berarti tidak bisa dipertanggung-jawabkan metodologi dan validitas datanya. Lembaga survey yang telah menyerahkan hasil surveynya dan telah diverifikasi oleh KPU, barulah kemudian bisa mengumumkan hasilnya hitungannya ke masyarakat luas dengan lebih detail untuk pembelajaran atau acuan lebih jauh. *** (HBS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun