[caption id="attachment_337168" align="alignnone" width="610" caption="Indonesia saat ini. (Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=uGcDed4xVD4)"][/caption]
Indonesia tidak penting? Sekitar 100 juta tahun lagi, Indonesia akan hilang. Menyatu dengan benua lain (Lihat Youtube). Tidak saja Indonesia, tapi seluruh daratan di bumi akan bergeser secara pelan-pelan. Proses yang sudah berlangsung jutaan tahun ini tak pernah kita sadari. Dan proses itu tetap berlangsung hingga detik ini. Dulu Australia dan Irian pernah menjadi satu tapi karena perubahan permukaan bumi, keduanya terpisah lautan. Benarkah analisa para ahli ini?
Sayang sekali bahwa kita semua yang hidup pada tahun ini tak akan bisa menyaksikan hilangnya Indonesia itu. Seratus juta tahun bukanlah bilangan kecil bagi umur manusia. Dalam masa seratus tahun saja bahkan kita tak akan tahu siapa nenek dan kakek buyut kita sendiri. Apalagi hingga jutaan tahun!
Umur manusia hanya seujung kuku dibanding umur alam semesta. Betapapun besar keinginan kita untuk menyaksikan Indonesia di masa 100 juta tahun lagi itu tak akan pernah kesampaian. Sebagai manusia wajarlah kita ingin menyaksikan perjalanan ke masa depan. Juga wajar jika manusia tidak menyadari bahwa umurnya demikian pendek dan mudah lupa. Masa depan datang dicicil sedikit demi sedikit. Dari jam ke jam dan hari ke hari tanpa kita rasa. Umur kitapun dikurangi sedikit demi sedikit. Dan tanpa sadar dari hari ke hari kita makin dekat dengan ketiadaan. Umur biologis manusia tak lama. Dari hari ke hari makin menua dan akhirnya rusak dan tak bisa dipakai lagi. Tak berguna dan akhirnya terburai jadi debu atau entah kemana.
Hidup manusia hanya sepanjang penggalah. Umur bumi sepanjang jalan. Mungkin itu peribahasanya. Peribahasa yang lahir dari dunia manusia yang umurnya amat pendek dan rapuh. Selain peribahasa kita lahirkan juga macam-macam fenomena simbol kepongahan kita. Simbol ketidak-sediaan kita untuk menerima kenyataan bahwa umur kita memang amat pendek dibanding alam semesta.
Jika seorang manusia diberi kekuasaan dan uang, ia akan lebih lagi menampakkan kegilaannya dalam menolak keterbatasan umurnya yang pendek. Membeli bukit dan menamai dengan namanya. Membangun piramida dan mengukir kekuasaannya. Bikin patung potret dirinya. Bikin makam megah di atas tanah berhekta-hektar luasnya. Seolah ingin menggelembungkan sosoknya yang kecil lewat bangunan atau benda-benda berukuran masif. Manusia ingin menjadi besar melewati fisik dan alam pikirnya. Seolah ingin menandingi kebesaran alam semesta. Membetoni dirinya agar tak lapuk termakan umur alam. Seolah ingin berada dalam keabadian.
[caption id="attachment_337169" align="aligncenter" width="611" caption="Indonesia 1,8 juta tahun lalu. (Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=uGcDed4xVD4)"]
Beberapa tahun lalu, ahli di Cina menemukan mumi yang ditaksir berumur dua ribuan tahun (Baca di sini). Mumi berjenis kelamin wanita berumur sekitar 50an tahun itu ditemukan masih dalam keadaan segar. Sebuah teknik pengawetan jenasah yang bikin tercengang para ahli dunia. Banyak ahli tak percaya bahwa mumi wanita itu sudah ribuan tahun umurnya. Jasadnya masih demikian segar. Seolah baru meninggal beberapa bulanan. Bahkan di dalam perutnya masih ditemukan biji semangka yang masih utuh. Santapan terakhir yang dinikmati sebelum ajal merenggutnya.
Banyak kebudayaan manusia di dunia yang percaya akan keabadian. Percaya bahwa mereka akan dibangkitkan dari kematian suatu saat. Di Amerika ada tempat penyimpanan jenasah yang bisa awet untuk ratusan tahun (Baca di sini). Untuk bisa dikubur di situ beayanya tak akan bisa terpikirkan oleh manusia berkelas ekonomi biasa. Mereka yang disimpan dalam keranda pengawet itu percaya bahwa ilmu pengetahuan suatu saat akan mencapai pada titik tertinggi. Pada titik itu, mereka yakin bahwa jasad segar akan bisa dihidupkan kembali.
Setelah ribuan tahun mumi itu tertimbun tanah, nyatanya ketika ditemukan oleh manusia modern mereka tak bisa berbuat banyak. Tak bisa menghidupkan kembali manusia termumi itu. Jasadnya hanya sekedar jadi benda mati obyek penelitian ilmu pengetahuan. Tak bisa protes ketika tubuhnya dicincang-cincang untuk dilihat isi perut dan DNAnya. Jasadnya tak lebih baik dari biji semangka yang dimakannya. Bahkan kalau beruntung, biji semangka itu malah bisa disemaikan dan tumbuh hidup kembali. Namun tidak dengan jasad manusia.
Kuingin hidup seribu tahun lagi, kata puisi Chairil Anwar. Semangat hidup manusia boleh menggebu, tapi fisik tetaplah benda biologis yang gampang rusak dan tidak bisa lama-lama menjadi rumah sebuah nyawa. Hanya nyawalah yang abadi. Tapi tidak seorang manusia pun yang tahu dimana pastinya nyawa itu berada setelah meninggalkan rumah biologisnya. Manusia hanya tahu dari keyakinannya. Keyakinan untuk mengalihkan ketakutannya akan kependekan umurnya. Nyawa manusia mengembara hingga akhir dunia alam semesta? Untuk jutaan tahun mendatang?