Mungkin terilhami oleh lembaga transisi bentukan Jokowi, pihak-pihak yang berseberangan dengan Jokowi menciptakan gerakan-gerakan yang konotasinya juga bersifat transisi. Transisi seolah dikonotasikan sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Karena bersifat sementara, maka acuan-acuan, aturan-aturan, legitimasi dan wahana yang mengaturnya seolah juga dilabeli "sementara". Seolah ada kebebasan bertindak dengan manghalalkan berbagai argumentasi dan cara. Masa transisi adalah masa krisis, masa peralihan, masa uji coba, masa terserah maunya apa.
Barangkali itulah gambaran suasana dan keadaan politik setelah keputusan MK tentang pilpres dan yang kemudian ditindak-lanjuti oleh Jokowi dengan pembentukan Kabinet Transisi. Suasana politik yang hiruk pikuk tanpa pengendapan dan seolah hanya berada di lapisan kulit luar budaya politik semestinya.
Tindakan atau keputusan politik yang dilakukan oleh Koalisi Merah Putih dalam menandai masa "transisi" itu menggelinding dengan lancar nampak tanpa hambatan berarti. Keputusan politik tersebut bahkan ditanggapi sebagai sebuah kemenangan oleh Koalisi Merah Putih. keputusan atau kebijakan politik tersebut adalah disahkannya Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD, lalu RUU Pilkada, penyusunan tata tertib anggota DPR dan terakhir pemilihan pimpinan DPR. Kemenangan politik berikutnya barangkali jika Prabowo terpilih sebagai Ketua MPR.
Mungkin hanya RUU Pilkada yang mendapat reaksi relatif cukup keras dari beberapa kalangan masyarakat. Pendapat pro dan kontra masih bergulir hingga saat ini meski sudah ditanda-tanganinya Perppu oleh SBY. Nasib RUU Pilkada itu masih belum jelas bagaimana akhirnya.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa usaha SBY dengan menerbitkan Perppu tidak banyak gunanya dan tidak akan merubah keadaan. Hanya kareana alasan pencitraan atau cuci tangan. Karena DPR jelas akan menolaknya. Alasan yang paling menonjol adalah tidak cukup bukti untuk mendukung diterbitkannya Perppu oleh presiden. Syarat utama diterbitkannya Perppu presiden jika terjadi kevakuman hukum, dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan demokrasi.
Secara sepintas mungkin benar alasan tersebut. Tapi jika diteliti lebih jauh, kelahiran RUU Pilkada yang diproses relatif cepat meragukan kemurniaan tujuan keberadaan RUU Pilkada tersebut. Beberapa kalangan mencurigai bahwa diciptakannya RUU Pilkada lebih banyak didasarkan pada unsur-unsur bersifat emosional. Tidak berdasar kemaslahatan bersama atau demi perbaikan iklim demokrasi secara luas di Indonesia. Bahkan dianggap mencabut hak-hak demokrasi masyarakat. RUU Pilkada tersebut diciptakan demi kepentingan dan keuntungan kelompok terbatas yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih.
Mungkin keadaan yang serba tanggung dan terkesan tergesa-gesa tersebut dikategorikan oleh SBY sebagai keadaan genting, darurat dan terjadi kevakuman hukum. RUU Pilkada yang menyangkut masalah penting bernegara tersebut tidak diproses dengan mekanisme waktu yang wajar dan masuk akal. Lewat diskusi dan perdebatan panjang yang melibatkan berbagai pihak terkait. Partai-partai sama yang dulunya menentang kini berubah arah 180 derajat dalam waktu yang relatif tiba-tiba. Maksud pembentukan RUU Pilkada pun dicurigai hanya berdasar pertimbangan dan tujuan jangka pendek dan sesaat.
Sikap Presiden SBY yang setengah-setengah dalam masalah RUU Pilkada menuai kecaman keras dari masyarakat. Sepertinya baru kali inilah SBY dikecam habis-habisan di dunia on line karena sikapnya yang tidak tegas dalam masalah yang sebenarnya dianggap mendasar dalam menopang kehidupan dan hak-hak demokrasi masyarakat. Partai Demokrat memilih meninggalkan sidang saat RUU Pilkada tersebut diputuskan.
Sebenarnya sikap Presiden SBY yang nampak selalu mendua ini bukanlah hal yang aneh. Ketika hasil pilpres 2014 diumumkan, SBY tidak serta merta memberikan ucapan selamat pada pemenang versi lembaga survey maupun versi KPU. Secara tidak langsung SBY mendukung proses hukum di MK. Meskipun oleh beberapa kalangan diramalkan bahwa usaha protes lewat hukum di MK tersebut bakal kandas. Namun toh proses diteruskan dan berakhir sebagaimana diduga oleh banyak orang. Hasil KPU dikokohkan oleh MK.
Kini setelah MK, RUU Pilkada juga dibiarkan menggelinding. SBY sebenarnya dengan relatif mudah bisa menggagalkan kelahiran RUU Pilkada tersebut. Tapi hal itu tidak dilakukan. SBY secara tersirat tidak ingin memanfaatkan posisinya sebagai presiden untuk dengan mudah menggagalkan sebuah proses kelahiran perundangan. SBY memilih jalan lain yang lebih rumit, panjang dan bisa dianalisa oleh masyarakat luas. SBY sepertinya ingin menguji keterlaksanaan hukum hingga ujung. SBY ingin memperlihatkan bagaimana seharusnya sebuah proses hukum harus dijalankan.
RUU Pilkada yang menuai protes luas tersebut bukan tidak disadari oleh SBY, tapi memang sepertinya diharapkan demikian. Semakin luas protes semakin baik. Kesadaran adanya RUU Pilkada tersebut dengan demikian makin tersebar merata di masyarakat. Kesadaran hukum memang perlu disosialisasikan pada masyarakat. Ketika informasi RUU Pilkada tersebut diperkirakan sudah merata di masyarakat, SBY menerbitkan Perppu. Salah satu usaha untuk menggagalkan RUU Pilkada yang oleh beberapa kalangan dianggap tipis kemungkinannya bisa terjadi. DPR lebih banyak dikuasi Koalisi Merah Putih sebagai aktor utama dalam kelahiran RUU Pilkada. Maka Perppu presiden bakal mental di DPR. Namun konstelasi politik bisa saja berubah nantinya.
Keadaan darurat juga nampak dalam pemilihan Ketua DPR. Proses pemilihan seolah berlangsung secara sepihak. Didominasi oleh Koalisi Merah Putih. Proses yang oleh beberapa kalangan dianggap tidak syah karena berbagai alasan. Salah satunya tidak terpenuhinya quota quorum. Ketua dan wakil-wakil DPR yang ditunjuk sarat dengan unsur kepentingan kelompok. Ketua DPR yang diragukan latar belakang karakternya, tidak dipedulikan oleh Koalisi Merah Putih. Demikian juga wakil-wakilnya. Kompetensi mereka diragukan.
Keadaan darurat barangkali juga bisa dilihat dari aktifitas DPR/MPR selama ini. Mulai dari pelantikan, rapat RUU Pilkada, Pemilihan Ketua DPR dan MPR selalu berlangsung ricuh dan jauh dari memberikan pendidikan politik yang bermutu pada masyarakat. Lembaga DPR/MPR menjadi tontonan konyol bagi banyak orang. Bagaimana mungkin rakyat mempercayakan nasib negara ini pada tangan mereka?
Akhir Masa Transisi
Banyak elite politik lupa bahwa masa transisi ini akan berakhir ketika Jokowi secara resmi disumpah menjadi Presiden dan secara berangsur-angsur menjalankan pemerintahan yang syah dan didukung oleh rakyat pemilihnya. Entah berapa persen pendukung Prabowo yang beralih menjadi pendukung Jokowi nantinya.
Tapi dalam masalah RUU Pilkada, sebagian besar rakyat nampaknya bertentangan dengan keinginan Koalisi Merah Putih. Sebuah pertanda bagi KMP bahwa manuver politik mereka bakal berhadapan dengan rakyat.
"Berdasarkan survei mayoritas pemilih presiden. Pemilih Prabowo-Hatta 69,92 persen menyatakan setuju perppu. Hanya 22,03 persen yang menyatakan tidak setuju. Kalau dari pemilih Jokowi-JK itu 80,71 persen setuju. Hanya16,76 saja yang tidak setuju," kata peneliti Lingkaran Survei Indonesai (LSI) pimpinan Denny JA, Fitri Hari. Mayoritas menyatakan mendukung Perppu yang menentang RUU Pilkada lewat DPRD (Sumber: http://www.jpnn.com/read/2014/10/02/261397/Mayoritas-Pemilih-Prabowo-Hatta-Dukung-Perppu-).
Apa yang diputuskan dalam masa transisi bisa saja dirombak secara pelan oleh Jokowi lewat langkah-langkah yang sistematis dan didukung oleh masyarakat luas. Hingar bingar kemenangan KMP dalam masa transisi tidak akan berguna banyak jika dihadapkan pada kemauan rakyat nantinya.
Jika Jokowi dan kabinetnya bekerja keras dan mengutamakan kepentingan rakyat, prestasi ini bakal dinilai oleh rakyat. Dan rakyat tidak akan tinggal diam jika program kerakyatan Jokowi dijegal oleh KMP. Untuk mengetahui efek program kerja Jokowi memang tidak bisa dinilai dengan cepat. Tapi kekuatan Jokowi akan berangsur menguat dan bisa mendapat dukungan lebih luas. Sebagai presiden tentu beda dengan sebagai gubernur. Wilayah kerja Jokowi jauh lebih luas dan lebih kuat karena didukung oleh kabinetnya dalam pemerintahan. Kekuatan Jokowi bagai gelombang ombak besar yang bisa menggulung siapa saja yang menghalangi lajunya. Bila sudah demikian lembaga DPR/MPR bisa bagai macan ompong. Tidak digubris oleh Jokowi jika rakyat berada di belakangnya. Pengalamannya sebagai walikota di Solo dan sebagai gubernur di DKI telah membuktikan hal ini.
Belum lagi jika masyarakat menilai bahwa para pemimpin DPR/MPR tidak memihak pada mereka dan lebih runyam jika kemudian terindikasi tersangkut kasus-kasus korupsi. Manuver politik lewat DPR/MPR bisa mengundang ketidak-puasan masyarakat secara luas.
Jika Jokowi berniat mendirikan pengadilan HAM maka akibatnya banyak pihak akan terseret ke pengadilan dan tercopot kepengurusannya dalam politik, termasuk tokoh-tokoh di KMP. Demikian juga jika Hari Santri Nasional bisa menggiring masyarakat untuk melawan politik yang dibawa oleh agama aliran garis keras. FPI saat ini juga mulai dilirik untuk dibubarkan. Kemungkinan menyusul terjadi pengebirian PKS.
Senjata pamungkas Jokowi adalah pembenahan birokrasi yang transparan dan bersih dari korupsi di pemerintahannya di seluruh Indonesia. Revolusi mental untuk memerangi korupsi memungkinkan Jokowi untuk sedikit demi sedikit menggoroti kekuatan KMP dan elit-elit politik yang sebelumnya memang terindikasi terlibat dalam korupsi. Pembenahan birokrasi pemerintahan yang jelas-jelas bakal didukung masyarakat secara luas. Hura-hura kemenangan dalam masa transisi jelas tidak punya umur panjang. Kemenangan hanya berdasar tujuan jangka pendek, berada di lapis luar dan tidak sustainable. Bakal terkikis lapis demi lapis. Peta politik ada di tangan Jokowi dan kabinetnya. Sudah saatnya Indonesia berbenah diri. Waktu yang kita punya tidak banyak lagi. Pemerintahan Jokowi perlu kerja ekstra keras.*** (HBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H