Motivasi utama dalam konstelasi politik di Indonesia pasca pilpres dan masa transisi kepresidenan saat ini adalah memperoleh atau memetakan kekuasaan sebesar-besarnya dan seluas-luasnya. Motivasi berikutnya adalah berusaha melanggengkannya. Motivasi lainnya adalah mengeruk kekayaan, melindungi kepentingan, berlindung dari kejaran hukum dan lain-lain. Motivasi selalu berkembang dan bergerak sesuai dengan kebutuhan dan keadaan. Oleh karena itulah, aturan-aturan dipersiapkan selagi berkuasa untuk menjaga kemungkinan tergoyangnya kekuasaannya. Untuk lebih terjaminnya urusan kepentingan.
Motivasi awal mula dan utamanya selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ini modal dasar pokok untuk meraih motivasi-motivasi berikutnya. Inilah lantai pijakan bagi perjuangan berikutnya. Maka tidak heran jika perebutan kekuasaan mendapat porsi terbesar dari masing-masing pendukung pergerakan. Masing-masing akan mencari celah dan kesempatan mana-mana yang menjanjikan memberi peluang kekuasaan paling besar. Kekuasaan jenis mana yang bisa dikejar bersama tanpa resiko dikucilkan jika kalah atau cuma jadi pendukung terpinggirkan.
Kekuasaan untuk melakukan perubahan adalah pilihan tidak menarik. Apalagi perubahan demi kebaikan rakyat. Perubahan membawa ketidak-pastian. Bukan jaminan bahwa kekuasaan yang diperoleh menyelamatkannya. Kekuasaan untuk menyelamatkan, meneruskan, tanpa perubahan mendasar adalah pilihan paling menggoda. Pola, cara kerja dan manfaatnya relatif sudah dikenal. Perolehan kekuasaan lebih pasti jaminan perlindungan keamanannya. Perolehan kekuasaan mayoritas yang bagaimana yang diperjuangkan adalah pertimbangan untuk menentukan pilihan.
Peraturan dibuat untuk dilanggar. Silahkan ratusan aturan dibuat. Bagaimanapun ketat dan rincinya aturan, pasti akan dilanggar karena peraturan dibuat tidak di ruang hampa. Peraturan dibuat untuk semua orang termasuk si pembuat aturan itu sendiri. Memang ada kecenderungan bahwa aturan dibuat demi keuntungan diri sendiri atau kelompoknya. Masalahnya, aturan lebih bersifat stabil, sementara kelompok bisa amat dinamis. Apalagi kelompok dalam politik. Jangan lupa bahwa membuat peraturan buat orang lain, berarti sekaligus membuat aturan buat diri sendiri. Tidak bisa menjamin bahwa anggota kelompok tak melanggar aturan. Jika sudah bicara kepentingan pribadi, semua orang cenderung untuk cari selamat sendiri.
Jika aturan main telah disepakati, tinggal menjaganya. Penjaga peraturan harus tegas dan obyektif. Artinya siapapun pelanggarnya harus ditindak termasuk pihak-pihak yang bikin aturan. Jika seorang pencuri membuat aturan agar bisa mempermudah untuk mencuri, maka hal serupa juga diterapkan padanya. Tidak mungkin ia berprofesi sebagai pencuri terus. Pada saat tertentu ia tinggal di rumah dan jadi orang biasa. Maka bisa saja yang menyatroni rumahnya adalah pencuri lain yang menggunakan aturan yang sama. Tidak bisa berkelit bahwa peraturan tidak berlaku di rumahnya karena ia si pembuat aturan. Aturan bagai pedang bermata dua.
Pembuat Aturan
Biarlah pihak lain membuat peraturan. Semakin banyak makin baik. Semakin detail makin baik pula. Masalah utamanya adalah bisakah aturan itu ditaatinya sendiri? Itulah prinsip dasar perlunya aturan. Jika seseorang pada hakekatnya cenderung melanggar aturan, maka aturan itu bagai jaring-jaring yang akan menjebaknya sendiri. Ia bagai memasang perangkap buat dirinya sendiri. Jika peraturan sudah lahir, maka tidak bisa bilang bahwa peraturan ini hanya untuk kamu dan tidak berlaku buat kami. Maka untuk itu, mekanisme pengawasan peraturan perlu dijaga, dibina dan senantiasa dipertajam hidung pengendusnya. Aturan tidak ada yang memiliki selain negara. Siapapun tidak bisa lolos dari jerat jika memang melanggar aturan. Aturan negara harus berdiri di atas semua orang, golongan dan kepentingan.
Konsistensi dalam menaati peraturan diharapkan dari semua orang. Tapi dalam realita, hanya orang yang punya integritaslah yang bisa melakukannya. Inilah yang bakal membedakan nantinya ketika sebuah aturan diterapkan. Hanya orang-orang yang punya integritas bakal selamat. Bagi orang berintegritas, ada aturan atau tidak, tingkah lakunya tak akan berbeda banyak. Mereka selalu berjalan di jalan yang tidak melanggar hukum. Atau bertindak sesuai hati nuraninya yang lurus.
Elite politik atau penguasa sering bersembunyi di balik aturan karena yakin bahwa aturan itu tak berlaku baginya. Merasa dirinya tak bakal tersentuh oleh aturan. Aturan itu hanya berlaku buat orang di luar sana. Di luar kelompoknya. Hanya berlaku buat khalayak ramai tidak berlaku buat khalayak khusus yang jumlahnya segelintir. Itulah kaum elit yang terbiasa berada di atas. Jika pemerintah menerapkan aturan dengan tegas, maka segelintir elit politik tersebut bakal ikut terciduk. Gelagapan mendapati kenyataan bahwa mereka bukan lagi golongan elit yang kebal hukum. Itulah tugas pemerintahan Jokowi bila ingin bertahan hidup disela gencarnya serangan oposisi yang seolah merasa makin bisa mencengkeramkan kukunya.
Jokowi perlu orang-orang yang berani membela tegaknya aturan. Kalau perlu berani menantang untuk berduel demi tegaknya aturan bersama secara transparan. Tidak hanya bisik-bisik di balik pintu. Tidak mencerminkan sikap permisif secara berlebihan. Tidak main uang, sogok, relasi, lobi dan transaksi. Tidak menyelesaikan masalah hukum dengan politik atau mempolitisir masalah hukum. Masalah hukum dan masalah politik harus terpilah dengan tegas dan jelas.
Bengkoknya Aturan
Mungkin masalah utama sebab melencengnya aturan di Indonesia adalah budaya sosial yang terdeviasi. Kekerabatan sosial yang dimanfaatkan untuk mendukung tindakan pembengkokan aturan. Sehingga proses dan hasil negoisasi, transaksi, lobby dan usaha lainnya yang tak terendus pengawas hukum. Kekerabatan sosial dalam melanggar hukum tersebut tertutup rapi demi keselamatan bersama dan atas persetujuan bersama. Bekerja semacam mafia. Merekrut keponakan, adik, kakak, ipar, mertua dan sejenisnya untuk menjamin solidaritas kerjasama diperkuat dengan hal yang lebih permanen yakni lewat pertalian darah. Perkawinan bukan cuma menyangkut masalah sosial tapi juga masalah politik dan kekuasaan.
Pencucian uang berlangsung dengan lancar. Orang mau saja menempuh resiko karena merasa aman di lingkup sosial yang dikenalnya. Isteri muda, pembantu, sopir, ayah mertua, keponakan, bahkan tetangga tak keberatan menerima titipan uang hasil korupsi. Perjanjian terjadi di bawah tangan memanfaatkan sanksi sosial dan bukan sanksi hukum formal. Kerjasama kejahatan tereduksi karena terjadi dalam lingkup sosial. Melanggar hukum tak mengapa asal tak di lingkup sosialnya. Atau melanggar hukum tak mengapa asal dilakukan bareng-bareng. Memeras, merampok, memalak, mengemplang tak apa asal dibarengi dengan sikap bersosial. Tahu membalas budi. Hasil merampok dibagi-bagi sesama kelompok. Tahu sama tahu pasti aman.
Masalah lain yang ada di Indonesia dalam penegakan aturan adalah masalah sistem pengidentifikasian pada pribadi masing-masing individu masih belum tertata sehingga sulit untuk mendeteksi pelaku pelanggaran. Masyarakat kita masih suka transaksi tunai, fasilitas perbankan belum menjangkau semua orang, nomer wajib pajak tidak semua punya, personal identification number belum dikenalkan di Indonesia secara menyeluruh dan konsisten. Semua meluber dan sulit dipilahkan demi hukum. Belum lagi masalah demografi Indonesia yang masih semrawut. Pemakaian nama keluarga yang tidak begitu dikenal di Indonesia. Alamat yang tidak jelas untuk bisa dijangkau oleh kantor pos. Dan masalah demografi lainnya yang masih perlu pembenahan sistem dalam waktu lama.
Aturan memang gampang dibuat dan juga dibengkokkan. Aturan menjadi tidak begitu relevan jika dikaitkan dengan integritas pribadi. Aturan seketat apapun, jika integritas pribadinya melenceng, aturan pasti diterjangnya juga. Sebaliknya, selemah apapun peraturan jika punya integritas pribadi, maka kecil kemungkinan aturan itu akan dilanggarnya. Namun aturan tetap aturan. Jika sudah disetujui bersama, maka tidak seorangpun bisa menikmati pengecualian. Meloloskan atau menggagalkan peraturan bukan masalah utamanya, apalagi cuma dilihat sebagai pihak yang kalah atau menang dalam meloloskan atau menggagalkannya. Diveto atau tidak diveto, semua orang harus taat pada aturan. Mengikat semuanya. Siapkah kita menegakkan aturan?*** (HBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H