Pertama-tama, cara untuk berhenti boros adalah dengan berhenti menghitung isi dompet
Semasa ngekos dulu, saya sering menghitung besarnya pemasukan dan pengeluaran (sebab katanya jadi perempuan itu haruslah lihai mengurus keuangan rumah tangga #ea)
Namun anehnya terlalu matang menghitung keuangan 'negara', isi kepala jadi melulu tentang isi dompet yang ujung-ujungnya hanya melahirkan kekhawatiran tentang cukup atau tidaknya hingga akhir bulan dan yang terparah adalah godaan syaiton yang terkutuk di kedai-kedai dan mal-mal malah makin menguat. Pendeknya hubungan yang linier ini berarti, makin sering menghitung, makin sering ingin jajan. (Oh Apakah saya saja yang mengalami ini?)
Kedua, Jangan Berusaha
Saya akhirnya memutuskan untuk berhenti berusaha menjadi ibu rumah tangga yang (katanya) baik itu. Karena berusaha baik sebenarnya malah berarti kurang baik. Maka dari itu saya lupakan isi dompet dan mulai mengisi pikiran dengan hal-hal lain yang tak banyak orang lain yang akan repot-repot mengurusinya (tapi saya bahagia sekali bisa memikirkannya).
Semisal: mengapa langit itu biru? Mengapa orang-orang ingin ke Mars? Apa agama bagi pohon-pohon? Apa artinya menjadi sekumpulan atom-atom yang memikirkan tentang teori atom? Dsb dsb.
Ketiga, Tidak Ada yang Benar-benar Peduli
Sebagai guru sains, saya mencintai apa yang saya pikirkan tentang sains dan secara alamiah menginginkan orang lain untuk turut jua mencintai apa yang menjadi kecintaan saya tersebut.
Namun, benih-benih kecintaan yang demikian sulit tumbuh di ruang-ruang (yang katanya belajar) yang lebih mementingkan angka-angka ketimbang makna.
Keempat, Toh semuanya pasti akan berlalu
Apakah karenanya saya kecewa?
Kecewa untuk apa dan kepada siapa?
Ada sebaris kalimat yang menyusun dirinya sendiri di kepala tatkala itu. "Semuanya pasti akan berlalu." Dan tentu saja akhirnya saya lupa kapan terakhir kalinya sempat memikirkan kecintaan-kecintaan itu. Lupa yang mana angka dan yang mana makna.
Kelima, Cara membuat luka berhenti berdenyut adalah dengan tidak memperdulikannya
Baru-baru ini saya sedang menghadapi persalinan. Saya kadang ingin seperti orang-orang, hendak pamer bahwa saya sedang berdebar-debar menghadapi persalinan (yang sebenarnya entah untuk apalah coba). Maka dari itu balasan yang saya dapatkan adalah perasaan saya jadi semakin tidak karu-karuan. Cuaca berubah hanya sepersekian detik, dari yang biru cerah menjadi hujan guntur.
Saya sadar sedang terluka dan semakin sering memperhatikan dan memperlihatkan luka bukanlah obat pereda nyeri yang baik. Kita tentu pernah mengalaminya bukan, ketika terluka secara tidak sengaja, perihnya tiba hanya ketika luka tersebut kita sadari kemudian dan lalu semakin sering kita perhatikan.
Terakhir, Tidak ada yang abadi
Saya barangkali bisa saja berkata bahwa benar kesekian resep yang tertera di atas terasa manjur. Namun seperti halnya antibiotik, tidak ada jaminan di masa depan atau bagi orang lain bahwa itu masih jadi obat yang efektif dan efisien. Apalagi bila diminum tidak taat aturan. Maka dari itu saya sangat tidak menyarankan resep ini untuk diikuti mentah-mentah. Ada baiknya ikuti petunjuk dokter atau jadilah dokter bagi diri sendiri (jika memungkinkan). Sekian.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H