Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hal-hal yang Kusadari setelah Empat Tahun Lebih Merawat Taman Baca

20 Februari 2021   09:25 Diperbarui: 20 Februari 2021   09:39 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama, bahwa impian menjadi seorang pustakawan tidak lebih mulia ketimbang impian-impian lainnya.

Dulu, semasa sekolah kala aku masih giat-giatnya ke perpustakaan kota bersama teman karib berjalan kaki pukul satu siang, aku selalu berpikir alangkah indahnya orang-orang yang bekerja di perpustakaan kota itu. Setiap hari mereka bernafas di antara aroma-aroma buku-buku baru, merawatnya dan menjadi jembatan antara pokok pikiran penulis dalam buku-buku tersebut dengan para pembaca. Oh sungguh betapa mulianya hidup yang demikian itu.

Lalu, pesona para pustakawan di kotaku itu masih tergambar hingga beberapa tahun kemudian. Hal-hal yang berkaitan dengan perpustakaan selalu menjadi kenangan-kenangan penuh bunga-bunga. Seperti cinta pertama, sahabat sejati, ide-ide atau gagasan-gagasan yang bernas semuanya jika kukait-kaitkan dengan perpustakaan ia entah kenapa terasa lebih spesial. Dan karenanya aku sangat bangga menceritakannya kepada semua orang.

Berangkat dari situ, aku bahkan mulai bermimpi untuk membangun perpustakaanku sendiri. Satu ruangan dengan satu kamar kecil di antara rak-rak buku adalah hal yang paling romantis yang pernah kurayakan untuk diriku sendiri. 

Hal-hal yang kusadari kemudian adalah ketika semua impian itu terwujud, ketika orang-orang bertanya mengapa aku membuat Taman Baca disaat aku sebenarnya bisa saja membuat hal-hal lain, aku sadari bahwa aku sesungguhnya tidak tahu kenapa aku memimpikan perpustakaan. Bila mimpi itu bisa dipilih, mungkin aku lebih memilih memimpikan hal lain.

Lalu apakah dengan menjadi pustakawan, kedudukanku lantas menjadi lebih mulia? Egoku ingin menjawab iya. Tapi sebenarnya apa bedanya menjadi pustakawan dengan menjadi guru, dokter dan sebagainya. 

Kalau kuingat-ingat lagi barangkali aku menjadi pustakawan karena pada suatu waktu buku-buku adalah satu-satunya teman terbaik yang aku punya dan aku ingin merawatnya. Itu saja. 

Ada orang yang menjadi dokter karena suatu waktu ia berjumpa dengan seorang dokter budiman yang menyelamatkan hidup ibunya. Ada juga yang menjadi guru karena seorang guru di masa sekolahnya telah memberikan ia semacam inspirasi dan mengubah hidupnya.

Akan tetapi seorang adik bernama Jenny lantas bilang bahwa alasan-alasan semacam itu hanya ada dalam drama, Mbak katanya. Alasan kebanyakan adalah karena penghasilan. Dan aku ragu apakah Jenny juga tahu bahwa ada sebuah kutipan menarik juga dari drama bahwa katanya uang adalah alasan yang paling jujur. Jadi lupakan drama. Saya pun tidak bisa tidak bersepakat dengan celetukan Jenny itu karena pada kenyataannya karena itulah barangkali menjadi pustakawan tidak menjadi profesi populer yang diminati.

Kedua, menebar inspirasi untuk giat membaca itu halu (jika dilakukan hanya dalam waktu-waktu senggang) tetapi itu jauh lebih baik ketimbang tidak dilakukan, bukan?

Kenapa aku suka membaca?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun