Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Diceritakan Angin tentang Kota yang Hancur

4 Januari 2019   10:39 Diperbarui: 5 Januari 2019   01:38 877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimanapun, kau dulu pernah berjanji bahwa tidak ada yang akan berubah. Orang-orang di sekeliling kalian meyakinkan bahwa melihat akrabnya hubungan kalian berdua, kalian seperti tidak dapat dipisahkan oleh apapun, tidak akan ada yang dapat berubah  walau apapun yang terjadi.

Namun belakangan ini ia merasa bahwa kau selalu mengabaikan kehadirannya. Bukan hanya kau, semua orang tidak dapat lagi menyadari kehadirannya.

Aku tahu tanpa kau dan mereka perlu memberi tahu. Pada setiap perpisahan, sering akan menjadi kadang-kadang, kadang-kadang akan menjadi tidak ada lagi waktu. Aku sedih karena sudah mengetahuinya, memikirkan dirimu ribuan kali sehari dan menyadari betapa sedikit---jarak dapat mengubah banyak hal. Ya, aku takut bahwa aku tidak akan melihatmu lagi, bahwa aku akan tergantikan.

Ia menyadari ketakutan terbesarnya ketika mencintai seseorang adalah kenyataan bahwa ternyata cinta yang ia punya bukanlah cinta yang seseorang itu butuhkan. Di dalam pikirannya ia bertanya-tanya apakah kau marah padanya? Tetapi kenapa? Apakah mereka membawamu karena usianya yang belum cukup untuk menjadi wali asuh? Apakah karena ia belum berpenghasilan? Apakah kau juga berpikir demikian? Ia bahkan memang tidak punya cukup uang untuk menghidupi dirinya sendiri. 

Ia akui itu. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang berputar-putar di pikirannya sendiri. Tidak peduli sebesar apa pun ia mencintaimu, kau memang lebih membutuhkan mereka.

Kini kota telah pulih. Orang-orang baru mulai meramaikan, memerhatikan sementara yang membangunnya telah pergi. Namun ia yang duduk balkon, yang memerhatikan cahaya merah yang berkedip-kedip dari kejauhan, masih tertinggal sebagai kota yang hancur lebur.

Tidak ada yang bergerak dari tempatnya. Cahaya merah, tangga, dan orang-orang yang telah lelap di balik selimut. Sementara ia selalu di sana sepanjang malam, memperhatikan awan-awan yang belakangan selalu tampak seksi di pikirannya. 

Ia pernah mengatakannya padamu malam itu bahwa awan-awannya berpendar. Sangat cantik kelihatannya. Namun kau tidak pernah dapat menemukan awan-awan yang seksi itu di belahan langit mana pun.

Tidak ada yang tahu sebab terjadinya gempa itu. Orang-orang yang mempedulikannya pun semakin berkurang. Yang ia tahu hanyalah, ia datang begitu tiba-tiba dan menghancurkan---tak ubahnya kepergianmu.

Andai kau pada waktu itu menghampirinya, untuk mengucapkan perpisahan. Sekadar mengucapkan kata-kata yang menguatkan, sambil menitikkan air mata dan berpelukan. Barangkali ia akan lebih mudah merelakanmu pergi dan kau tidak perlu menangis sendirian---seperti yang didengarnya dari orang-orang.

Andai ia menyadari mengapa kau dan semua orang mengabaikan kehadirannya. Andai ia menerima semua tanda-tanda yang menunjukkan ketidakberadaannya itu. Ia barangkali tak perlu meratap sendirian di beranda itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun