Ini adalah cerita ibuku tentang nenek.
Ketika itu, ibuku masih berusia sekolah dasar. Nenek hendak mengajarkan ibu caranya 'bedandan'. Yang disebut nenek 'bedandan' bukanlah ber make up melainkan bagaimana caranya menyiapkan makan.
Nenek waktu itu tinggal di dusun dan sehari-harinya menyadap karet. Pemukimannya kira-kira dari jalan utama Lintas Sumatera ke arah Jambi, harus menempuh satu jam perjalanan lagi dengan kendaraan khusus di jalanan yang berlubang dan kalau musim hujan menjadi sangat becek.
Jika kalian pernah mendengar tentang keberadaan suku Kubu di pedalaman sumatera, maka waktu itu nenek sekeluarga hidup berdampingan dengan mereka dengan sangat baik.
Warga yang sama seperti nenek, yang tinggal di sana untuk menyadap karet, menjalani kehidupan berdampingan dengan suku Kubu dengan cara masing-masing tanpa ada masalah. Bahkan ketika masih kecil, saya pun pernah diajak ibu ke kediaman nenek dan mengalami sendiri rasanya kehidupan di sana meskipun hanya dalam waktu yang singkat.
Jika di perkotaan, pasar hanyalah lima belas menit perjalanan dari rumah, paling lama hanyalah setengah jam sebab pasar di perkotaan bukan hanya satu tempat saja. Namun di pedalaman, pasar terdekat adalah apa yang disebut sebagai "Kalangan".
Yang berdagang di Kalangan itu adalah kelompok orang-orang dari luar daerah yang membawa barang dagangannya ke sana. Dikarenakan jauhnya perjalanan yang ditempuh dan hanya ada satu tempat yang menjadi pasar, maka harga jualnya pun melonjak. Dan lagi Kalangan ini hanya tersedia seminggu sekali.
Oleh karena itu, bahan makanan mestilah di tanam sendiri atau langsung mencarinya di hutan. Setiap kali nenek akan berangkat menyadap karet pagi-pagi buta, ia berpesan kepada ibu untuk menyiapkan makan siang. Itu bukanlah berarti bahan makanan yang akan dimasak telah tersedia di dapur melainkan ibu harus mencarinya terlebih dahulu. Entah itu memetiknya di kebun atau mencarinya di hutan.
Ketika pertama kali diberi tugas tersebut, ibu tidak tahu apa yang hendak dikerjakannya dan akhirnya tidak ada masakan siang itu. Sepulangnya nenek dari kebun dengan perut yang sudah lapar namun melihat tidak ada makanan tersedia, Nenek mengambil alih. Sambil menyelesaikan tugas yang tidak bisa diselesaikan ibu, ibu diberi pelajaran bahwa menjadi seorang gadis mestilah pintar "bedandan".
Kata-katanya yang paling berkesan adalah sebagai berikut yang tentu saja telah disesuaikan secara bahasa dan tutur. "Jika apa-apa telah tersedia, maka semua orang bisa. Ayam dan daging selalu dapat dijadikan masakan yang lezat  namun tantangannya adalah bagaimana menjadikan yang tidak ada menjadi ada, bagaimana membuat masakan dari singkong tetapi rasa ayam."
Jadi demikianlah cara nenek mengajarkan kepada ibu untuk berpikir kreatif. Tidak pasrah kepada kehidupan dan tahu caranya bertahan hidup dan berbahagia bahkan ketika dalam masa-masa kekurangan.
Meskipun terkadang dari cerita ibu, cara nenek mengajarkannya dengan hard way  namun hasilnya sekarang disadari atau tidak ibu terus memanfaatkan ajarannya nenek tersebut untuk bertahan hidup bahkan ketika kehidupannya telah jauh lebih baik.
Beberapa hari yang lalu aku menemukan kata-kata bijak dari seorang Einstein bahwa Pendidikan itu adalah apa yang tersisa ketika seseorang lupa pada yang diajarkannya. Barangkali Ibu telah lupa apa yang dimasak nenek saat ia memberi pelajaran pertamanya tentang kehidupan itu, namun nilai-nilainya tetap terpelihara.
Jadi, ketika dua hingga tiga puluh tahun kemudian ia masih memberi kebermanfaatan bagi pembelajar, maka itulah barangkali yang disebut sebagai pendidikan yang sebenarnya.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H