Ketika menuliskan ini, adalah tengah malam dan hujan sudah turun sejak beberapa jam yang lalu dan saya masih saja belum dapat lelap. Pikiran saya seperti sebuah browser dengan 100 tab terbuka sekaligus. Memikirkan banyak hal dalam sekali jalan sering  saya pikir barangkali sama saja dengan tidak memikirkan apa-apa, namun ia terasa begitu membebani kepala. Saya begitu marah. Barangkali ini juga terjadi pada setiap orang. Seketika itu saya teringat sebuah film yang baru-baru ini saya tonton. Film itu berjudul Vanishing Time, The Boy Who Returned.
Film itu menceritakan sekumpulan anak yang bermain-main dengan telur yang ternyata berkekuatan magis. Tepat setelah telur tersebut dipecahkan, ketika itu pula waktu berhenti. Orang-orang, benda-benda di seluruh dunia berhenti bergerak, kecuali mereka. Karena ini adalah sesuatu yang baru, maka mereka merasa sangat riang dan berlari-lari di jalan. Namun, pada awalnya yang dianggap luar biasa pelan-pelan memudar dan menjadi membosankan.
Mereka mulai memikirkan bagaimana caranya untuk pulang. Untuk mengatasi perasaan-perasaan negatif yang menyerang, mereka terus mempercayai bahwa mereka akan pulang ketika mereka beranjak dewasa dan terus menjalani kehidupan mereka yang demikian. Salah satu dari ketiga anak tersebut meninggal karena sakit sehingga yang tersisa tinggal dua. Hingga di suatu titik, mereka telah tiba di puncak kebosanan menanti dan hendak menyerah dengan kehidupannya. Dan adegan inilah yang muncul di pikiran saya sekarang.
Ketika salah satu dari mereka yang paling ingin pulang dan terus memupuk harapan namun dihadapkan kenyataan bahwa barangkali ini hanyalah penantian yang sia-sia. Ketidakpastian itu hampir membuatnya gila. Ia marah, ia berteriak dan untuk terus dapat mempercayai harapannya, ia terus saja membuat ukiran wajah gadis yang ia cintai setiap hari hingga mencapai puluhan, ratusan.Â
Sementara itu, temannya sudah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke laut dari sebuah tebing dan di masa-masa paling genting itu, ketika ia pun juga sudah putus asa dan turut terjun dari tebing yang sama, ajaibnya ia tiba-tiba terbangun dan kembali ke dunia yang nyata, dunia di mana waktu tidak lagi berhenti. Meskipun ceritanya belum selesai di sini dan masih banyak konflik-konflik lain namun saya hendak fokus dengan adegan yang ini saja. Saya mendadak memikirkan mengapa ia dapat kembali sedangkan yang lainnya tidak?
Ada beberapa asumsi namun barangkali ini yang paling kuat alasannya sebab keinginannya begitu kuat, bahkan ketika ia sedang putus asa pun, jauh di dalam hatinya masih ada cahaya yang memberikan energi pada setiap atom-atom tubuhnya untuk tetap berpengharapan. Dan itu membuat sebuah perbedaan besar.
Kembali kepada apa yang membuat saya marah adalah ketika apa yang saya percayai dan yakini dihadapkan pada kenyataan bahwa barangkali itu hanyalah kesia-siaan saja. Bahwa barangkali saya sudah membuat kesalahan sejauh ini. Barangkali semua pernah dihadapkan kenyataan tidak peduli seberapa kerasnya berusaha, namun hasil yang diperoleh masihlah tidak sepadan.Â
Atau ketika kita telah berusaha sedemikian keras menempuh salah satu jalan hidup, namun di pertengahan jalan baru menyadari bahwa itu adalah jalan yang mestinya tidak dilalui sejak awal dan sebagainya.Â
Namun mengingat dua tokoh dalam film yang saya ceritakan sebelumnya, kita rupanya dapat memilih hendak bersikap seperti tokoh yang mana, hendak menyerah kepada keadaan atau tetap berpengharapan meskipun sampai di titik ketika saya hampir putus asa.
Orang bilang masa-masa ketika akan menyerah adalah masa keajaiban akan muncul. Dan di titik itu saya berharap akan ada sebuah titik balik. Harapan itu harus, masih dan akan tetap ada. Semoga saja.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H