Aku baru saja keluar dari kamar dan menyendok nasi minyak khas palembang di depan TV. Itu pun keluar hanya karena om dan tante menawarkan kudapan pagi. Di tempat tidur tadi, bersampingan dengan pembaringanku di salah satu kamar di rumah berkamar dua ini, berbaring indah nan menggoda, buku Haruki Murakami yang berjudul What I Talk About When I talk About Running dan juga Alan Lightman yang berjudul Einstein's Dream. Karena mereka berdua---kekasih-kekasih baru yang saya temui di Gramedia kemaren sore---malam minggu terasa lebih spesial, sespesial nasi goreng pakai telor dadar. Ah pagi ini pun rasanya saya tidak mau jauh-jauh dari tempat tidur. (Biar terkesan intelek gitu alih-alih malas allohurobbi).
Jadi, sementara mengunyah nasi minyak yang rasanya agak-agak mirip rendang ketika pertama kali merasainya, nyanyian pembuka film animasi doraemon menarik minat dan terang-terangan membuat saya ingin bernyanyi. Terbayang bagaimana seseorang yang mulutnya penuh dengan nasi minyak masih memaksakan diri untuk bernyanyi?
 Saat itu wajah saya bisa jadi lebih buas dari Tyrex dan suaraku lebih kumur-kumur dibandingkan suara kumur-kumur sebenarnya. Terbayang wajah buas dengan suara kumur-kumur nan imut-imut? Jangan ditanya kenapa aku ingin sekali bernyanyi. Jangan ditanya pula bagaimana nasibnya nasi minyak dalam mulutku tadi. Dan jangan pula membayangkan jika kau tidak punya cukup nyali karena aku juga nyatanya tidak punya cukup nyali untuk bercermin.Â
Melihat Doraemon di televisi, aku jadi membayangkan masa kecilku dulu. Sederet film animasi menjadi penanda hari sebagai hari libur. Baik itu hari minggu maupun tanggal-tanggal merah lainnya. Doraemon memiliki slot tayang tetap pukul 08.00 pagi di hari minggu. Dan aku berterima kasih untuk salah satu stasiun televisi yang selalu oke setiap kali jeda acara itu karena berkat jasa-jasanyalah aku tentu saja sudah duduk-duduk manis sambil ngupilin hidung---yang hari ini kukenang sebagai masa kecil yang manis kaya upil *eh gula-gula.
Setelah puas bernostalgia dengan masa kecilku dan Doraemon, terlepas dari misteri mengapa meskipun mendapatkan hasil ujian berkali-kali tetapi nobita dkk tidak pernah naik kelas bertahun-tahun, aku lebih tertarik dengan produksi masal Pintu Kemana Saja Doraemon. Lah apa pasal?
Ini dimulai dengan kisah yang mohon-maaf-jika-gagal-inspiratif yakni pengalaman empat tahun menjadi anak perantauan di pulau seberang dalam rangka niat mulia demi ibu pertiwi, ibu di rumah dan bisa jadi ibu-ibu lainnya termasuk saya yang masih calon, yakni menuntut ilmu hingga ke negeri cina *eh ke kota Bandung tepatnya. Hal terbaik dari merantau adalah bahwa seseorang jadi lebih mencintai rumah justru ketika jauh darinya.
Aku belajar tentang rindu---yang bukan berarti tidak bisa dipelajari di rumah, namun semacam rindu lain, kepada setiap penghuni rumah---ayah, ibu, segenap keluarga dan beserta dinding-dinding dan langit-langit rumah, bahkan jika sudah akut rindu juga menjalar kepada hal-hal lain semisal batu-batu jalan di depan rumah, masjid dan alun-alun dan ah, perpustakaan kota---tempat paling romantis yang pernah ada karena di sanalah kisah cinta pertama ala ala FTV dikenang selalu. *eh kok curhat. Dan kau akan tahu rasanya melankolik ketika mendengarkan lagu-lagu daerah. Kau mungkin tidak akan percaya bahwa rasanya bahkan jauh lebih melankolik dibandingkan ketika mendengarkan lagu Adele yang judulnya Someone Like You atau Hello. Tetapi demikianlah adanya. Coba saja merantau sendiri kalau tidak percaya.
Sementara kerinduan akan kampung halaman yang semakin akut malah berbenturan dengan mahalnya tiket pulang. Telepon? Tidak cukup. Lantas tugas-tugas kuliah? Ah, nanti dulu. Rindu sudah se-ton, berat Coy.
Di saat seperti itulah Pintu Kemana Saja Doraemon benar-benar diperlukan. Bayangkan betapa pintu itu dapat menyelesaikan banyak persoalan anak rantauan.
Pertama. Mahasiswa-mahasiswi rantauan tidak perlu lagi memikirkan kebocoran finansial karena ongkos pulang yang mahal, dan karena permasalahan ongkos pulang ini selesai, mahasiswa-mahasiswi rantauan tidak perlu galau memikirkan rindu, tidak rindu bisa jadi tidak perlu menghabiskan waktu untuk bikin status-status nyastra atau upload foto-foto keluarga sambil mewek di sosial media.Â
Dan oleh karena itu, bisa jadi mahasiswa-mahasiswi rantauan menjadi lebih produktif di hal-hal lain yang lebih tepat bagi kemaslahatannya. Pacaran misalnya. *eh tugas kuliah maksudnya. Atau bisa jadi punya waktu lebih banyak untuk mempertanyakan kebermanfaatan tugas-tugas kuliah atau mengkritik cara mengajar dosen-dosen tertentu atau apapunlah. Suka-suka.