Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencari Jawaban Paling Layak untuk Pertanyaan "Apa Pentingnya Sekolah?"

13 Desember 2016   15:13 Diperbarui: 13 Desember 2016   15:27 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear Bapak Ibu guru beserta para calon guru di manapun kalian berada, saya ingin curhat dan meminta saran jika berkenan. Bagaimana jika ada seseorang yang bertanya, “Apakah sekolah itu penting?”

Baiklah sebelum itu, izinkan saya menceritakan beberapa orang. Yang pertama adalah Haruki Murakami, dia adalah seorang novelist favorit saya asal Jepang yang beberapa tahun terakhir dinominasikan sebagai penerima nobel sastra. Di salah satu bukunya dia menuliskan begini, bahwa perihal paling penting yang bisa kita pelajari dari sekolah adalah fakta bahwa banyak hal-hal penting tidak bisa kita pelajari di sekolah.

Yang kedua adalah Neil Gaiman yang juga adalah seorang penulis. Katanya sekolah tidak mengajarkanmu bagaimana mencintai seseorang, tidak mengajarkan bagaimana menjadi terkenal, tidak mengajarkan bagaimana menjadi kaya atau menjadi miskin, tidak mengajarkan bagaimana caranya berpisah dengan seseorang yang sudah tidak kita cintai lagi, tidak mengajarkan bagaimana menebak apa yang dipikirkan seseorang, tidak mengajari apa yang harus diucapkan kepada seseorang yang sedang sekarat. Tidak mengajarkan apapun yang penting untuk diketahui.

Yang ketiga adalah Jostein Gaarder yang juga pernah menuliskan, “Kami tidak belajar apa-apa di sana. Perbedaan antara guru sekolah dan filosof adalah bahwa guru sekolah mengira mereka tahu banyak hal yang mereka coba paksakan masuk ke tenggorokan kami. Filosof berusaha untuk memahami segala sesuatu bersama murid-murid mereka.”

Yang keempat adalah Jon Jandai yang adalah seorang petani Thailand yang mengatakan bahwa pendidikan bagi orang miskin adalah perjudian dan bahwa pendidikan merenggut kreativitas. Dan ia menyarankan setiap orang tua mendesain kurikulum pengajaran bagi anak-anaknya sendiri.

Yang kelima adalah salah satu siswa saya yang ‘anonim’ yang waktu itu berusia kurang dari 17 tahun dan menanyakan kepada saya perihal apa pentingnya sekolah. Sebagai referensi dia menceritakan tentang Steve Jobs lalu Bob Sadino ditambah lagi menteri Susi. Dia menekankan bahwa tidak perlu sekolah untuk menjadi sukses. Saat itu yang saya bayangkan saat berusia sama dengannya saya paling-paling mikirin celana jeans yang sedang ngetren atau cerita-cerita seputar kencan. Ah.

Yang keenam adalah Albert Einstein, seorang fisikawan. Katanya “Jika kamu menilai ikan dengan kemampuannya memanjat pohon, seumur hidupnya dia akan percaya dia bodoh.”

Yang ke tujuh adalah seorang pemberi komen pada salah satu tulisan saya terdahulu, katanya “tidak semua yang dipelajari di sekolah itu nyata dan baik.”

Yang terakhir adalah saya sendiri. Saya yang sekarang ini alhamdulillahnya sudah tamat dan pulang ke kampung halaman, sedang memulai membangun mimpi-mimpi indah di sebuah ruang kerja, sedang memikirkan bagaimana mendesain kurikulum pengajaran bagi anak-anak masa depan saya kelak. Ah, sebelum baper dan sebelum ada yang tanya emang situ udah nikah? baiknya saya cerita bahwa baru-baru ini, adik-adik beserta anak-anak tetangga saya yang masih SD sering belajar bersama di ruangan kerja saya memainkan permainan jelangkung, teknisnya adalah mata pulpen di arahkan ke atas, kemudian di tusuk-tusukkan ke kertas sambil mengucapkan mantra-mantra, kemudian di kertas yang sama mereka mencoba menulis menggunakan pulpen itu dan... Tara! Tidak ada tinta yang keluar.

Pertanda ada jelangkung yang datang katanya. Terang saja saya tergelak. Bukannya baru beberapa hari yang lalu anak-anak ini belajar tentang gaya gravitasi. Saya beri tahu mereka, tidak perlu menusuk-tusukkan kertas dan komat kamit melisankan mantra, cukup pulpen itu di arahkan ke atas saja selama beberapa saat, lalu coba tuliskan sesuatu. Dan benar tidak ada tinta yang keluar. Itu hanyalah fisika sederhana, dik, tintanya turun karena pengaruh gaya gravitasi ketika mata pulpen di arahkan ke atas. Ooooh.

Yah, tidak perlu terkejut sebenarnya. Contoh lainnya banyak. Misalnya saja kita belajar sistem reproduksi, tetapi tidak pernah diajari bagaimana menyikapi jika ternyata sistem reproduksi kita tidak berfungsi dengan baik, kita belajar tentang sistem tata surya, planet-planet, hukum-hukum gerak, gravitasi tetapi nyatanya masih bisa percaya juga jika dicekoki dengan teori Flat-Earth yang belum jelas juntrungannya itu. Kita belajar budi pekerti tetapi tidak belajar bagaimana mencerminkan budi pekerti yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Kita belajar agama, bagaimana teknis-teknis beribadah tetapi tidak pernah belajar bagaimana menemukan Tuhan di dalam diri kita. Dan sebagainya dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun