Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jalan Terpanjang untuk Pulang

11 Maret 2016   00:46 Diperbarui: 11 Maret 2016   01:33 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karena melalui jalan pulang yang itu-itu saja membosankan. Sama membosankannya seperti lukisan lama di kamar yang tak punya lagi daya tarik. Semakin sering aku melihatnya, entah bagaimana semakin berkurang nilainya. Aku tak pernah punya alasan yang logis untuk ini. Kadang ingin kubuang saja, tetapi takut kelak aku akan merindukannya. Konon katanya, nilai suatu barang akan meningkat drastis tepat saat dia menghilang. Ah, ayolah. Aku tidak sedang ingin bermain tarik ulur dengannya—lukisan lama di kamar.

Aku jadi ingat masa-masa pertama lukisan itu di pajang di kamar kita. Kau membelinya dari sebuah penjual lukisan di pinggir jalan. Aku melihat dua ekor kuda yang jatuh cinta, sedang berlari bersama di sana. Tetapi yang kau lihat adalah keteguhan, kerja keras juga ketangguhan.

Kau lebih suka menghabiskan usiamu di ruang kerjamu dengan setumpuk berkas-berkas yang tak pernah ada habisnya itu. Sedangkan aku sibuk merindu dan bertanya-tanya. Kapankah kiranya aku menjadi sekumpulan berkas-berkas itu yang tak pernah habis kau belai. Kapankah aku menjadi tas kerjamu itu yang tak pernah lupa kau bawa kemana-mana. Kapankah aku menjadi sepatumu yang menemani kemana saja kau melangkah hari ini. Kapankah aku menjadi sesuatu yang kau rindu.

Dan kapankah aku dan kau tidak melihat lukisan itu sebagai objek yang berbeda. Ketika aku melihat lukisan itu sebagai sesuatu yang diberikan dengan faktor x, tetapi kau melihatnya sebagai sebuah benda dengan faktor lain—yang aku juga belum jelas apakah itu kira-kira, tetapi itu sudah pasti bukan faktor x.

Tetapi aku menerimanya dengan hati yang bermusim semi. Meskipun kau memberikannya dengan hati yang bermusim salju. Kita tak pernah berada di satu musim yang sama meskipun kita bersama di hari, tanggal dan jam yang sama.

Oleh karena itu, aku ingin menghabiskan beberapa jam ini di jalanan. Mencoba menjadi bagian dari keramaian kota. Melepaskan diriku pada sekumpulan orang-orang yang berbicara dengan bahasa klakson dan suara knalpot masing-masing serta saling memahami hati ke hati melalui sepasang lampu sen dan warna-warna lampu lalu lintas.

 Terlintas pula di benakku sekarang mengapa di hari itu aku tidak ke tebing saja, atau ke pantai tetapi malah ke jalan raya. Tetapi tahukah kau, di jalanan itu aku belajar, kau tak perlu berteriak, knalpot motor dan klaksonmu akan melakukannya untukmu. Kau tidak perlu memberi tahu sesuatu, lampu sen akan melakukannya untukmu. Dan aku sedang belajar merasakan bahwa itu anggun. Sesuatu yang tidak dibicarakan dengan kata-kata itu, yang kadang gagal kulakukan di hadapanmu—karena aku tak mengerti bahasa yang tanpa kata-kata.

Aku ingin mengerti apa yang ingin kau sampaikan melalui suara televisi yang menyebar dari ruang tamu hingga ke beranda tempatku duduk menikmati teh dan hujan rintik-rintik. Aku ingin mengerti apa yang ingin kau sampaikan melalui sesuara kertas koran dibolak-balik yang kau baca setiap pagi. Aku ingin mengerti apa yang ingin kau sampaikan dengan bahasa yang tanpa kata-kata itu.

Dan karena itu, aku memilih jalan terpanjang untuk pulang. Apakah kau tahu, selalu ada jalan yang lebih panjang setiap harinya. Karena aku masih belum mengerti. Aku belum menemukan apa yang aku cari. Baik itu hal-hal yang semestinya aku pahami maupun sosokmu, keduanya seperti tak ada di muka bumi ini. Aku tidak menemukannya di manapun. Dan lupa apakah itu pernah ada sebelumnya?

Jika lebih lama lagi, mungkin aku akan mengelilingi bumi ini serupa Columbus, hanya untuk pulang. Saat itu, lukisan itu mungkin sudah usang. Seusang ceritaku yang masih berputar-putar di sini, antara kita saja. Dan haruskah kita menua seperti ini?

Jauh sebelum itu, entah di hari yang ke berapa dari sekarang, aku mungkin akhirnya akan menemuimu dan berkata, “aku ingin berbicara denganmu.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun