Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lupa

10 Maret 2016   23:21 Diperbarui: 10 Maret 2016   23:28 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku masih berbaring ketika seorang laki-laki membuka pintu kamarku dan mengatakan jangan lupa membaca buku yang ada di samping tempat tidurku. Rasa kantuk masih bergantung di kelopak mata, siapa yang peduli dengan buku yang ada di samping tempat tidur. Selang beberapa menit, seseorang yang lain—dia wanita paruh baya, juga mengatakan hal yang sama karena aku masih enggan untuk melakukan apa yang mereka suruh. Kemudian seseorang yang lain lagi—Laki-laki yang jauh lebih muda dibandingkan orang pertama yang menyuruhku tadi—juga mengatakan hal yang sama. Aku hanya menatapnya saja, rasa penasaran dengan orang-orang ini tidak pula berusaha ku lunasi dengan bertanya mengapa.

“Lihatlah aku masih mengantuk!”, aku ingin berteriak begitu.

Dilihatnya aku masih belum beranjak, dia membukakan buku itu dan meletakkannya di atas dadaku. Aku tidak berusaha menolaknya pula. Aku mulai membaca buku itu dari laman pertama yang dibukakannya untukku. Di sana ada sebuah foto seorang gadis yang bernama Rani. Di sebelahnya ada sebuah cermin yang direkatkan dengan selotip dan tanpa sengaja kulihat refleksi wajahku di sana. Ah, Rani mirip sekali denganku. Di bawahnya tertulis Ya, kamu adalah Rani, jangan lupa bahwa kamu adalah Rani. Aku membuka laman berikutnya, di sana ada foto lain, sebuah keluarga dan salah satu dari mereka adalah Rani yang katanya adalah aku. Ah, wajah-wajah ini adalah orang-orang yang sepagi ini mengatakan padaku jangan lupa.... Di bawah setiap wajah mereka tertulis Ayah, Ibu, Kakak dan Rani untuk wajah yang mirip aku.

Aroma masakan mendadak mampir ke hidungku memicu perutku untuk berkicau. Aku tidak bisa menolak stimulus yang membuatku meresponnya dengan turun dari tempat tidur dan mengikuti sumber aroma. Di sana aku menemui mereka sedang duduk di meja yang penuh makanan. Semuanya tersenyum dan seseorang yang di sebut kakak menyediakan sebuah kursi. Dari bahasa tubuhnya sepertinya dia mempersilahkan aku duduk di kursi itu. Buku yang belum selesai kubaca masih kupegang di tangan kiri dan kutaruh di atas meja.

Seseorang yang disebut ibu mengajakku ke sebuah tempat dan menyuruhku mengikuti apa yang dia lakukan. Dia memutar sebuah benda yang disebutnya keran dan menampung air yang keluar dari keran itu di sebuah cangkir kemudian memutarnya lagi ke arah yang berlawanan ketika air di cangkir sudah penuh. Aku mengikutinya. Lalu dia mengambil benda lain yang dia sebut sikat gigi dan menaruh krim putih yang dia sebut odol di atasnya, lalu menyikat giginya dengan kedua benda itu. Aku mengikutinya. Mulutku menjadi penuh buih dan buih itu terasa manis dan membuat sensasi antara pedas dan dingin.

“Rani, ini Kakak, ini Ibu, itu Ayah. Jangan lupa ya!”

Dia tersenyum. Manis sekali caranya tersenyum. Senyum seperti itu memicu diriku untuk ikut tersenyum pula. Kulihat yang disebutnya ayah dan ibu juga turut tersenyum. Agaknya aku mulai paham. Mungkin aku adalah Rani. Jadi dia yang duduk di samping kananku adalah kakakku, wanita paruh baya yang duduk di samping kiri adalah ibu dan laki-laki yang duduk di depanku adalah ayahku. Foto keluarga itu adalah keluarga Rani, keluarga Rani berarti keluargaku.

“Rani, setelah makan kamu jangan lupa mandi di situ!” Ibu berkata sambil menunjuk ke sebuah ruangan yang berpintu plastik merah jambu.

“Makanannya ibu letakkan di bawah tudung saji di sini, nanti kalau lapar kamu ambil makanannya sambil menunjukkan meja.”

“Setelah ini Ibu harus ke pasar sebentar. Ayah harus ke kantor, Kakak harus sekolah, dan Rani harus membaca buku itu.”

Aku hanya mengangguk. Aku sedang menikmati makan pagiku. Nasi goreng ini harus menuntaskan rasa lapar yang disebabkan oleh aromanya yang mampir di hidungku tadi.

Setelah mereka pergi, aku pergi ke ruangan yang ditunjuk ibu ketika menyuruhku mandi. Aku membukanya dan masuk. Ruangan ini setengahnya berdinding keramik putih berbau wewangian yang tidak ku tahu dari mana asalnya. Di dinding tertulis, Untuk mandi, ikuti langkah-langkah ini. Buka semua baju. Aku membuka semua baju yang kukenakan. Langkah berikutnya adalah tarik tuas yang berpanah merah di depanmu ke kiri maka air akan keluar dari shower di atasmu. Tidak susah menemukan tuas yang dimaksud dan shower adalah benda yang berada di atasku. Air keluar dari situ seperti hujan. Kemudian setelah sekujur badanmu basah, tuangkan sabun di telapak tangan dan gosokkan ke seluruh badan. Setelah itu tuangkan shampo di tanganmu lalu gosokkan ke rambutmu hingga berbuih. Aku melakukan langkah itu dan akhirnya paham dari mana wewangian yang kucium ketika masuk ruangan ini pertama kali berasal, paduan wewangian shampo dan sabun ini. Sebelum aku masuk ke ruangan ini seseorang pasti telah menggunakan shampo dan sabun yang sama. Shampo dan sabun yang kini berbuih di tubuhku mulai lepas dan jatuh oleh air yang jatuh seperti hujan dari shower.  Langkah terakhir yang tertulis di sana adalah Keringkan tubuh dengan handuk dan kenakan baju yang ada di lemari kamarmu. Tulisan “handuk” membantuku menemukan handuk yang dimaksud.

Setelah keluar dari ruangan, segera aku ke kamar mencari baju di lemari yang dimaksud. Dan setelah berpakaian lengkap aku kembali meraih buku yang mereka suruh aku baca tadi pagi. Laman selanjutnya menceritakan siapa Ayah, siapa Ibu, siapa Kakak dan siapa Rani. Ayah bernama Yunus, lahir di Lubuklinggau pada tanggal 7 Juli 1962. Dia bekerja di sebuah kantor pemerintah, dia seorang PNS golongan IV a. Ibu bernama Suci lahir di Musi Rawas pada tanggal 23 Desember 1970.

“Di sini tidak tertulis pekerjaan ibu.”

“Ah, mungkin ibu tidak bekerja.”

“Tetapi ibu mengatakan tadi harus pergi ke pasar.”

“Apakah ibu bekerja di pasar?”

“Jika ibu pulang aku akan menanyakan langsung padanya.”

Kakak bernama Rizki, dia bersekolah di SMAN 5 Lubuklinggau. Dia lahir di Lubuklinggau pada tanggal 6 September 1997. Lalu Rani yang adalah aku lahir di Lubuklinggau pada tanggal 10 February 2000. Hanya begitu saja.

“Mengapa aku tidak bersekolah seperti kakak?”

Laman selanjutnya juga tertulis mulai dari langkah-langkah untuk mandi, langkah-langkah untuk berpakaian, langkah-langkah untuk mengatasi rasa bosan seperti menonton TV, bermain game, menyiram kembang juga mengatasi rasa lapar. Aku sudah selesai membaca semua laman.

Terdengar suara pintu terbuka, aku keluar dari kamar dan menemukan ibu masuk sambil membawa sesuatu. Ah, Ibu bilang Ibu pergi ke pasar tadi. Ibu membawa banyak sekali barang-barang. Mungkin diperolehnya dari pasar.

“Ibu habis berbelanja sayur dan lauk-pauk untuk persediaan seminggu”, kata Ibu tanpa kutanya.

Sepertinya ibu bisa membaca pikiranku yang memang sudah punya niat untuk bertanya tentang apa yang dilakukannya di pasar.

Aku membantunya membawa barang belanjaan ke dapur lalu mulai memilah-milah barang-barang yang mesti diletakkan di lemari atau di kulkas. Ibu mengatakan apa yang harus aku lakukan dan aku mengikuti apa yang ia katakan.

Aku merasa ini waktu yang tepat untuk mengatakan pada ibu tentang rasa penasaranku yang lain yang sejak tadi pagi ku simpan sendiri.

“Ibu, mengapa kalian, buku itu dan semua tulisan di dinding-dinding ruangan serta pada benda-benda yang mengisi rumah ini seolah-olah terus-menerus mengatakan kepadaku untuk jangan lupa ...?”(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun