“Andi, jangan main di sano!”
“Di sano kotor banyak taiknyo.”
“Ado cacingnyo.”
Andi adalah anak berusia lima tahun yang sedang bermain di tumpukan pasir di depan rumahku. Ibunya meneriakinya dari depan pintu rumahnya yang berada di sebelah rumahku. Alih-alih mengindahkan apa yang ibunya peringatkan, Andi malah tidak peduli karena ia terus bermain pasir dengan mangkok plastik dan botol-botol bekas bersama Riska.
Aku tidak bisa mengingat dengan baik bagaimana masa kecilku dulu. Aku tidak yakin ketika berumur lima tahun sama seperti usia Andi sekarang apakah aku juga bermain pasir atau tidak. Tetapi dari cerita orang tuaku, aku di usia itu katanya sering sekali bertengkar dengan teman sepermainanku, entah itu karena berebut boneka, tidak sengaja terjatuh karena temanku itu, atau karena keisengannya meninggalkanku sendiri saat sedang bermain pasir. Aku berharap bisa mengingat sensasi bermain pasir itu yang sepertinya lebih menyenangkan dibandingkan ajakan makan ibu. Tadi, sempat kudengar pula ibunya Riska mengajak makan dan tidak diindahkan pula oleh Riska. Kedua anak itu kompak sekali.
Terdengar suara tangisan dari depan rumahku. Andi yang menangis. Riska meninggalkannya dan membawa pulang semua mangkok dan botol-botol plastik yang diakunya adalah miliknya.
“Aku dak galak maen samo dio”, Riska menjawab ketika kutanya mengapa dia pergi dan meninggalkan Andi sendiri.
“Aku nak maen ayunan be, Mbak”, lanjutnya lagi.
“Dem, Andi jangan maen samo Riska kalo dak akor!”, ibunya memarahi Andi yang menangis.
“Dikit-dikit ribut, dikit-dikit nangis.”
“Awak lanang, jangan nangis!”, kudengar ibunya mengomel. Tetapi Andi tidak juga berhenti menangis.