Mohon tunggu...
Travel Story

Jalan ke Seoul Jilid 2, Cumi Hidup di Makan!

1 November 2016   17:50 Diperbarui: 1 November 2016   18:14 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melanjutkan cerita liburan saya ke Seoul sebelumnya, saya cukup puas dengan makan siang yang enak di restauran tua  di Korea tersebut...acara masih berlanjut memang, tapi karena musim dingin, jadi langit cepat gelap, dan kami memutuskan pulang lebih awal.

Esoknya, saya dapat bekal dari istri teman saya sebuah tiket transportasi umum untuk menjelajah Seoul sendirian, tentu saja setelah saya dibekali info naik bus apa supaya saya bisa melihat berbagai lokasi wisata di Seoul. Nggak sangka, di Seoul, ternyata saya bertemu teman kantor saya dulu di Los Angeles, yang lagi di Seoul. Blessing in disguise, saya ternyata tidak perlu berpetualang sendirian kali ini.  Setidaknya untuk urusan foto-foto, saya yakin sudah punya andalan fotografer dadakan. Dan dia senang-senang aja, mengambil foto bergantian, sambil  menjajal makanan serangga korea, termasuk beondegi, larva ulat sutera yang direbus dan yang dijual di depan istana.

 Dia pun senang ada teman jalan-jalan keliling Seoul, karena sudah dua minggu ada tugas  disitu, belum ada kesempatan jalan-jalan liburan. Kami memutuskan naik bus hop on hop off seharian, supaya bisa langsung diturunkan ke lokasi-lokasi wisata yang dikhususkan untuk turis.

Rute pertama, tentu saja adalah istana Gyeonghui yang terletak di pusat kota, dengan patung emas di depannya. Teman saya senangs ekali, dapat guide dadakan yang sudah ke tempat itu sebelumnya. Saya mencari gadis korea yang berbaju tradisioanl korea yang memang rupanya , ada sesi pemotretan gadis-gadis berbaju tradisional Korea hari itu di istana. Sungguh kami beruntung! Maka ceprat cepret, kami mejeng dekat gadis-gadis Korea dengan hanbok, baju tradisionalnya. Upload foto di facebook, nampaknya kudu dipajang gambar beginian..dimana lagi dapat foto dengan gadis cantik asli Korea dengan baju tradisionalnya, kalau tidak di Negara ginseng sendiri, kan?

Kami juga tak sabar menunggu  pertunjukan prosesi pergantian prajurit penjaga istana Gyeonghui  dengan baju kostum tradisional dan  tampangnya yang dingin berdiri di pintu besar istana, sementara kita berfoto cengar-cengir nggak jelas di sampingnya. Jadi ingat tampang prajurit Kerajaan Inggris di depan Istana Buckingham, London yang saya lihat sewaktu berlibur beberapa tahun sebelumnya. Saya melihat memang pintar cara pengemasan suatu tempat wisata Negara ini supaya menarik wisatawan, apalagi ditambah orang-orang dengan kostum tradisionalnya...rasanya seperti dibawa ke  jaman kerajaan di Korea Selatan , menimbulkan fantasi, seolah kita terperangkap dalam mesin waktu menembus masa lalu....wowww!!

Mengingat bus  hop on hop off kami selesai pukul 7 malam, maka memaksimalkan harga tiket  bus hop on hop off keliling Seou yang cukup mahal kami belil, maka kami perlu lakukan travelling dengan cepat, dari istana Gyeonghui, kita berkunjung ke pasar makanan tradisional korea di Insadong.  Pertama kalinya, disitu,  saya melihat cumi mentah dan masih hidup dimakan dan ditelan sebagai makanan khas tradisional disana, cumin dibumbui wijen, rasanya  kok perut saya sudah geli membayangkan cumi-cumi itu mungkin masih hidup ketika masuk usus...haaaah..horor....

Saya tentunya memilih makanan yang aman, yaitu bimbimbap. Penjualnya sama sekali tidak berbahasa Inggris, dan teman saya tidak bisa bahasa Korea juga. Maka disinilah transaksi dan pembelian dengan asal tunjuk jari dan bahasa isyarat dimulai. Cuaca masih terasa sangat dingin saat itu, tapi bangku-bangkunya ternyata ada pemanasnya, sehingga pantat saya terasa hangat begitu duduk  di bangkunya untuk makan. 

Saya coba semua sayuran hijau yang saya tidak pernah lihat dan cicipi di Jakarta atau di Indonesia. Penjualnya sneyum-senyum dan mencoba berkomunikasi dengan kami berdua, kami hanya senyum-senyum, pada akhirnya frustasi, kami memutuskan memakai bahasa Jawa dan penjualnya berbahasa korea...hahahaha...nggak nyambung sama sekali..setelah itu kita terbahak-bahak, karena sama-sama tidak paham. Konyol sekali.

Saya mengamati buah-buahan yang nampak cantik dan bersih, meskipun hanya sawi putih, terlihat begitu indah dipandang mata. Begitupun cemilan jajanan di pasar itu, nampak menarik, walaupun saya tetap rindu rasa pedas cabe rawit di Indonesia. Dasar lidah Jawa!

To be continued....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun