Assalamu'alaikum Wr. Wb.,
Tidak terasa setahun begitu cepat berlalu. Kurang dari seminggu kita sudah kembali akan memasuki Bulan Suci Ramadlan. Berbeda dari bulan-bulan yang lain, selain secara religi Bulan Ramadlan memiliki kedudukan yang istimewa, secara budaya Ramadlan juga memberikan nuansa yang berbeda, baik secara individu, keluarga maupun masyarakat. Lebih-lebih di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam.
Secara syariah, fiqih bahkan sejarah Islam, Ramadlan memang bukan bulan biasa. Ramadlan adalah bulan yang dimuliakan, karena di dalam bulan ini banyak peristiwa penting dan bersejarah terjadi. Di antaranya adalah turunnya Kitab Suci Umat Islam, Al Qur'anul Karim.
Di bulan ini umat Muslim panen pahala. Karena setiap perbuatan baik akan diganjar berlipat. Di bulan ini pula Allah membuka lebar-lebar pintu ampunan. Ramadlan adalah bulan di mana setiap kebaikan dinilai dan dipahalai sebagai ibadah. Bahkan tidur pun diberi pahala sebagai ibadah. Sebab ketika seorang Muslim tidur, itu lebih baik menghindarkan diri dari maksiat. Oleh karena itu berlaku sebaliknya, jika di Bulan Suci melakukan perbuatan tercela, maka dosanya pun berlipat. Wallahu'alam bissowab.
Tulisan ini hendak mengungkapkan sisi lain dari Bulan Ramadlan. Begitu kuat keyakinan masyarakat akan kesucian bulan ini, maka persiapannya pun dilakukan dengan sangat spesial. Terlepas dari ini budaya, atau religi, tetapi orang pada umumnya masih mengutamakan (ngepenke hingga sekarang). Seperti misalnya tradisi Nyadran, Ruwahan, Punggahan, sampa Bersih Desa, Buka Luwur, masih begitu banyak ditemui.
Nyadran, hampir di setiap daerah mengenal ritual ini. Kadang sulit dibedakan antara budaya dan religi. Dikatakan budaya, karena ini berlangsung terus menerus, dari generasi ke generasi. Mulai dari orang yang berstatus sosial rendah hingga Boss, Pejabat, Intelektual, Akademisi, Pengusaha sampai Buruh atau Pegawai biasa, mereka ini bahkan menyempatkan waktu untuk melangsungkan tradisi ini. Biasanya mereka ini akan mengambil cuti atau meminta ijin hanya demi nyadran. Pulang ke daerah asal, atau tempat di mana para leluhurnya dimakamkan, untuk nyekar (berziarah kubur).
Selain dari bersih-bersih kubur, umumnya dilakukan pula punggahan, yaitu mengirim doa untuk arwah leluhur. Biasanya diikuti dengan Ritual Selamatan. Uniknya acara ini dilakukan secara gotong royong guyub rukun. Setiap keluarga akan membuat masakan istimewa, kemudian dibawa ke suatu tempat (biasanya Langgar, Mushola, atau Masjid, tetapi bisa juga di tempat lapang), selanjutnya seluruh warga masyarakat akan beramai-ramai makan bersama. Sudah pasti didahului dengan doa, dan shalawatan (puji-pujian kepada Rasul SAW), yang dipimpin oleh seorang Tokoh Agama, Kyai, atau Ustadz. Di sinilah unsur religinya nampak begitu kental. Ada yang menyebutnya kirim doa untuk para leluhur.
Peristiwa ini tidak terlepas dari keyakinan bahwa selama Bulan Ramadlan konon Arwah para Leluhur ini pulang ke rumah. Nah..., kerawuhan (kedatangan) mereka inilah yang disambut secara khusus oleh anak cucu atau keturunannya. Wallahu'alam bissowab. Keunikan lain dari Nyadran ini, ternyata bukan hanya Umat Muslim yang melakukannya, bahkan mereka yang memeluk agama lain pun ikut menyambutnya. Sungguh merupakan pemandhangan yang elok.
Ada sebagian lagi yang menandai Nyadran ini dengan Punggahan. Dari katanya dapat dimaknai mengunggah, memanjatkan doa, atau mengirim doa. Punggahan ada yang menyebutnya dengan istilah Ruwahan. Tradisi ini ditandai dengan setiap keluarga yang saling menberikan hantaran berupa Ketan putih dengan Enten-enten di atasnya, Pisang Raja sebuah, Apem kadang ada yang melengkapinya dengan Pasung atau Bucu (dari bahan yang sama, tetapi diwadahi Daun Pisang atau Pandan yang dibentuk lancip (seperti kerucut, lancip), serta Kolak (semacam olahan pisang dengan diberi kuah Santan dan Gula Jawa). Lucunya hampir setiap keluarga, terutama yang memiliki keluarga (orang tua yang sudah meninggal) melakukan hal ini. Akhirnya seperti barter.
Ada perilaku unik yang menyertainya, yaitu penulis melihat Eyang yang membuat ini akan menyediakan 'Dhaharan' ini ditambah secangkir Kopi, diletakkan di Baki atau Penampan. Katanya, untuk Eyang. Anak-anak, atau adik yang usil seringkali 'mencuri' makanan enak ini. Lucunya, Eyang, Ibu yang melihat ini menganggap, 'Oh...dhaharanne wis dikersakke.' (makanannya sudah dimakan Eyang atau leluhur yang dituju). Sajian khusus semacam ini disebut Sesaji atau Sajen (Bhs. Jawa).
Terlepas dari semua itu, hal positif yang bisa kita tangkap maknanya adalah, bahwa, 1. Masyarakat Muslim, atau bahkan bangsa Indonesia, memang memiliki adad budaya dan budi pekerti yang tinggi, berbakti kepada orang tua atau leluhurnya. 2. Dalam rangka menyambut Bulan Suci Ramadlan, kita menyiapkannya dengan bersih-bersih jiwa raga, tempat maupun kalbu. 3. Merupakan tanda bentuk syukur pada Allah Pencipta alam semesta dan Pemberi kehidupan, 4. Menjalin silaturahmi dengan bergotong royong guyub rukun antar sesama. 5. Memang adabnya di antara Bulan Sya'ban dan Romadlan, kita diajarkan untuk saling maaf memaafkan, sehingga ketika Ramadlan tiba, dan kita melaksanakan Ibadah Puasa, hati kita sudah bersih (suci) dari dosa maupun kesalahan-kesalahan yang diperbuat di antara sesama.