Aku terdiam di sepinya malam. Kubiarkan diriku larut dalam keheningan. Sesak di dada memang sudah mereda, tetapi lintasan masa lalu tak juga beranjak dari kepalaku. Ketika kita hendak dipersatukan. Saat di mana aku hanya bisa menerima. Bukan tidak ada penolakan, tetapi lebih tepatnya aku terpaksa harus menerima kenyataan.
"Kalau tidak jadi degan adiknya, ya harus kakaknya. Kita malu kalau tidak jadi berbesan dengan Rejosari!" kata-kata Ibu sangat mengejutkan. Dheg! bagai batu menimpa dadaku. Sebagai anak tertua aku bisa menangkap maksud perkataan Ibu. Ini berarti aku yang dimaksud Ibu. Sebab mana mungkin putus dari adiknya langsung mau dengan kakaknya. Sejak saat itu perkataan Ibu terus menggelayut di pikiranku.
"Sejak kapan adik-adik ini mengenal adik saya?" Pertanyaan yang sangat kubenci. Aku bahkan masih tersinggung mengingatnya. Kejadian 40 tahun silam.
"Dik Didit calon suami adik saya." Entah kekuatan dari mana aku tiba-tiba bersuara, menatapmu lekat. "Ada apa?!" Suaraku ketus, galak katamu. Aku sudah mulai curiga.
"Apakah adik-adik ini belum tahu, kalau adik saya Didit itu sudah beristri?" Tap...serasa ada yang menampar pipiku. Gedebur jantungku tak kalah seru. Kencang, terus berdegup. Kulihat Anik adikku sudah mulai menangis. Air matanya menganak sungai, tetapi ia tidak mampu berucap apa-apa. Aku tahu, jiwanya terguncang.Â
"Setelah wisuda, Didit mengatakan akan datang bersama Bapak Ibu untuk melamar Dik Anik" Aku kembali nerocos. Mataku tak lepas dari menatapmu tajam. Pantas aku kau sebut galak. Kenyataannya memang aku saja yang terus bersuara dengan lantang, ketus, kasar. Aku lupa kalau aku mengenakan baju yang sangat feminis. Bertolak belakang dengan sikap yang kutunjukkan pada waktu itu. Aku tak peduli. Batinku terluka. Kehormatan keluargaku serasa terinjak-injak. Aku tidak terima.
"Dia itu sudah beristri sejak September lalu. Istrinya sekarang sedang mengandung 7 bulan." Dheg! 'Tujuh bulan?' suara batinku. 'Ini Bulan Februari, tapi kok sudah 7 bulan?' 'Hah...persetan dengan tujuh bulan, mau tujuh atau bahkan mau lahiran sekalipun bukan urusanku!' Aku benar-benar marah. Ingin rasanya kutampar laki-laki ini. Sungguh tak setitik pun aku menduga kalau akhirnya kau malah menjadi suamiku.
Sejak saat itu Anik terus mengurung diri. Patah hati. Bahkan sampai saat pernikahanku, masih saja diam. kalaupun tersenyum, kecut. Aku bisa memahami, betapa hatinya terluka. kekasih yang begitu dicintai ternyata tega mengkhianatinya. Aku benar-benar menggantikannya, tapi dengan kakaknya. orang tuaku tidak jadi malu. Bapak juga diam, tak mengerti. memang kejadian itu hanya aku dan Ibu yang tahu. Kami menyembunyikannya dari Bapak. Bukan apa-apa, hanya menjaga perasaannya saja. Tetapi ternyata percuma.
"Lo..., kok sekarang Nak Didit jarang ke sini? La kok malah kakaknya!?" pertanyaan bapak beruntun. Mungkin sebenarnya sudah banyak pertanyaan itu, hanya tak diucapkannya. Batinnya mungkin sudah bisa meraba ada yang tidak beres.
Begitulah awal mula persatuanku dengan suami. Diawali dengan cerita duka. Adikku ditinggalkan kekasihnya, adik suamiku. karena saat itu sudah tersiar, kalau Bapak, Ibu mau mantu. Dan benar, memang mantu, tetapi akulah yang harus menggantikan. Aku menikah dengan kakanya. Bapak Ibu bahagia. Adikku sedih. Aku juga sedih. Mereka rupanya tidak bisa melihat kesedihanku. Kebahagiaan tetap berbesan dengan Rejosari telah menutup penglihatan batinnya. Meskipun aku diam seribu basa. bahkan di Pelaminan, aku terus menunduk. Aku bagai boneka yang hanya manut diperlakukan apa saja. Yah...aku tak terusik, meskipun Dukun manten berulangkali membetulkan baju pengantinku, riasanku, meladeni saat ritual panggih dan sebagainya. Diiii...am. Sama bekunya dengan adikku Anik.
Kini setelah empat windu baru terasa. Perbedaan itu begitu banyak. 'Alangkah malangnya aku, begitu lama aku harus terus menyesuaikan diri. aku hanya berpura-pura bahagia' Kini suara hatiku jernih walau tetap tak mampu bergerak. "Untuk apa?!' batinku berteriak lirik. "Yah...untuk apaaa...?! Kamu sudah tua!'Â