[caption caption="Content (dokpri)"][/caption]Awal tahun 2000, bisnis dot com sedang berada di titik puncaknya. Terdapat slogan klise yang selalu dikutip media, yaitu "Content is King". Slogan ini diikuti bisnis media online yang sedang mulai tumbuh. Mereka memasukkan content apa saja yang dianggap bisa mengisi situs webnya, tanpa perlu memikirkan apa content itu pas atau tidak. Jaman sekarang buzzword ini tidak berlaku lagi. Situs dengan kumpulan berbagai konten berantakan tidak akan bisa bisa bertahan. Karena jaman dulu pengguna internet masih sedikit, maka konten apa saja yang dimasukkan ke suatu situs akan dianggap menjadi nilai tambah dari situs tersebut. Berbagai macam jasa pembuatan konten murahan bermunculan. Sebagian hasil copas dari situs lain.
Maraknya akal akalan untuk Search Engine Optimization (SEO) juga memperparah membludaknya konten. Buat mempertahankan posisi di search engine, mereka akan memproduksi konten apa saja. Sekedar konten asal asalan juga dijejalkan. Akhirnya tujuan orang cuma sekedar memproduksi konten, bukan memproduksi artikel yang relevan untuk situs web nya.
Dunia saat ini sudah betul betul kebanjiran konten. Konten bagus porsinya cuma sedikit, yang lainnya konten tidak relevan. Orang menjadi tenggelam di belantara konten. Apa yang dulu dianggap bagus seperti memasukkan segala macam konten sekarang bisa berubah menjadi kabut penutup yang menghalangi berbagai konten relevan. Diperlukan suatu sistem yang tepat untuk mengatasinya. Curation (kurasi) adalah jawaban untuk mengatasi banjir bandang konten ini.
Kurang lebih sebulan terakhir ini di sebelah kanan laman kompasiana terpampang iklan lowongan untuk mencari kurator. Ini adalah langkah tepat. Berjuta juta artikel jika dibiarkan tanpa kurasi menjadi seonggok sampah yang membebani. Bukan hanya musium saja yang butuh kurator.
Kurasi ini memilah dan mengorganisir artikel tersebut sehingga mudah digunakan. Pekerjaan ini seperti merawat taman yang indah. Sebidang halaman yang dijadikan taman jika dibiarkan tidak dirawat akan berubah menjadi kumpulan tumbuhan liar yang tidak bagus. Kotor dan sangat tidak menarik orang untuk memandangnya. Menurunkan harga jual properti.
Banjir konten ini juga dipicu dengan munculnya situs situs yang bersifat user generated content. Kemudian ditambah dengan banyak abuse terhadap sistem user generated content. Orang boleh melempar konten apa saja di dunia maya ini. Untuk situs user generated content seperti Kompasiana juga tidak luput dari serbuan tukang abuse ini, baik dilakukan secara sadar ataupun tidak.
Cyber army dimanfaatkan oleh salah satu partai untuk membanjiri Kompasiana dengan konten yang berusaha menutupi masalah yang sedang dialami partainya. Banjir konten dari cyber army ini lebih banyak mudharatnya bagi pengguna umum Kompasiana. Mengurangi keterbacaan artikel yang semestinya bagus buat dibaca khalayak. Tertutupi sampah konten.
Teknologi merubah aturan main dalam mempublikasi konten. Barrier to entry dalam mempublikasi suatu konten sudah hilang. Zaman dulu untuk bisa mempublikasi artikel yang bisa dibaca orang di seluruh dunia tidaklah semudah sekarang ini. Ongkos percetakan yang mahal menciptakan barrier to entry yang akan menyeleksi konten yang akan dimunculkan dalam penerbitan. Yang bisa muncul hanyalah elite best of the best. Kini aturan main itu telah dijungkir balikkan. Sekarang semua orang boleh mempublish ke internet, baik itu artikel, update status, nge-tweet, upload foto dan sebagainya. Semua bisa dilakukan dengan cara yang mudah dan berbiaya murah. Sekarang tidak ada lagi filter yang cuma meloloskan penulis top saja. Akibatnya banjir informasi melanda dunia maya. Apapun informasi itu, berkualitas atau tidak, diperbolehkan menerobos ruang publik untuk tampil di dunia maya. Tidak terkecuali konten yang bersifat spam.
Zaman tahun 1997 ada search engine paling terkenal bernama Altavista. Tahun 2000 sudah tenggelam dan tidak dikenal orang lagi, digantikan oleh Google. Kejatuhan search engine ini adalah karena banyak orang yang melakukan spam, sehingga hasil searchnya tidak memuaskan karena tertutup konten spam. Penggunanya kecewa dan meninggalkannya. Altavista tidak mampu mengendalikannya sehingga akhirnya ambruk.
Sekitar empat tahun lalu google juga mengalami hal yang sama. Orang banyak menggunakan trick tertentu supaya situsnya tampak di hasil search google. Cara haram pun digunakan. Mereka menggunakan Auto Generated Content (AGC). Hasil search google pun menjadi kacau, karena menampilkan informasi yang tidak relevan. Kata kunci apapun yang dimasukkan ke kotak search google, hasilnya yang keluar adalah konten palsu yang mengecewakan. Banyak yang mengeluhkan search engine google yang menjadi seperti bodoh dikadalin AGC. Google mengambil tindakan untuk menyelamatkan bisnis search enginenya. Hasilnya situs situs yang menggunakan AGC terkubur tidak diindex google dan search engine nya kembali memuaskan pengguna.
Jadi slogan "Content is King" itu perlu diartikan ulang. Tidak semua situs yang banjir konten bisa dianggap mempunyai keunggulan kompetitif. Hanya situs yang merawat kumpulan konten nya supaya relevan dengan kebutuhan userlah yang mempunyai nilai lebih. Situs yang asal menjejali konten nantinya kan dilupakan orang. Slogannya akan lebih tepat menjadi "Curated Content is King".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H