Mohon tunggu...
Hari Ini Hari Yang
Hari Ini Hari Yang Mohon Tunggu... Tukang Bangunan -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

hai

3 Mei 2017   20:59 Diperbarui: 29 Mei 2017   16:13 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Op/2/1/2017/05/03

Dari Klik Menjadi Miliar

The Perfect Imperfection 1: Iklan!

Pertanyaan “Kok iklannya aneh sih?”, “Gabisa pilih orang yang lebih pas dan keren apa ni pembuat iklannya?”, “Ni iklan ga nyambung banget, gimana orang mau suka yang diiklanin?” tentunya sudah cukup familiar di telinga kita. Dimanapun di seluruh dunia, pasti ada saja iklan atau cara promosi yang aneh, tidak masuk akal, dan kelihatan sangat cacat/tidak sempurna. Bukannya seharusnya iklan itu dibuat sesempurna mungkin? Perlu diketahui bahwa harga memasang iklan di Televisi di Indoneisa rata-rata sekarang sekitar 1 juta rupiah per detik, dan di waktu dan stasiun tertentu pernah mencapai 5 juta rupiah per detik! Nah kalau sudah bayar mahal begini, seharusnya iklannya dibuat se-flawless mungkin dong, supaya orang terkesima dan tersanjung?

Cukup banyak dari iklan tersebut sebenarnya yang menjelaskan sendiri alasan para pembuat iklan untuk “mencacatkan” iklan mereka sendiri. Contoh salah satu iklan toko online yang dengan sengaja membuat lagu berbau tionghoanya dinyanyikan dengan nada tidak karuan (fals), dengan si penyanyi yang memegang sempoa juga tidak “becus”, seakan memegang alat musik petik. Ini jelas untuk menimbulkan efek lucu dan lagu yang catchy walaupun fals berguna untuk membuat orang yang “terjebak” mengingat nama produk yag diiklankan. Begitu juga dengan iklan-iklan superbowl (bagi anda yang suka menonton siaran dan olahraga luar negeri), yang notabene harga per detik iklannya dapat mencapai puluhan kali lipat harga iklan standar Indonesia, yang tidak kalah absurd dan tidak jelas.

Namun ada juga iklan yang “perlu pemikiran lebih dalam” untuk dimengerti, baik arti iklan itu sendiri maupun alasan dibalik konsep kecacatan dalam iklan tersebut. Sebagai contoh, baru-baru ini ada iklan obat di radio yang dipromosikan oleh bintang iklan yang cadel, sedangkan nama produknya sendiri mengandung huruf R. Tentu kita dibuat berpikir: bukannya bintang iklan banyak sekali? Mengapa harus pilih yang cadel untuk mempromosikan produk yang jelas mereka tahu sendiri mengandung huruf R? Jujur, iklan tersebut jadi sedikit tidak nyaman didengar, karena kecadelannya sangat jelas dan diulang-ulang dalam iklan tersebut. Jika nama produk itu “Brightstar,” maka akan dibaca “Bhwlaightstahwl” oleh bintang iklan tersebut. Sungguh tak sedap didengar kan? Atau contoh yang lebih mudah dan lebih timeless, yaitu iklan rokok. Iklan rokok selalu terkenal dengan ketidakjelasannya dan ketidak-berhubungan-nya dengan mempromosikan rokok. Seringkali bahkan tidak ada kata-kata dalam iklan tersebut, hanya suara latar dan hal-hal/aktivitas yang keren dan gaul yang ditampilkan. Ini semua adalah untuk meng-attract alam bawah sadar kita. Sadarkah anda bila anda mendengar sesuatu yang tidak biasa, walupun itu buruk, anda terkadang tanpa sadar justru sangat mengingatnya atau bahkan tertarik kepadanya? Itulah yang mereka lakukan. Justru karena R cadel itulah menjadi ingat akan iklan “cacat” ini, bahian kadang menunggu-nunggu untuk mendengar iklan ini lagi dan mengajak teman untuk mendengar dan menertawakan “kecacatan” dan “keanehan” iklan ini kan? Hal sekecil R yang cadel, yang sebenarnya tidak enak didengar, mempunyai kekuatan untuk merangsang alam bawah sadar kita, karena hal tersebut tidak biasa, dan tidak bisa “dicerna” dengan nyaman seperti biasanya. Intinya sesuatu yang tidak biasa mengusik “aliran hidup normal” kita, dan itu cukup untuk menanamkan produknya di hati kita. Efek psikologis bukan? Mungkin saja iklan dikonsultasikan ke ahli, bukan hanya psikolog, sebelum dipublikasikan. Setitik perhatian yang diberikan alam bawah sadar pemirsa sudah cukup untuk membuat pembuat iklan rela merogoh kocek dalam-dalam, karena mereka tahu efeknya akan luar biasa, apalagi di Indonesia. Mari kita lakukan perhitungan kecil. Indonesia mempunyai 300 juta penduduk. 95% menonton televisi(berdasarkan data Tempo.co), dan rata-rata menghabiskan waktu 4,5 jam sehari untuk menonton televisi. Jika kita memasukkan faktor banyaknya channel di pertelevisian, (anggap iklan hanya dipasang di satu channel), maka probabilitas sekitar 3% dari total rakyat Indonesia akan melihat iklan yang anda pasang. Nah anggaplah saja 30% akan penasaran dan “mencoba sekali aja” produk anda. Misalkan anda meraup untung Rp.100/produk, (jumlah yang cukup kecil) dengan iklan anda, anda bisa meraup Rp.100 x 1.5% x 300 juta penduduk = Rp. 440 juta! Dan itu hanyalah keuntungan dari konsumen yang “ah coba ah produk itu, sekali aja, kalau jelek ya tidak usah beli lagi.” Apalagi jika konsumen tersebut akhirnya suka produk anda dan memakainya terus-terusan? Keuntungan anda pasti mencapai miliaran. Lihat kan, miliaran rupiah hanya dari colekan di hati/alam bawah sadar anda?

Iklan adalah tentang target. Kalau anda merasa tidak suka iklan tertentu, mungkin saja memang bukan anda target iklannya. Semua manusia mempunyai selera yang unik. Nah iklan, dan apapun yang bersifat mempromosikan sudah dirancang dan dikonsultasikan agar bisa menarik bagi target utama mereka. Jadi, kita tidak bisa selalu men-judge apakah suatu iklan itu bagus atau bodoh. Ingat, apapun pendapat anda tentang suatu iklan, apresiatif atau mencelanya, pembuat iklan hanya akan untung! Karena walaupun dengan anda mencela, anda akan membantu mereka menyebarkan iklan tersebut dengan membicarakan dan menertawainya dengan teman-teman anda. Semua iklan itu smart. All of them are smart. It’d be ridiculously difficult to judge whether one particular ad is “smarter” than the other. Jadi, ada banyak cara untuk menjadi cerdas dan berhasil. Tidak harus selalu dalam pelajaran, seperti yang kebanyakan orang anggap. So, break walls and be smart in your own way. Carve your own way to cleverness.

Auf “wiederlesen!” (oder wiederschreiben..?)

Timothy Antoni

download-16-5909e15ceaafbd2534d2eb89.jpg
download-16-5909e15ceaafbd2534d2eb89.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun