Kejatuhan berawal dari “kesetengah-setengahan.”
Pegang kata saya: saat anda melakukan sesuatu dengan setengah-setengah, dan saat anda ditegur anda tidak mau berubah, malah menutup mata terhadap dunia luar, kejatuhan anda sudah dekat.
Dan kejatuhan menenggelamkan, kecuali kalau anda mau dilahirkan kembali.
Siapa yang tidak tahu bahwa belakangan ini ada kejadian besar di sekolah-sekolah Indonesia menyangkut ujian yang notabene adalah ujian dengan bobot terbesar selama tiga tahun masa sekolah kita? (Yah, kecuali untuk empat pelajaran UN, karena koefisien UN sedikit lebih besar dari US/USBN)
Berdasarkan berbagai laporan, “bocoran” yang digadang sebagai “soal latihan sangat mirip” (70-90% soalnya sama persis), yang lebih tepatnya kemudian disebut “soal-soal dukun” (karena bisa menerawang soal yang seharusnya baru dibuka besoknya), ada beberapa sumber yang terlibat atau melibatkan dirinya dalam kasus ini. Beberapa teori dan fakta pun bermunculan. Ada yang mengatakan dari latihan sekolah sebelah yang kemudian memang jadi soal ujian, kebocoran dari para guru yang terlibat dalam proses pembuatan soal US/USBN, bahkan bimbel-bimbel, dan lain-lain.
Singkat cerita pihak sekolah mencurigai adanya kecurangan yang dilakukan murid, dan murid-murid pun berkoar. Mereka bersikeras bahwa mereka awalnya tidak tahu soal latihan yang mereka pakai dari sumber tertentu adalah soal yang sangat mirip dengan soal US/USBN yang asli, dan beberapa tokoh "garis keras” malahan menyerang balik sekolah dan pihak lain yang terlibat dalam membuat soal, karena mereka cuma “mencomot” soal untuk USBN/US dari latihan saja, bukannya membuat soal baru. Beberapa juga merasa telah difitnah dan dituduh sengaja mencari bocoran dan bahkan beberapa menyebarluaskannya.
Namun berdasarkan kesaksian dari salah satu guru yang menjadi bagian dari tim pembuat soal USBN, sebenarnya yang terjadi bukannya “soal latihan sekolah lain main dicomot.” Melainkan, ada cerita yang cukup panjang dibalik itu. Jadi, suatu hari para guru pembuat soal mengadakan rapat, untuk membahas dan memfinalisasi soal.
Nah, pada saat rapat itu ada salah satu guru yang tidak hadir. Setelah soal difinalisasi, maka disebarlah soal-soal ini ke guru-guru. Nah guru yang tadi tidak masuk rapat itu-mungkin menganggap itu soal latihan atau mungkin sengaja- kemudian mencetaknya dan menyebarkannya pada siswa sekolahnya. Nah, jadilah soal-soal siluman yang beredar di banyak sekolah, termasuk sekolah-sekolah negeri terbaik pun. Untungnya, guru yang memberi kesaksian ini mengganti beberapa soal USBN yang resmi dan disebar ke berbagai sekolah di Jakarta, sehingga soal hanya 70-90% mirip, tidak semua.
Dengan fakta ini, tentu kita bisa menarik kesimpulan bahwa ada yang janggal, pertama dari sisi para murid.
Kalau memang para murid tidak berniat untuk mencari bocoran dan menjunjung tinggi kejujuran, mengapa setelah hari pertama dan kedua ujian, setelah mereka tahu sumber tertentu tidak bisa dipercaya(karena soalnya praktis bisa dibilang bocoran), mereka masih terus mencoba mendapatkan “soal latihan” sejenis dari sumber yang sama untuk ulangan-ulangan berikutnya, bahkan sampai hari terakhir? Juga, mengapa mereka menyebarkan soal yang mereka-tahu-adalah-bocoran-tetapi-menyangkal-identitasnya-dengan-menganggapnya-soal-latihan-rezeki ke orang yang belum tahu bahwa soal itu bocoran? Jawabannya: untuk mencari muka di depan teman-temannya, agar dapat predikat “da real MVP,” dimasukkan ke kelompok gaul, dan tentunya, supaya kalau temannya tersebut dapat soal dukun di masa depan, dia bisa “kebagian” juga, dan nilai manis pun akan terpampang di rapor.
Masih ada banyak alasan-alasan lain, salah satunya supaya ia dianggap teman-temannya sebagai teman yang benar-benar teman. Namun saya imbau, teman yang seperti ini bukanlah teman yang benar, dia rela melakukan apa saja termasuk menghancurkan nama sekolah dan Tuhan dengan melakukan hal-hal tak terpuji demi mendapat “teman,” yang berarti ia mengutamakan keegoisannya bahkan diatas kesucian teman-temannya(dengan memfasilitasi temannya untuk curang), dan artinya juga ia tidak punya integritas dan pendirian, mudah mengkhianati bahkan yang dekat dengannya sekalipun, saat diiming-imingi suatu hal duniawi yang ia sangat suka.
Saya cukup yakin diantara yang curang hampir tidak ada yang 100% tidak mengetahui apa-apa kalau mereka sedang membuat kecurangan saat mereka membaca soal dukun tersebut. Dan minimal 10% motivasi dari mereka yang “berjuang untuk keadilan dengan tidak mengulang ujian” adalah supaya hasil ujian mereka yang sudah terlaksana dengan “sedikit kecurangan” tidak sia-sia.
Alasan “kami tidak tahu itu akan mirip” hanya valid untuk ujian pertama, karena setelah itu mereka harusnya sadar, dan tidak mempercayai sumber soal latihan yang sama. Bahkan matematika wajib yang ujiannya diulang saja sebenarnya ujian hari ke-3. Mungkin ada yang tidak setuju dengan istilah “bocor,” namun kenyataannya begitu. Tidak penting istilah yang dipakai untuk mendeskripsikan ini, yang penting adalah bagaimana kita bisa menjadikan sisa reruntuhan dari kejatuhan moral ini pijakan untuk naik ke anak tangga berikutnya.
Jangan baca paragraf ini kalau anda tidak suka menjadi terkejut. Luar biasa yang anak ini (bersama temannya) telah lakukan. Ini terjadi di salah satu sekolah negeri top di Jakarta di semester satu tahun 2016-2017. Sangat jauh kebelakang, namun baru terbongkar sedikit lebih luas belum lama ini di semester dua. Anak ini(bersama temannya) nekat menyogok sang petugas yang diberi tanggungjawab memfotokopi soal ulangan kimia oleh sang guru kimia, sehingga kemudian mereka mendapatkan soal persis yang akan diujikan dikemudian hari. Namun anak ini tidak bodoh.
Agar tidak terlalu dicurigai ditengah nilai teman-temannya yang rata-rata nilainya di kisaran nomor sepatu, mereka sengaja men”los” beberapa nomor (atau mereka memang tidak tahu cara mengerjakannya), dan mereka pun berhasil dalam kecurangannya, tersenyum dengan nilai 80an tanpa dicurigai secara sangat luas. Mungkin mereka merasa lolos dari kecurigaan orang-orang bumi. Namun apakah Sang Pengadil berkedip saat mereka melakukannya? Pemirsa, kecurangan dan kebohongan mungkin menang untuk beberapa menit, beberapa bulan, bahkan beberapa tahun. Namun akhirnya ia pasti kalah dengan kebaikan dan kesucian, bagaimanapun caranya. Itu sebabnya ada tertulis: “Kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan…”
Uniknya, banyak yang menuduh bahwa ada campur tangan pihak luar yang ingin menjatuhkan nama sekolah kita dalam kasus ini. Namun, fakta yang didapat dari grup LINE angkatan 2017, yang melapor kasus ini pertama kali adalah orang tua murid sendiri. Entah apa motivasi orang tua tersebut melapor, tapi itu adalah tindakan yang tepat, yang malah mendapat pressure dari dalam sendiri. Kita membela diri sebagai sekolah yang hebat, tapi orang yang berbuat benar malah kita tekan. Wajar saja kalau sekolah kita turun integritasnya. Intervensi pihak luar ini hanyalah pengalihan isu. Terakhir, jika kita solid menjunjung kebenaran, tidak akan ada pihak luar yang bisa merusak kebenaran kita, sehebat apapun usahanya.
Ada juga loh orang tua yang sangat bersikeras agar USBN matematika wajib tidak diulang. Yah alasannya karena, kata mereka, murid 100% tidak terlibat dalam pembocoran dan kecurangan. Bukankah ini menjadi indikasi yang justru menguatkan ada sesuatu yang masih disembunyikan? Mungkin saya salah. Semoga saya salah. Tapi kenyataan berkata berbeda.
Mari kita ke seberang sungai untuk melihat-lihat di sisi para guru. Mengapa kebocoran ini bisa berjalan mulus sekali, dan dimana-mana seakan-akan semesta mendukung pembocoran ini?
USBN/US diserahkan pembuatan soalnya kepada para guru, berdasarkan berita dari Kemdikbud, dengan tujuan agar ujian bisa berjalan efektif dan jujur. Good will dari Kemdikbud bagus, tetapi ini tidak didukung kerjasama para guru dan murid, yang akhirnya memanfaatkan situasi dan otoritas yang dipercayakan kepada mereka untuk setidaknya mencegah pemadam kebakaran datang ke tempat pembagian rapor, atau bahkan agar universitas bisa mengira siswa yang curang ini sangat cerdas (kenyataannya benar cerdas, dalam kecurangan). Mengapa guru mau melakukan ini? Padahal mereka pun sebenarnya tidak secara langsung diuntungkan dengan pembocoran ini.
Yah sudah jelas jawabannya, yaitu money and fame. Money. Mereka menjual kunci jawaban, dengan harga selangit (karena tahu murid yang mau bukan cuma satu, sehingga mereka pasti akan patungan, yang menyebabkan kunci jawaban seharga motor harley davidson pun masih dalam batas OK), secara langsung, maupun melalui jasa distributor bimbel. Yah ini kembali ke masalah bahwa beberapa guru memang gajinya pas-pasan, sehingga yang moralnya tidak tahan uji pun langsung “sikat.” Lalu fame.
Pertama, mereka tentu saja ingin dilihat para muridnya sebagai guru MVP, guru anti-kolot yang sangat helpful, terutama di saat “genting”nya para siswa. Kemudian guru-guru semacam ini akan mendapat hormat dan sanjungan palsu dari para murid, bahkan orang tua murid, atas apa yang dilakukannya. Mungkin mereka berharap akan dikenang baik. Kedua, yang cukup obvious juga, yaitu ingin dilihat dunia luar bahwa murid hasil didikannya mendapat nilai bagus semua di ujian, yang berarti ia adalah pendidik yang hebat.
Selanjutnya, adalah kenyataan bahwa tidak sedikit guru yang memberi kisi-kisi ujian yang penting, seperti US/USBN ini sendiri, dekat-dekat dengan tanggal pelaksanaan ujian, bahkan ada yang 1-2 hari sebelum ujian! Ini tentunya akan membuat murid kaget dan mungkin mendidik murid untuk mengebut semalam. Namun yang utamanya, murid yang bermental lemah akan ambil jalan pintas dengan aktif mencari bocoran dan menyontek.
Kemudian, pengawasan dari guru saat ujian yang seringkali sangat buruk. Walau di US/USBN ada sedikit peningkatan tapi apakah kita cuma mau serius sekali-kali saja? Apakah SMA kita adalah sekolah (yang hidup hanya untuk) ujian? Bukan! Kita sekolah rujukan dan terintegrasi, yang berarti ulangan biasa pun jadi luar biasa disini.
Satu contoh, saat UAS semester 1, seorang guru pengawas kelas membaca ayat saat ujian berlangsung, dan yang lainnya sibuk dengan handphonenya. Kemudian yang tadinya membaca ayat tertidur, dan yang lainnya tetap sibuk dengan handphone. Alhasil saat saya lapor (tepat setelah ujian), bahwa ada yang menyontek saat ulangan berlangsung tadi, mereka dengan enteng membalas: “oh saya tidak lihat tadi,” dengan nada yang menguatkan bahwa ia tidak merasa bersalah.
Bahkan saya, murid yang sedang ujian, duduk di baris terdepan, dan tentunya menghadap kedepan, bisa sempat melihat ada yang curang saat ujian. Nah mereka yang melihat ke arah murid, bisa-bisanya tidak melihat? Tidak lihat atau tidak peduli? Guru diberi tanggung jawab untuk mengawas, dan apakah ini contoh yang baik dari mereka kepada murid? Bukankah ini juga mempermudah terjadinya kecurangan?
Semua itu sangat berbahaya, terutama untuk masa depan bangsa dan dunia kita ini. Murid yang tidak berani keluar dari jebakan kenyamanan dalam kesalahan dan kemunafikan mainstream tentu suatu saat akan menjadi salah satu yang hanya ikut-ikutan dalam melakukan segala sesuatu, terutama yang buruk(karena yang buruk seringkali nikmat, enak, seru), tanpa pernah mencerna keadaan dengan pikiran dan akal sehat sendiri. Anak dan remaja harus mulai membentuk kebiasaan kritis terhadap konteks dan situasi, bukannya selalu kompromis dan jadi tim hore-hore hasil cernaan orang lain (disinilah sekolah dan orang tua berperan besar).
Perilaku murid yang menyogok tukang fotokopi dan guru yang termakan urgensi untuk mendapat uang (mungkin karena ada masalah hidup) dan fame, atau bahkan karena sekedar rakus hal duniawi saja, adalah hanya beberapa dari faktor utama korupsi merajalela, khususnya di Indonesia ini. Bayangkan, mereka yang belum punya otoritas/kekuasaan yang cukup besar pun, sudah nekat dan berhasil berbohong, menyuap, dan korupsi. Bagaimana kalau mereka mendapat otoritas/kekuasaan, misalnya menjadi anggota DPR? Apalagi masih banyak rakyat Indonesia yang suka memilih wakil rakyat/pemimpinnya yang terkenal saja, bukan dari kualitas diri.
Wah semakin mulus rasanya jalan untuk para orang tidak bermoral menjadi sukses. Disini kita bisa melihat, hal kecil bisa berdampak besar pada masa depan bangsa, bahkan sebesar apakah negara ini akan tetap terpuruk di zona pas-pasan atau menjadi negara maju setara dengan Jerman dan Amerika. Jadi, kembali ke yang ada tertulis, “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia dalam perkara-perkara besar."
Masih ada waktu untuk berubah.
Tentu ada cara untuk menanggulanginya dan mencegah efek jangka panjang. Jika anda merasa telah menjadi salah satu dari pelanggan bandar, berhentilah mengapresiasi tindakan sang bandar, dan beritahukanlah mereka bahwa apa yang mereka lakukan bukannya menguntungkan kedua pihak(bandar dan pelanggan), malah sebaliknya menanamkan tanaman beracun yang awalnya kelihatan baik karena hijau seperti tanaman biasanya, namun setelah dewasa, mensekresi racun yang menghancurkan.
Bukan berarti mereka dijauhi, justru harus dijangkau agar setidaknya ia tahu ia salah dan tahu apa jalan yang seharusnya ia ambil. Jika anda bandarnya, ajaklah pelanggan anda semua bertobat masal. Pergunakan posisi anda, yang dahulu di-respect pelanggan, untuk menyampaikan pesan baik. Niscaya respect mereka kepada anda bertambah, atau setidaknya menjadi respect yang murni, bukan palsu lagi. Untuk guru, anda sudah dewasa, anda tahu apa yang seharusnya anda perbuat. Ingat, anda dicontoh murid-murid, ubahlah dunia dengan mendidik dan mengubah murid anda.
Kembali ke topik utama, seharusnya ujian yang diulang semua mata pelajaran, bukannya setengah-setengah saja(hanya satu mata pelajaran yang diulang)! Karena, ujian yang lain pun “bocor” sama besarnya seperti ujian matematika wajib. Ini juga agar tidak memberi kesan bahwa guru dan staf sekolah hanya mau menjaga nama baik mereka, hanya agar mereka tidak dibicarakan secara buruk di sekolah lain atau di mata para orang tua. Kalau seperti saat ini tampaknya mereka bukannya benar-benar ingin menegakkan kejujuran dan bekerja keras untuk kebaikan bersama, namun lebih kepada kemauan untuk cuci tangan terhadap masalah ini.
Kalau memang ingin menjaga integritas sekolah, seperti yang dikatakan kepala sekolah, sudah seharusnya semua mata pelajaran diulang. Bukti sebenarnya tergelar, walaupun dalam bentuk digital. Namun sayangnya sekolah hanya mau menanggapi bukti yang berbentuk cetak, dan saat saya menyinggung bahwa sekolah kita sudah seharusnya keep up dengan teknologi, dalih yang lain datang: “buktinya sudah expired, seharusnya kemarin tuh waktu masih dalam masa US/USBN.” Wow.
Saya sebagai murid butuh belajar di masa-masa ujian, dan kalau saya melapor sewaktu ujian, waktu saya akan habis untuk memikirkan ini, dimana seharusnya saya memikirkan tentang ujian besok. Mengapa kita yang ingin membawa kebaikan justru dihadang-hadang (hanya supaya kerjaan pihak sekolah yang waktu itu berbicara dengan saya ini tidak bertambah banyak agendanya, karena sudah sibuk)? Kita pun hanya bisa berharap ini bukan kedok untuk mencuci tangan mereka dari masalah ini.
Untuk guru dan murid yang berani jujur dan yang sekali memakai soal latihan dukun langsung berhenti berlatih dari soal yang sumbernya sama, saya apresiasi yang sebesar-besarnya. Keep it up! Tuhan akan angkat kalian bahkan lebih tinggi daripada nilai yang didapat murid yang curang. Untuk yang sudah ditegur tetap bersikeras tidak mau berubah, perkataan Ibu Yustrida Maisa dibawah ini cocok untuk kalian,
“Buat apa lu nilai bagus-bagus kalau kaga jujur? Makan tuh angka yeh. Makan tuh angka.”
“Bukan apa yang masuk yang menajiskan orang, namun apa yang keluar dari orang, itulah yang menajiskan orang,”
Timothy Antoni
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H