Mohon tunggu...
Hari Ini Hari Yang
Hari Ini Hari Yang Mohon Tunggu... Tukang Bangunan -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

hao

22 April 2017   23:36 Diperbarui: 29 Mei 2017   16:15 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudian, pengawasan dari guru saat ujian yang seringkali sangat buruk. Walau di US/USBN ada sedikit peningkatan tapi apakah kita cuma mau serius sekali-kali saja? Apakah SMA kita adalah sekolah (yang hidup hanya untuk) ujian? Bukan! Kita sekolah rujukan dan terintegrasi, yang berarti ulangan biasa pun jadi luar biasa disini. 

Satu contoh, saat UAS semester 1, seorang guru pengawas kelas membaca ayat saat ujian berlangsung, dan yang lainnya sibuk dengan handphonenya. Kemudian yang tadinya membaca ayat tertidur, dan yang lainnya tetap sibuk dengan handphone. Alhasil saat saya lapor (tepat setelah ujian), bahwa ada yang menyontek saat ulangan berlangsung tadi, mereka dengan enteng membalas: “oh saya tidak lihat tadi,” dengan nada yang menguatkan bahwa ia tidak merasa bersalah. 

Bahkan saya, murid yang sedang ujian, duduk di baris terdepan, dan tentunya menghadap kedepan, bisa sempat melihat ada yang curang saat ujian. Nah mereka yang melihat ke arah murid, bisa-bisanya tidak melihat? Tidak lihat atau tidak peduli? Guru diberi tanggung jawab untuk mengawas, dan apakah ini contoh yang baik dari mereka kepada murid? Bukankah ini juga mempermudah terjadinya kecurangan?

Semua itu sangat berbahaya, terutama untuk masa depan bangsa dan dunia kita ini. Murid yang tidak berani keluar dari jebakan kenyamanan dalam kesalahan dan kemunafikan mainstream tentu suatu saat akan menjadi salah satu yang hanya ikut-ikutan dalam melakukan segala sesuatu, terutama yang buruk(karena yang buruk seringkali nikmat, enak, seru), tanpa pernah mencerna keadaan dengan pikiran dan akal sehat sendiri. Anak dan remaja harus mulai membentuk kebiasaan kritis terhadap konteks dan situasi, bukannya selalu kompromis dan jadi tim hore-hore hasil cernaan orang lain (disinilah sekolah dan orang tua berperan besar). 

Perilaku murid yang menyogok tukang fotokopi dan guru yang termakan urgensi untuk mendapat uang (mungkin karena ada masalah hidup) dan fame, atau bahkan karena sekedar rakus hal duniawi saja, adalah hanya beberapa dari faktor utama korupsi merajalela, khususnya di Indonesia ini. Bayangkan, mereka yang belum punya otoritas/kekuasaan yang cukup besar pun, sudah nekat dan berhasil berbohong, menyuap, dan korupsi. Bagaimana kalau mereka mendapat otoritas/kekuasaan, misalnya menjadi anggota DPR? Apalagi masih banyak rakyat Indonesia yang suka memilih wakil rakyat/pemimpinnya yang terkenal saja, bukan dari kualitas diri. 

Wah semakin mulus rasanya jalan untuk para orang tidak bermoral menjadi sukses. Disini kita bisa melihat, hal kecil bisa berdampak besar pada masa depan bangsa, bahkan sebesar apakah negara ini akan tetap terpuruk di zona pas-pasan atau menjadi negara maju setara dengan Jerman dan Amerika. Jadi, kembali ke yang ada tertulis, “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia dalam perkara-perkara besar."

Masih ada waktu untuk berubah.

Tentu ada cara untuk menanggulanginya dan mencegah efek jangka panjang. Jika anda merasa telah menjadi salah satu dari pelanggan bandar, berhentilah mengapresiasi tindakan sang bandar, dan beritahukanlah mereka bahwa apa yang mereka lakukan bukannya menguntungkan kedua pihak(bandar dan pelanggan), malah sebaliknya menanamkan tanaman beracun yang awalnya kelihatan baik karena hijau seperti tanaman biasanya, namun setelah dewasa, mensekresi racun yang menghancurkan. 

Bukan berarti mereka dijauhi, justru harus dijangkau agar setidaknya ia tahu ia salah dan tahu apa jalan yang seharusnya ia ambil. Jika anda bandarnya, ajaklah pelanggan anda semua bertobat masal. Pergunakan posisi anda, yang dahulu di-respect pelanggan, untuk menyampaikan pesan baik. Niscaya respect mereka kepada anda bertambah, atau setidaknya menjadi respect yang murni, bukan palsu lagi. Untuk guru, anda sudah dewasa, anda tahu apa yang seharusnya anda perbuat. Ingat, anda dicontoh murid-murid, ubahlah dunia dengan mendidik dan mengubah murid anda.

Kembali ke topik utama, seharusnya ujian yang diulang semua mata pelajaran, bukannya setengah-setengah saja(hanya satu mata pelajaran yang diulang)! Karena, ujian yang lain pun “bocor” sama besarnya seperti ujian matematika wajib. Ini juga agar tidak memberi kesan bahwa guru dan staf sekolah hanya mau menjaga nama baik mereka, hanya agar mereka tidak dibicarakan secara buruk di sekolah lain atau di mata para orang tua. Kalau seperti saat ini tampaknya mereka bukannya benar-benar ingin menegakkan kejujuran dan bekerja keras untuk kebaikan bersama, namun lebih kepada kemauan untuk cuci tangan terhadap masalah ini. 

Kalau memang ingin menjaga integritas sekolah, seperti yang dikatakan kepala sekolah, sudah seharusnya semua mata pelajaran diulang. Bukti sebenarnya tergelar, walaupun dalam bentuk digital. Namun sayangnya sekolah hanya mau menanggapi bukti yang berbentuk cetak, dan saat saya menyinggung bahwa sekolah kita sudah seharusnya keep up dengan teknologi, dalih yang lain datang: “buktinya sudah expired, seharusnya kemarin tuh waktu masih dalam masa US/USBN.” Wow. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun