Saya cukup yakin diantara yang curang hampir tidak ada yang 100% tidak mengetahui apa-apa kalau mereka sedang membuat kecurangan saat mereka membaca soal dukun tersebut. Dan minimal 10% motivasi dari mereka yang “berjuang untuk keadilan dengan tidak mengulang ujian” adalah supaya hasil ujian mereka yang sudah terlaksana dengan “sedikit kecurangan” tidak sia-sia.
Alasan “kami tidak tahu itu akan mirip” hanya valid untuk ujian pertama, karena setelah itu mereka harusnya sadar, dan tidak mempercayai sumber soal latihan yang sama. Bahkan matematika wajib yang ujiannya diulang saja sebenarnya ujian hari ke-3. Mungkin ada yang tidak setuju dengan istilah “bocor,” namun kenyataannya begitu. Tidak penting istilah yang dipakai untuk mendeskripsikan ini, yang penting adalah bagaimana kita bisa menjadikan sisa reruntuhan dari kejatuhan moral ini pijakan untuk naik ke anak tangga berikutnya.
Jangan baca paragraf ini kalau anda tidak suka menjadi terkejut. Luar biasa yang anak ini (bersama temannya) telah lakukan. Ini terjadi di salah satu sekolah negeri top di Jakarta di semester satu tahun 2016-2017. Sangat jauh kebelakang, namun baru terbongkar sedikit lebih luas belum lama ini di semester dua. Anak ini(bersama temannya) nekat menyogok sang petugas yang diberi tanggungjawab memfotokopi soal ulangan kimia oleh sang guru kimia, sehingga kemudian mereka mendapatkan soal persis yang akan diujikan dikemudian hari. Namun anak ini tidak bodoh.
Agar tidak terlalu dicurigai ditengah nilai teman-temannya yang rata-rata nilainya di kisaran nomor sepatu, mereka sengaja men”los” beberapa nomor (atau mereka memang tidak tahu cara mengerjakannya), dan mereka pun berhasil dalam kecurangannya, tersenyum dengan nilai 80an tanpa dicurigai secara sangat luas. Mungkin mereka merasa lolos dari kecurigaan orang-orang bumi. Namun apakah Sang Pengadil berkedip saat mereka melakukannya? Pemirsa, kecurangan dan kebohongan mungkin menang untuk beberapa menit, beberapa bulan, bahkan beberapa tahun. Namun akhirnya ia pasti kalah dengan kebaikan dan kesucian, bagaimanapun caranya. Itu sebabnya ada tertulis: “Kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan…”
Uniknya, banyak yang menuduh bahwa ada campur tangan pihak luar yang ingin menjatuhkan nama sekolah kita dalam kasus ini. Namun, fakta yang didapat dari grup LINE angkatan 2017, yang melapor kasus ini pertama kali adalah orang tua murid sendiri. Entah apa motivasi orang tua tersebut melapor, tapi itu adalah tindakan yang tepat, yang malah mendapat pressure dari dalam sendiri. Kita membela diri sebagai sekolah yang hebat, tapi orang yang berbuat benar malah kita tekan. Wajar saja kalau sekolah kita turun integritasnya. Intervensi pihak luar ini hanyalah pengalihan isu. Terakhir, jika kita solid menjunjung kebenaran, tidak akan ada pihak luar yang bisa merusak kebenaran kita, sehebat apapun usahanya.
Ada juga loh orang tua yang sangat bersikeras agar USBN matematika wajib tidak diulang. Yah alasannya karena, kata mereka, murid 100% tidak terlibat dalam pembocoran dan kecurangan. Bukankah ini menjadi indikasi yang justru menguatkan ada sesuatu yang masih disembunyikan? Mungkin saya salah. Semoga saya salah. Tapi kenyataan berkata berbeda.
Mari kita ke seberang sungai untuk melihat-lihat di sisi para guru. Mengapa kebocoran ini bisa berjalan mulus sekali, dan dimana-mana seakan-akan semesta mendukung pembocoran ini?
USBN/US diserahkan pembuatan soalnya kepada para guru, berdasarkan berita dari Kemdikbud, dengan tujuan agar ujian bisa berjalan efektif dan jujur. Good will dari Kemdikbud bagus, tetapi ini tidak didukung kerjasama para guru dan murid, yang akhirnya memanfaatkan situasi dan otoritas yang dipercayakan kepada mereka untuk setidaknya mencegah pemadam kebakaran datang ke tempat pembagian rapor, atau bahkan agar universitas bisa mengira siswa yang curang ini sangat cerdas (kenyataannya benar cerdas, dalam kecurangan). Mengapa guru mau melakukan ini? Padahal mereka pun sebenarnya tidak secara langsung diuntungkan dengan pembocoran ini.
Yah sudah jelas jawabannya, yaitu money and fame. Money. Mereka menjual kunci jawaban, dengan harga selangit (karena tahu murid yang mau bukan cuma satu, sehingga mereka pasti akan patungan, yang menyebabkan kunci jawaban seharga motor harley davidson pun masih dalam batas OK), secara langsung, maupun melalui jasa distributor bimbel. Yah ini kembali ke masalah bahwa beberapa guru memang gajinya pas-pasan, sehingga yang moralnya tidak tahan uji pun langsung “sikat.” Lalu fame.
Pertama, mereka tentu saja ingin dilihat para muridnya sebagai guru MVP, guru anti-kolot yang sangat helpful, terutama di saat “genting”nya para siswa. Kemudian guru-guru semacam ini akan mendapat hormat dan sanjungan palsu dari para murid, bahkan orang tua murid, atas apa yang dilakukannya. Mungkin mereka berharap akan dikenang baik. Kedua, yang cukup obvious juga, yaitu ingin dilihat dunia luar bahwa murid hasil didikannya mendapat nilai bagus semua di ujian, yang berarti ia adalah pendidik yang hebat.
Selanjutnya, adalah kenyataan bahwa tidak sedikit guru yang memberi kisi-kisi ujian yang penting, seperti US/USBN ini sendiri, dekat-dekat dengan tanggal pelaksanaan ujian, bahkan ada yang 1-2 hari sebelum ujian! Ini tentunya akan membuat murid kaget dan mungkin mendidik murid untuk mengebut semalam. Namun yang utamanya, murid yang bermental lemah akan ambil jalan pintas dengan aktif mencari bocoran dan menyontek.